30 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Visi Raja Tjokorda Membuka Pintu Ubud

Oleh HERMAWAN KARTAJAYA

Marketing Series 12

Di kompleks Museum Puri Lukisan, Ubud, Anda hanya butuh kira-kira sejam untuk mengerti konsep Marketing 3.0 yang merupakan suatu koreksi akan kesalahmengertian orang terhadap marketing.

Harus diakui, sebagian besar orang menganggap marketing adalah sesuatu yang tidak terlalu ‘baik’ Waktu pendiriannya, bahkan banyak warga setempat yang mempertanyakan kenapa museum marketing itu dibikin di Ubud. Bukankah Ubud tempat para seniman yang sangat idealis? Yang selalu ingin membuat dunia jadi lebih baik.

Ketika Philip Kotler banyak ditanya, mengapa museum marketing tidak didirikan di New York, London, atau Tokyo saja? Waktu jualah yang akhirnya ikut menjawab dan menjelaskan dengan baik.

Sebab, setelah museum semakin banyak dikunjungi wisatawan, baik mancanegara maupun domestik, orang jadi semakin tahu bahwa di tempat itulah terdapat semacam koreksi terhadap konsep marketing yang salah.

Contoh-contoh pelaksanaan konsep marketing masa depan bahkan sudah dilakukan oleh raja Ubud terakhir, yaitu Tjokorda Gde Agung Sukawati, yang kini telah tiada. Jadi, museum itu adalah pendorong untuk menengok ke belakang, tapi demi melihat masa depan!

Mendiang raja Ubud adalah seorang visioner yang berani membawa rakyatnya yang punya tradisi sangat kuat untuk menghadirkan masa depan.
Berani membuka pintu Bali secara lebar-lebar bagi orang-orang asing, termasuk para seniman asing, untuk masuk Ubud yang akhirnya menularkan teknik-teknik baru dalam melukis kepada para seniman lokal.

Mereka kini jadi magnet di Ubud guna mengundang seniman dari berbagai belahan dunia untuk terus bereksperimen, mendatangkan pembeli, mengundang kolektor, mengundang wisatawan.
Di era sekarang, para pengusaha, para profesional, korporasi mestinya adalah seniman yang harus punya taste seni tinggi dalam memasarkan produknya kepada customer. Dengan demikian, mereka selalu punya kesadaran untuk senantiasa naik kelas dan level marketing yang lebih tinggi, sama spiritnya dengan yang dilakukan Raja Ubud Tjokorda Gde Agung Sukawati.

Saya bertemu langsung Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon di New York untuk menyerahkan buku Marketing 3.0. Karena itu, di Museum di Ubud itu juga ada sebuah sudut berisi UN Global Compacts yang merupakan inisiatif Kofi Annan, Sekjen sebelum Ban.
UN Global Compact adalah semacam perjanjian ribuan perusahaan di seluruh dunia dengan Sekjen PBB untuk menjalankan bisnis dengan ‘baik dan benar’.

Perjanjian itu bersifat ‘mengikat’ secara etika supaya para pengusaha mengikuti sepuluh prinsip yang terbagi atas 2 prinsip human right, 4 prinsip labour standard, 3 prinsip environment, dan 1 prinsip anticorruption.

Global Compact, meski tidak bisa mengikat perusahaan penanda tangan secara perundangan, forum dan network-nya punya pengaruh kuat.
Para penanda tangan Global Compact juga terikat secara moral dalam mencari keuntungan selalu menaati sepuluh prinsip tersebut.

Ini sangat penting sebagai pendukung millennium development goals (MDGs) yang merupakan perjanjian PBB dengan para pemerintah di seluruh dunia dalam mencapai target-target tertentu.
MarkPlus Inc sebagai salah satu penanda tangan UN Global Compact terus berusaha keras menjalankan dan menyebarkan sepuluh prinsip itu.

