29 C
Medan
Sunday, December 21, 2025
Home Blog Page 15735

Telkomsel Raih 4 Top Brand Award 2011

Telkomsel meraih sekaligus 4 penghargaan Top Brand 2011, di mana kedua produk SIM Card, yakni simPATI (prabayar) dan kartuHALO (paskabayar) telah meraih pengakuan sebagai yang terbaik selama dua belas kali berturut-turut. Telkomsel juga memperoleh penghargaan kategori Internet Service Provider untuk layanan Telkomsel Flash dan kategori penyedia layanan BlackBerry.

Penghargaan Top Brand 2011 didasarkan pada hasil survei lembaga survei independen Frontier Consulting Group dan Majalah Marketing terhadap ratusan merek dari berbagai kategori industri. Survei dalam skala nasional dilakukan untuk mengevaluasi kinerja merek berdasarkan tiga parameter, yakni: mind share, market share, dan commitment share untuk kemudian diperoleh indikator kekuatan merek yang disebut Top Brand Index (TBI).

Survei Top Brand 2011 dilakukan terhadap 3.600 responden yang tersebar di enam kota besar, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Para responden tersebut terdiri dari berbagai lapisan masyarakat berusia 15 hingga 65 tahun dengan tingkat sosial ekonomi A hingga E.

Produk-produk Telkomsel berhasil memperoleh TBI tertinggi dari indeks produk sejenis yang beredar di pasar. Untuk kategori SIM Card Prabayar, nilai TBI simPATI 48%. Sementara untuk kategori SIM Card Paskabayar, nilai TBI kartuHALO 66,2%. Telkomsel juga berhasil meraih penghargaan sebagai penyedia layanan mobile internet terbaik melalui layanan Telkomsel Flash dengan nilai TBI 26,3%. Sedangkan untuk kategori layanan BlackBerry, di mana tahun 2011 merupakan tahun pertama diikutsertakannya layanan tersebut ke dalam Top Brand Award, Telkomsel meraih nilai TBI 38,9%.

Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno mengatakan, “Penghargaan Top Brand untuk simPATI dan kartuHALO merupakan bukti kepercayaan masyarakat terhadap kualitas layanan komunikasi Telkomsel. Kami juga berterima kasih layanan Telkomsel Flash dan BlackBerry Telkomsel dipercaya untuk memenuhi kebutuhan mobile lifestyle di era layanan berbasis data saat ini.”

simPATI kini telah digunakan oleh sekitar 60 juta pelanggan, sedangkan pelanggan KartuHALO kini berjumlah sekitar 2 juta. Sementara itu layanan akses internet berkecepatan tinggi Telkomsel Flash telah digunakan oleh sekitar 4 juta pelanggan. Untuk layanan BlackBerry, Telkomsel kini dipercaya melayani lebih dari 1 juta pelanggan, yang mengukuhkan Telkomsel sebagai penyedia layanan BlackBerry dengan jumlah pelanggan terbanyak di Indonesia.

Sarwoto menambahkan bahwa tantangan yang dihadapi di tahun 2011 jauh lebih besar karena Telkomsel mulai mentransformasikan diri ke bisnis baru, yakni broadband. Di tahun 2011 Telkomsel akan mengekspansi kota broadband, di mana saat ini telah tersedia di 25 kota dan ditargetkan mampu menjangkau 40 kota di akhir tahun ini. Dengan demikian, di kota-kota tersebut akan tersedia jaringan dan layanan yang bisa terhubung dengan Telkomsel Flash maupun smartphone.

Chairman Frontier Consulting Group Handi Irawan menyatakan, “Telkomsel telah berhasil mengatur strategi merek produknya dengan menerapkan pemikiran strategis dalam membangun merek. Telkomsel melakukan pengembangan merek yang ada, baik dengan melakukan penambahan fitur maupun membuat produk baru dari merek yang ada.”

Penghargaan Top Brand Award ini melengkapi berbagai penghargaan yang telah diterima Telkomsel. Di tingkat nasional, Telkomsel secara berturut-turut juga berhasil mempertahankan Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) selama 11 tahun berturut-turut, Indonesia Best Brand Award (IBBA) selama 8 tahun, Service Quality Award (SQA) selama 5 tahun, dan Best Call Center Award selama 5 tahun. Bahkan di tingkat internasional, Telkomsel menjadi satu-satunya operator di Asia yang mampu mempertahankan gelar “Operator of The Year” selama 5 tahun berturut-turut di ajang Asian Mobile News Award.

Tekan Pencurian Listrik dengan Sistem Tender

Komite Yang Tentukan Tarif Listrik

DI India, badan otorita independen tidak hanya untuk jalan tol (lihat bagian pertama tulisan saya kemarin), tapi juga untuk listrik. India memang punya cara sendiri untuk membenahi keruwetan listriknya. “PLN” New Delhi selalu rugi besar dan pelayanannya sangat parah. Pembenahan itu sudah diuji coba di negara bagian New Delhi yang tak lain juga ibu kota India.

