23.2 C
Medan
Saturday, January 18, 2025

288.814 Warga Sumut Buta Aksara

MEDAN- Dalam peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-46, ditemukan sebanyak 2,18 persen, atau sekitar 288.814 penduduk Sumatera Utara (Sumut) mengalamai buta aksara. Jumlah ini merupakan bagian dari total jumlah penduduk Sumut berkisar 13.248.386 jiwa.

Bahkan dari jumlah tersebut, buta aksara dialami oleh penduduk berusia produktif yakni 12-44 tahun.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Utara (Kadisdik Sumut), Syaiful Safri saat dikonfirmasi Senin (5/12). “Dari jumlah penduduk yang mengalami buta aksara itu, tersebar di lima kabupaten/kota, diantaranya, Nias seluruhnya, Nias Selatan, Deli Serdang, dan Simalungun,” ujarnya.

Seperti diketahui, jumlah penduduk yang paling banyak berada di Deli Serdang dengan total penduduk 1.788.351 jiwa, diikuti Simalungun sebanyak 859.879 jiwa, Nias 444.502 jiwa, dan Nias Selatan 273.733 jiwa.  Meskipun jumlah penduduk Nias sedikit, bilang Syaiful, namun persentase buta aksara lebih banyak dibandingkan daerah lainnya.
Disinggung mengenai masih banyaknya ditemukan buta aksara di Nias, menurutnya, disebabkan karena kurangnya pendidikan di daerah tersebut. Selain itu, alasan perekonomian penduduk, bisa menentukan tingkat pendidikan sesorang.

Untuk itulah, lanjut Syaiful, peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-46 itu dilaksanakan untuk dapat memotivasi masing-masing kabupaten/kota guna meminimalisir terjadinya buta aksara.

“Jika dibanding tahun lalu, jumlah ini sudah mulai berkurang. Diharapkan tahun-tahun berikutnya, buta aksara akan semakin berkurang dengan ditingkatkannya pelayanan pendidikan yang berwawasan karakter. Disamping juga adanya pemberian bantuan kepada masyarakat soal pendidikan gratis dengan adanya bantuan-bantuan dari pemerintah seperti dana BOS,” terangnya.

Selain itu, lanjutnya, juga akan digalakkan pendidikan anak usia dini (PAUD), pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), taman bacaan masyarakat (TBM), dan kursus.

Menyikapi hal itu, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Ibnu Hajar menyebutkan, terdapat beberapa faktor mempengaruhi seseorang menjadi buta aksara, seperti alasan ekonomi, fasilitas pendidikan, dan usia.
Alasan ekonomi, bilang Ibnu, lebih mendukung mengapa seseorang itu bisa menjadi buta aksara. Mengingat, seseorang menjadi enggan bahkan malas untuk menuntut ilmu di bangku pendidikan.

“Masih banyak masyarakat yang kita temui, lebih memilih untuk mencari uang demi  membiayai kebutuhan hidup sehari-harinya ketimbang bersekolah. Sehingga masih banyak ditemukan buta aksara di usia produktif. Yang mencari nafkah bukan saja orang tua tapi juga anak-anak yang turut membantu orangtuanya,” ungkapnya.
Sementara itu, lanjut Ibnu,  alasan fasilitas juga ikut mempengarui, karena tidak tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai di suatu daerah.

Ibnu mencontohkan, seperti sekolah atau lembaga kursus belajar yang terlalu jauh jaraknya dari perumahan penduduk. S ehingga untuk menuntut ilmu, katanya, bisa membutuhkan berjam-jam perjalanan dan membuat masyarakat sekitar enggan dan malas.

Alasan yang terakhir, yakni usia, karena sudah merasa tua jadi masyrakat tidak lagi memprioritaskan untuk belajar. (uma)

MEDAN- Dalam peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-46, ditemukan sebanyak 2,18 persen, atau sekitar 288.814 penduduk Sumatera Utara (Sumut) mengalamai buta aksara. Jumlah ini merupakan bagian dari total jumlah penduduk Sumut berkisar 13.248.386 jiwa.

Bahkan dari jumlah tersebut, buta aksara dialami oleh penduduk berusia produktif yakni 12-44 tahun.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Utara (Kadisdik Sumut), Syaiful Safri saat dikonfirmasi Senin (5/12). “Dari jumlah penduduk yang mengalami buta aksara itu, tersebar di lima kabupaten/kota, diantaranya, Nias seluruhnya, Nias Selatan, Deli Serdang, dan Simalungun,” ujarnya.

Seperti diketahui, jumlah penduduk yang paling banyak berada di Deli Serdang dengan total penduduk 1.788.351 jiwa, diikuti Simalungun sebanyak 859.879 jiwa, Nias 444.502 jiwa, dan Nias Selatan 273.733 jiwa.  Meskipun jumlah penduduk Nias sedikit, bilang Syaiful, namun persentase buta aksara lebih banyak dibandingkan daerah lainnya.
Disinggung mengenai masih banyaknya ditemukan buta aksara di Nias, menurutnya, disebabkan karena kurangnya pendidikan di daerah tersebut. Selain itu, alasan perekonomian penduduk, bisa menentukan tingkat pendidikan sesorang.

Untuk itulah, lanjut Syaiful, peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-46 itu dilaksanakan untuk dapat memotivasi masing-masing kabupaten/kota guna meminimalisir terjadinya buta aksara.

“Jika dibanding tahun lalu, jumlah ini sudah mulai berkurang. Diharapkan tahun-tahun berikutnya, buta aksara akan semakin berkurang dengan ditingkatkannya pelayanan pendidikan yang berwawasan karakter. Disamping juga adanya pemberian bantuan kepada masyarakat soal pendidikan gratis dengan adanya bantuan-bantuan dari pemerintah seperti dana BOS,” terangnya.

Selain itu, lanjutnya, juga akan digalakkan pendidikan anak usia dini (PAUD), pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), taman bacaan masyarakat (TBM), dan kursus.

Menyikapi hal itu, pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Ibnu Hajar menyebutkan, terdapat beberapa faktor mempengaruhi seseorang menjadi buta aksara, seperti alasan ekonomi, fasilitas pendidikan, dan usia.
Alasan ekonomi, bilang Ibnu, lebih mendukung mengapa seseorang itu bisa menjadi buta aksara. Mengingat, seseorang menjadi enggan bahkan malas untuk menuntut ilmu di bangku pendidikan.

“Masih banyak masyarakat yang kita temui, lebih memilih untuk mencari uang demi  membiayai kebutuhan hidup sehari-harinya ketimbang bersekolah. Sehingga masih banyak ditemukan buta aksara di usia produktif. Yang mencari nafkah bukan saja orang tua tapi juga anak-anak yang turut membantu orangtuanya,” ungkapnya.
Sementara itu, lanjut Ibnu,  alasan fasilitas juga ikut mempengarui, karena tidak tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai di suatu daerah.

Ibnu mencontohkan, seperti sekolah atau lembaga kursus belajar yang terlalu jauh jaraknya dari perumahan penduduk. S ehingga untuk menuntut ilmu, katanya, bisa membutuhkan berjam-jam perjalanan dan membuat masyarakat sekitar enggan dan malas.

Alasan yang terakhir, yakni usia, karena sudah merasa tua jadi masyrakat tidak lagi memprioritaskan untuk belajar. (uma)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/