Anda tergerak untuk ikut tanda tangan dengan UN Global Compact dan menjaga sepuluh prinsip tersebut? Saya tunggu di e-mail hkartajaya@gmail.com atau Twitter saya di @hermawank.
Bagaimana pendapat Anda” (*)

Oleh HERMAWAN KARTAJAYA

Marketing Series 12

Di kompleks Museum Puri Lukisan, Ubud, Anda hanya butuh kira-kira sejam untuk mengerti konsep Marketing 3.0 yang merupakan suatu koreksi akan kesalahmengertian orang terhadap marketing.

Harus diakui, sebagian besar orang menganggap marketing adalah sesuatu yang tidak terlalu ‘baik’ Waktu pendiriannya, bahkan banyak warga setempat yang mempertanyakan kenapa museum marketing itu dibikin di Ubud. Bukankah Ubud tempat para seniman yang sangat idealis? Yang selalu ingin membuat dunia jadi lebih baik.

Ketika Philip Kotler banyak ditanya, mengapa museum marketing tidak didirikan di New York, London, atau Tokyo saja? Waktu jualah yang akhirnya ikut menjawab dan menjelaskan dengan baik.

Sebab, setelah museum semakin banyak dikunjungi wisatawan, baik mancanegara maupun domestik, orang jadi semakin tahu bahwa di tempat itulah terdapat semacam koreksi terhadap konsep marketing yang salah.

Contoh-contoh pelaksanaan konsep marketing masa depan bahkan sudah dilakukan oleh raja Ubud terakhir, yaitu Tjokorda Gde Agung Sukawati, yang kini telah tiada. Jadi, museum itu adalah pendorong untuk menengok ke belakang, tapi demi melihat masa depan!

Mendiang raja Ubud adalah seorang visioner yang berani membawa rakyatnya yang punya tradisi sangat kuat untuk menghadirkan masa depan.
Berani membuka pintu Bali secara lebar-lebar bagi orang-orang asing, termasuk para seniman asing, untuk masuk Ubud yang akhirnya menularkan teknik-teknik baru dalam melukis kepada para seniman lokal.

Mereka kini jadi magnet di Ubud guna mengundang seniman dari berbagai belahan dunia untuk terus bereksperimen, mendatangkan pembeli, mengundang kolektor, mengundang wisatawan.
Di era sekarang, para pengusaha, para profesional, korporasi mestinya adalah seniman yang harus punya taste seni tinggi dalam memasarkan produknya kepada customer. Dengan demikian, mereka selalu punya kesadaran untuk senantiasa naik kelas dan level marketing yang lebih tinggi, sama spiritnya dengan yang dilakukan Raja Ubud Tjokorda Gde Agung Sukawati.

Saya bertemu langsung Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon di New York untuk menyerahkan buku Marketing 3.0. Karena itu, di Museum di Ubud itu juga ada sebuah sudut berisi UN Global Compacts yang merupakan inisiatif Kofi Annan, Sekjen sebelum Ban.
UN Global Compact adalah semacam perjanjian ribuan perusahaan di seluruh dunia dengan Sekjen PBB untuk menjalankan bisnis dengan ‘baik dan benar’.

Perjanjian itu bersifat ‘mengikat’ secara etika supaya para pengusaha mengikuti sepuluh prinsip yang terbagi atas 2 prinsip human right, 4 prinsip labour standard, 3 prinsip environment, dan 1 prinsip anticorruption.

Global Compact, meski tidak bisa mengikat perusahaan penanda tangan secara perundangan, forum dan network-nya punya pengaruh kuat.
Para penanda tangan Global Compact juga terikat secara moral dalam mencari keuntungan selalu menaati sepuluh prinsip tersebut.

Ini sangat penting sebagai pendukung millennium development goals (MDGs) yang merupakan perjanjian PBB dengan para pemerintah di seluruh dunia dalam mencapai target-target tertentu.
MarkPlus Inc sebagai salah satu penanda tangan UN Global Compact terus berusaha keras menjalankan dan menyebarkan sepuluh prinsip itu.

Anda tergerak untuk ikut tanda tangan dengan UN Global Compact dan menjaga sepuluh prinsip tersebut? Saya tunggu di e-mail hkartajaya@gmail.com atau Twitter saya di @hermawank.
Bagaimana pendapat Anda” (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/