Oleh: Jones Batara Manurung
Bangsa Indonesia terbentuk dari proses panjang perjuangan melawan penjajahan kolonial Belanda hingga fasis Jepang. Perlawanan bercorak kedaerahan muncul di berbagai tempat. Jatuh bangun perlawanan rakyat di daerah memberi pelajaran penting bagi perjuangan berikutnya, bahwa aspek persatuan perjuangan dari berbagai entitas kedaerahan itu merupakan keharusan untuk dapat menang melawan penjajah.
Koreksi terhadap perjuangan bercorak daerah menjadi titik awal semangat kebangsaan yang memunculkan organisasi rakyat. Pada 1908 berdiri Budi Utomo yang bersendikan kebangsaan. Pasca 20 tahun Budi Utomo, pemuda Indonesia mengikrarkan semangat kebangsaan yang utuh dalam momentum Sumpah Pemuda dengan mengikatkan diri pada ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Perjuangan panjang rakyat Indonesia menjadi kenyataan pasca 17 tahun Sumpah Pemuda, pada 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka di proklamirkan.
Sekelumit penggalan historis tersebut menyiratkan dengan tegas bahwa bangunan keIndonesiaan merupakan hasil persatuan perjuangan dalam entitas yang multi-etnik, multi-religi, dan multi-golongan. Dalam kepelbagaian itu gagasan keIndonesiaan dibangun atas dasar solidaritas sebagai manusia yang senasib sepenanggungan dan adanya cita-cita kemerdekaan.
Semangat kebangsaan dalam tonggak sejarah 1908, 1928 dan 1945 merupakan ekspresi vitalitas dan spiritualitas bangsa Indonesia yang terus berproses dalam menggapai asa kemerdekaan. Untuk masa dan generasi selanjutnya penjiwaan kebangsaan pada gilirannya membentuk wawasan kebangsaan dengan segala kompleksitas tantangan, terutama dalam upaya merajut persatuan perjuangan dari entitas kepelbagaian yang ada.
Frederico Ruiz, seorang teolog spiritualitas dari Spanyol mengatakan setidaknya ada 3 tantangan bagi kebangsaan dewasa ini. Pertama, globalitas, yakni dinamika berbagai elemen dalam suatu situasi atau keadaan. Kedua, radikalitas, suatu karakter esktrem dari berbagai kelompok masyarakat. Ketiga, Kecepatan (rapidity), yaitu cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga faktor ini dapat melunturkan semangat, paham dan rasa kebangsaan, namun apabila dikelola dengan baik akan memunculkan semangat kebangsaan yang tetap berakar dengan segala pola dan bentuk barunya.
Fakta Empirik
Setelah 67 tahun proklamasi, kita memiliki sejumlah persoalan fundamental. Kondisi saat ini seakan memberikan gambaran nyata pada kolonialisme masa lalu dalam wujud baru. Setidaknya ada beberapa fakta yang memberikan gambaran yang sama antara masa penjajahan dan kondisi saat ini.
Fakta ini merupakan dampak globalisasi yang tak dapat ditepis, suatu proses yang memberikan konsekwensi luas dalam berbagai segmen kehidupan. Proses ekonomi politik global melalui liberalisasi, deregulasi dan privatisasi praktis mengeruk sumberdaya kita dan secara sempurna menghantam jantung nasionalisme kita. Nasionalisme yang dalam pandangan Soekarno, nasionalisme yang anti feodalisme dan anti penjajahan.
Proses ekonomi politik global itu merupakan wujud dari neoliberalisme yang menjadikan kondisi kita “terjajah”, dapat ditunjukkan dari beberapa fakta fundamental, pertama, tingginya angka kemiskinan dan adanya segelintir orang yang memiliki kekayaan yang mencolok diantara jutaan warga miskin. Kedua, tingginya angka pengangguran dan rendahnya upah. Ketiga, tata kelola sumberdaya alam yang didominasi pihak asing. Keempat, munculnya gerakan fundamentalisme agama.
Neoliberalisme ditengarai mengikis kohesifitas sosial rakyat. Ketimpangan penguasaan sumber ekonomi menimbulkan ketimpangan sosial. Ketidakadilan ini menimbulkan respon yang radikal dalam bentuk-bentuk entitas suku, agama dan golongan. Bila kita telisik lebih jauh, bentuk radikalitas agama dan suku lebih dominan terjadi. Kita berada dalam jebakan fundamentalisme pasar liberal dengan hukum akumulasi modal tanpa batas dan terjebak dalam fundamentalisme agama yang berakibat kohesifitas sosial merosot tajam dan solidaritas sesama anak bangsa terancam.
Seruan Solidaritas
Dengan sejumlah problem mendasar dalam tata kelola negara-bangsa Indonesia, selayaknya membutuhkan cara pandang baru dan jalan baru, yang dapat dapat memberikan pemaknaan baru kepada entitas kebangsaan kita. Dalam hal ini menguatkan kembali solidaritas sebagai rakyat dari sebuah negara-bangsa yang pernah mengalami penjajahan merupakan upaya yang harus dilakukan.
Solidaritas menjadi suatu prinsip yang menuntun kehendak baik dalam menggumuli masalah. Solidaritas menunjukkan bahwa tidak ada pemisahan suatu entitas dalam masalah yang sedang dihadapi. Solidaritas juga bermakna bahwa suatu kehendak baik, datang dari siapa saja tanpa pembedaan identitas yang melekat. Solidaritas merupakan wujud keberpihakan terhadap mereka yang mengalami ketidakadilan, miskin, lemah, dan teraniaya.
Mereka terdapat dalam komunitas buruh, petani, pedagang kecil, kaum miskin di perkotaan dan kaum perempuan. Solidaritas juga merujuk pada kesediaan untuk berada bersama komunitas tersebut. Mengurai masalah, mencari jalan keluar dan melakukan secara bersama dengan setara. Dengan demikian “solidaritas tanpa sekat” merupakan seruan bersama dalam upaya merevitalisasi kembali semangat kebangsaan. Dalam tataran praksis harus ditunjukkan dengan berada langsung dalam pergumulan masalah yang dihadapi dengan tidak menjaga jarak, terbuka, solider dan ditujukan bagi kepentingan umum.
Bila dalam masa penjajahan kita menang maka seharusnya juga dengan potensi kemajemukan yang dimiliki, kita dapat menang melawan kemiskinan, pengangguran, korupsi, degradasi lingkungan, segregasi sosial, dan pelanggaran HAM. Segalanya demi mencapai Indonesia yang kita cita-citakan, yakni Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. (*)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Rumah Tani Indonesia