26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

FGD Kanwil Kemenkumham Sumut Gandeng Dekan Fakultas Hukum UMSU

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU), Dr Faisal SH MHum hadir sebagai narasumber dalam kegiatan Focus Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara (Kanwil Kemenkumham Sumut), Senin (7/8).

Kegiatan FGD berlangsung di Ruang Saharjo, Kantor Kanwil Kemenkumham Sumut ini mengangkat tema “Analisis Evaluasi Kebijakan Permenkumham Nomor 16 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat di Lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara”.

Mewakili Kepala Kantor Wilayah, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Alex Cosmas Pinem membuka acara mengatakan, bahwa selama ini dalam upaya menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM berbasis bukti melalui kegiatan dan penelitian, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara selalu mengadakan Focus Forum Group Discussion (FGD).

“FGD kali ini diikuti oleh Satuan Kerja Pemasyarakatan se-Sumatera Utara melalui jaringan zoom dengan mengundang Narasumber Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Dr Faisal SH, MHum,” ujar Alex Cosmas Pinem.

Dalam FGD tersebut, Dr Faisal SH MHum menuturkan, bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, mengamanatkan perbaikan secara mendasar dalam pelaksanaan fungsi Pemasyarakatan yang meliputi Pelayanan, Pembinaan, Pembimbingan Kemasyarakatan, Perawatan, Pengamanan, dan Pengamatan dengan menjunjung tinggi penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.

“Undang-Undang Pemasyarakatan terbaru tersebut juga berisi penguatan posisi lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), khususnya yang menyelenggarakan penegakan hukum terkait perlakuan terhadap anak dan warga binaan.” ungkapnya.

Selanjutnya Faisal menjelaskan, UU Pemasyarakatan yang baru mempertegas bahwa perlakuan terhadap pelanggar hukum harus didasarkan kepada prinsip perlindungan hukum dan penghormatan HAM berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

“UU Pemasyarakatan yang baru memuat reformulasi pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan, dan penegasan tujuan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan serta penegasan fungsi pemasyarakatan dan kelembagaan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan,” imbuhnya.

Selain itu, UU Pemasyarakatan yang baru juga mengatur hak dan kewajiban warga binaan, perlakuan terhadap kelompok resiko tinggi, intelijen pemasyarakatan, system teknologi informasi pemasyarakatan, petugas pemasyarakatan, pengawasan, hingga penguatan Kerjasama dan peran serta Masyarakat.

“Bahwa reformasi pemasyarakatan sebenarnya tidak hanya dilakukan melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional, yaitu UU No. 1 Tahun 2023. Karena dalam Pasal 51 KUHP yang baru menegaskan bahwa tujuan pemidanaan selain pencegahan, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan, penciptaan rasa aman dan damai, serta penumbuhan penyesalan pelaku pidana,” jelasnya.

Terkait hak-hak narapidana, lebih lanjut Faisal, mengatakan sesungguhnya sudah tercantum dalam UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, khusus dalam Pasal 10, yakni (a) remisi; (b) asimilasi; (C) cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga; (d) cuti bersyarat; (e) cuti menjelang bebas; (f) pembebasan bersyarat; dan (g) hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan khusus mengenai tata cara dan syarat pemberian remisi dan lain lain sudah diatur dalam Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018.

“Permenkumham ini telah mengalami perubahan 2 kali, yakni Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 dan Permenkumham Nomor 16 Tahun 2023,” kata Faisal.

Perubahan yang terdapat dalam Permenkumham Nomor 16 Tahun 2023: Pasal 29 (1) Remisi atas dasar kepentingan kemanusiaan diberikan kepada Narapidana: (a) yang dipidana dengan masa pidana paling lama 1 (satu) tahun; (b). berusia di atas 70 (tujuh puluh) tahun; dan/atau (c) menderita sakit berkepanjangan.