Pemerintah negara bagian New Delhi sudah tidak tahan lagi menanggung beban subsidi listrik. Kerugian “PLN”-nya dari tahun ke tahun terus meningkat. Padahal tarif listrik yang dikenakan kepada masyarakat sudah cukup mahal. Jauh lebih mahal dari tarif listrik di Indonesia. Rata-rata sudah sekitar Rp 1.000/kWh (Indonesia rata-rata Rp 730/kWh).

Dengan tarif seperti itu, seharusnya listrik di New Delhi sudah tidak lagi byar-pet. Tapi, kenyataannya byar-petnya gawat sekali. Sebulan 30.000 pengaduan masuk ke “PLN”-nya New Delhi. Padahal jumlah pelanggannya hanya sekitar 4 juta orang (pelanggan Jakarta 3,7 juta, tahun lalu pengaduannya 5.000).

Penyebab utama kerugian itu ternyata di sistem distribusi listrik. Peralatannya sudah tua dan, ini dia yang keterlaluan: pencurian listrik oleh penduduknya luar biasa. Kerugian tersebut kian lama kian besar sehingga “PLN” New Delhi tidak mampu memperbaiki jaringan, mengganti trafo, dan akhirnya jadi pengemis subsidi.

Yang sangat memalukan: kebocoran listrik (loses) di New Delhi mencapai 53 persen. Bandingkan dengan loses di Indonesia yang tahun lalu sudah berhasil diturunkan menjadi tinggal 9,85 persen. Loses yang tidak masuk akal itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Petugas “PLN” India kalah gesit oleh kepintaran rakyatnya mengakali meteran listrik. Operasi pemberantasan pencurian listrik tidak pernah berhasil dilakukan. Hari ini diberantas, besok sudah mencuri lagi.

Saya sempat berkeliling bagian kota yang disebut Old Delhi. Saya masuk gang-gang yang kumuh di kota itu. Saya perhatikan kabel-kabel listriknya malang-melintang dan saling bergulat dengan serunya. Saya membayangkan betapa sulit memang mengatasi pencurian listrik di sana.

Maka, sebagai senjata pemungkas, sampailah pada keputusan ini: mengubah sistem distribusi secara radikal. Distribusi listriknya dikerjasamakan saja dengan swasta. Kalau swasta yang menangani, mau tidak mau menggunakan pendekatan untung-rugi. Petugas penertiban dari swasta akan lebih ampuh dalam bekerja.

Untuk itu, diadakanlah tender. Pemerintah mencari partner swasta untuk mendistribusikan listrik di tiap wilayah. Di New Delhi diadakan tiga paket tender: wilayah utara-barat, wilayah timur-tenggara, dan selatan-barat daya. Peminat tender itu ternyata cukup banyak.

Mengapa? Tarif listrik yang rata-rata Rp 1.000/kWh rupanya cukup menarik bagi swasta. Itu akan berbeda kalau tarif listriknya masih rendah. Dengan tarif seperti itu, asal pencurian listriknya rendah, perusahaan sudah bisa untung.

Tingkat kebocoran itulah yang kemudian menjadi pokok yang ditenderkan. Barang siapa bisa menurunkan loses paling rendah, dialah yang menang tender. Di wilayah Delhi utara-barat, grup Tata (konglomerat nomor satu India) memenangi tender tersebut. Waktu tender, Tata menawarkan: sanggup menurunkan loses dari 53 menjadi 31 persen secara bertahap dalam lima tahun. Ternyata
Tata mampu. Bahkan terlampaui menjadi 24 persen. Dua tahun berikutnya menurun drastis lagi. Akhir Desember 2010, kebocoran listrik di Delhi sudah tinggal 13 persen.

Meski masih kalah oleh Jakarta (tahun lalu Jakarta berhasil menurunkan loses-nya menjadi 8,3 persen), pencapaian itu luar biasa. Dalam delapan tahun turun dari 53 menjadi 13 persen. Maka, Delhi Utara, setelah delapan tahun pembenahan, tercatat sebagai wilayah paling kecil kebocoran listriknya. Loses yang 13 persen tersebut sudah langsung menjadi buah bibir di seluruh negeri.

Di Indonesia saat ini sudah banyak daerah yang loses-nya tinggal 6 persen (sudah setara dengan di Korea). Misalnya, di Surabaya Barat, Bukittinggi, Salatiga, dan banyak lagi. Namun, masih ada satu daerah lebih buruk dari New Delhi. Yakni, di Madura yang loses-nya masih 15 persen (sudah turun dari 24 persen dua tahun lalu tapi masih yang tertinggi di Indonesia).

Kalau saja dalam beberapa tahun ke depan loses di New Delhi bisa mencapai apa yang terjadi di Jakarta, perusahaan patungan swasta-pemerintah tersebut bisa meraih untung yang cukup. Maksudnya, cukup untuk terus memperbarui peralatan listriknya.
Demikian juga, pemerintah negara bagian New Delhi tidak lagi direpotkan oleh subsidi. Dengan penanganan seperti sekarang saja, penghematan subsidinya mencapai USD 3 miliar (sekitar Rp 27 triliun) tahun lalu. Dan yang lebih penting, masyarakat tidak ribut karena byar-petnya teratasi dan pengaduannya menurun drastis.

Dari mana perusahaan distribusi tersebut mendapat pasokan listriknya?

Di India, seperti juga di banyak negara, perusahaan listriknya tidak monopoli dari hulu sampai hilir, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan, seperti PLN. Masing-masing negara bagian memiliki perusahaan khusus untuk mendistribusikan listrik.

Perusahaan-perusahaan distribusi itu masing-masing membeli listrik sendiri-sendiri pula dari perusahaan-perusahaan pembangkit listrik. Tiap tahun perusahaan distribusi listrik tersebut melakukan tender pembelian listrik. Perusahaan pembangkit yang menawarkan listrik termurah, dialah yang menang.

Bagaimana kalau perusahaan pembangkitnya itu berada jauh di selatan, sedangkan New Delhi di Utara? India, sebagaimana juga di negara lain, memiliki perusahaan transmisi secara nasional. Listrik dari pembangkit tersebut dialirkan ke perusahaan distribusi dengan cara membayar sewa transmisi. Dengan demikian, perusahaan transmisi mirip dengan perusahaan jalan tol. Mengenakan tarif untuk listrik yang lewat berdasar besarnya daya dan jauhnya jarak.

Di samping membeli listrik lewat tender seperti itu, perusahaan distribusi listrik kadang juga membeli listrik secara spot. Misalnya, kalau tiba-tiba ada lonjakan pemakaian listrik pada jam-jam tertentu. Mengingat banyaknya perusahaan distribusi dan perusahaan pembangkit, transaksi listrik itu terus terjadi sepanjang hari. Mirip dengan yang terjadi di bursa saham.

Dengan naiknya harga batu bara dan gas belakangan ini, pembelian listrik dari perusahaan pembangkit juga naik. Itu memukul perusahaan distribusi mengingat tarif listrik kepada pelanggan tidak bisa mengikuti kenaikan harga beli listrik. Perusahaan-perusahaan distribusi itu pun lantas meminta kenaikan tarif listrik kepada badan otorita yang independen tadi.

Di India, badan independen itulah yang menentukan tarif listrik. Bukan pemerintah atau DPR seperti di Indonesia. Komite tersebut memang ditunjuk pemerintah, tapi tidak bertanggung jawab kepada pemerintah. Komite itu benar-benar independen.
Seperti komite gaji wali kota dan anggota DPRD di Jepang. Di Jepang, gaji seorang bupati/wali kota dan anggota DPRD ditentukan oleh komite yang ditunjuk pemda. Anggota komite tersebut terdiri atas sembilan orang. Ada pengusahanya, petani, guru, pensiunan, dan sebagainya. Komite itulah yang menilai berapa sebaiknya gaji para pejabat tersebut.

Demikian juga komite listrik di India. Komite itu berisi berbagai unsur yang dianggap mengerti listrik dan bersifat independen. Komite tersebut bisa mewakili perasaan masyarakat, kalangan industri, dan bisa mengerti juga kesulitan perusahaan listrik. Tidak selalu permintaan kenaikan tarif dikabulkan.

Komite akan membahas usul kenaikan tarif secara komprehensif. Perusahaan listrik akan dievaluasi dulu, apakah permintaan kenaikan tarif tersebut wajar atau tidak. Bisa saja setelah dievaluasi ternyata ketahuan kinerja perusahaan listrik tersebut yang kurang baik. Misalnya, loses-nya yang masih tinggi. Karena itu, di dalam komite tersebut terdapat ahli-ahli manajemen, ahli loses, ahli pembangkitan, dan seterusnya.

Sebaliknya, kalau secara objektif melihat tarif listrik sudah seharusnya naik, komite akan menaikkannya. Kalau tidak, perusahaan listrik tersebut akan merugi dan ujung-ujungnya akan byar-pet lagi. Sekali komite itu sudah menetapkan tarif listrik yang baru, pemerintah dan DPR tidak bisa ikut campur.

Adanya komite listrik maupun komite jalan tol ternyata menjadi solusi bagi negara demokrasi untuk mempercepat kemajuan pembangunan infrastrukturnya.(***)