“Khusus Remisi bagi Narapidana di atas usia 70 tahun diberikan pada hari lanjut usia nasional. Hari lanjut usia nasional diperingati tanggal 29 Mei, artinya remisi ini tidak diberikan pada hari besar nasional, seperti remisi pada umumnya,” jelasnya.

Usul pemberian remisi bagi narapidana yang sakit berkepanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disertai dengan surat keterangan dokter yang menyatakan: (a) penyakit yang diderita sulit untuk disembuhkan; (b) penyakit yang diderita mengancam jiwa atau nyawa; dan (c) selalu mendapat perawatan ahli atau dokter sepanjang hidupnya.
“Remisi bagi narapidana yang menderita sakit berkepanjangan diberikan pada hari kesehatan dunia. Hari Kesehatan Dunia diperingati tanggal 7 April. Artinya remisi ini tidak diberikan pada hari besar nasional, seperti remisi pada umumnya,” kata Faisal.

Pada kesempatan itu Faisal juga menyampaikan sejumlah saran, diantaranya tentang remisi atas dasar kepentingan kemanusiaan hendaknya diberikan dengan syarat sejumlah syarat.

Pertama, tidak ada batasan maksimal pemidanaannya. Kedua, tidak ada batasan usia.
“Dengan ketentuan narapidana tersebut mengalami sakit yang berkepanjangan yang dilengkapi dengan surat keterangan dokter yang menyatakan; (a) bahwa penyakit yang diderita sulit untuk disembuhkan, (b) penyakit yang diderita mengancam jiwa atau nyawa; dan c. selalu mendapat perawatan ahli atau dokter sepanjang hidupnya,” jelasnya.

Ketiga, dibuat ketentuan jika narapidana mengalami kesembuhan sebelum masa pemidanaan berakhir, narapidana wajib menjalani pembinaan di dalam lapas.

Menurut Faisal, hal ini tentunya di satu sisi memang terlihat tidak memenuhi rasa keadilan pada masyarakat, terutama pada korban atas kejahatan yang dilakukan narapidana.
“Namun sebaiknya kita juga harus melihat pada kepentingan hak narapidana yang mengalami sakit berkepanjangan tersebut,” tegasnya.

Faisal menegaskan, pola pembinaan narapidana dilakukan untuk mencapai suatu keadilan. Keadilan yang dapat dijadikan pegangan dalam pembinaan narapidana tersebut, yaitu keadilan yang bermartabat. Pembinaan yang dilakukan hendaknya lebih benar-benar memanusiakan narapidana sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Hal ini tentunya sesuai keadilan yang tercantum dalam sila kedua dan sila ke lima dari Pancasila.

Bahwa Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa, sifat kodrat individu dan mahluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).
Keadilan Sosial tersebut didasari dan dijiwai oleh hakekat keadilan manusia sebagai mahluk yang beradap (sila kedua). Manusia pada hakekatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungannya.

“Begitu pula dengan narapidana yang mengalami sakit berkepanjangan,” Ujar Faisal.

“Pembinaan yang dilakukan terhadapnya hendaknya juga tidak melupakan nilai-nilai keadilan. Tujuannya adalah agar narapidana tersebut dapat memperoleh perawatan dan perlindungan. Sehingga jika sembuh, narapidana tersebut dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik kembali,” tambahnya.

Sebagai penutup pembahasan
Terakhir, Faisal mengatakan, bahwa 10 Butir Prinsip Pemasyarakatan harus tetap menjadi pedoman, yakni:

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja, Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan. (rel/tri)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU), Dr Faisal SH MHum hadir sebagai narasumber dalam kegiatan Focus Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara (Kanwil Kemenkumham Sumut), Senin (7/8).

Kegiatan FGD berlangsung di Ruang Saharjo, Kantor Kanwil Kemenkumham Sumut ini mengangkat tema “Analisis Evaluasi Kebijakan Permenkumham Nomor 16 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat di Lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara”.

Mewakili Kepala Kantor Wilayah, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Alex Cosmas Pinem membuka acara mengatakan, bahwa selama ini dalam upaya menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM berbasis bukti melalui kegiatan dan penelitian, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara selalu mengadakan Focus Forum Group Discussion (FGD).

“FGD kali ini diikuti oleh Satuan Kerja Pemasyarakatan se-Sumatera Utara melalui jaringan zoom dengan mengundang Narasumber Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Dr Faisal SH, MHum,” ujar Alex Cosmas Pinem.

Dalam FGD tersebut, Dr Faisal SH MHum menuturkan, bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, mengamanatkan perbaikan secara mendasar dalam pelaksanaan fungsi Pemasyarakatan yang meliputi Pelayanan, Pembinaan, Pembimbingan Kemasyarakatan, Perawatan, Pengamanan, dan Pengamatan dengan menjunjung tinggi penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.

“Undang-Undang Pemasyarakatan terbaru tersebut juga berisi penguatan posisi lembaga pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), khususnya yang menyelenggarakan penegakan hukum terkait perlakuan terhadap anak dan warga binaan.” ungkapnya.

Selanjutnya Faisal menjelaskan, UU Pemasyarakatan yang baru mempertegas bahwa perlakuan terhadap pelanggar hukum harus didasarkan kepada prinsip perlindungan hukum dan penghormatan HAM berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

“UU Pemasyarakatan yang baru memuat reformulasi pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan, dan penegasan tujuan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan serta penegasan fungsi pemasyarakatan dan kelembagaan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan,” imbuhnya.

Selain itu, UU Pemasyarakatan yang baru juga mengatur hak dan kewajiban warga binaan, perlakuan terhadap kelompok resiko tinggi, intelijen pemasyarakatan, system teknologi informasi pemasyarakatan, petugas pemasyarakatan, pengawasan, hingga penguatan Kerjasama dan peran serta Masyarakat.

“Bahwa reformasi pemasyarakatan sebenarnya tidak hanya dilakukan melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional, yaitu UU No. 1 Tahun 2023. Karena dalam Pasal 51 KUHP yang baru menegaskan bahwa tujuan pemidanaan selain pencegahan, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan, penciptaan rasa aman dan damai, serta penumbuhan penyesalan pelaku pidana,” jelasnya.

Terkait hak-hak narapidana, lebih lanjut Faisal, mengatakan sesungguhnya sudah tercantum dalam UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, khusus dalam Pasal 10, yakni (a) remisi; (b) asimilasi; (C) cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga; (d) cuti bersyarat; (e) cuti menjelang bebas; (f) pembebasan bersyarat; dan (g) hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan khusus mengenai tata cara dan syarat pemberian remisi dan lain lain sudah diatur dalam Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018.

“Permenkumham ini telah mengalami perubahan 2 kali, yakni Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 dan Permenkumham Nomor 16 Tahun 2023,” kata Faisal.

Perubahan yang terdapat dalam Permenkumham Nomor 16 Tahun 2023: Pasal 29 (1) Remisi atas dasar kepentingan kemanusiaan diberikan kepada Narapidana: (a) yang dipidana dengan masa pidana paling lama 1 (satu) tahun; (b). berusia di atas 70 (tujuh puluh) tahun; dan/atau (c) menderita sakit berkepanjangan.

“Khusus Remisi bagi Narapidana di atas usia 70 tahun diberikan pada hari lanjut usia nasional. Hari lanjut usia nasional diperingati tanggal 29 Mei, artinya remisi ini tidak diberikan pada hari besar nasional, seperti remisi pada umumnya,” jelasnya.

Usul pemberian remisi bagi narapidana yang sakit berkepanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disertai dengan surat keterangan dokter yang menyatakan: (a) penyakit yang diderita sulit untuk disembuhkan; (b) penyakit yang diderita mengancam jiwa atau nyawa; dan (c) selalu mendapat perawatan ahli atau dokter sepanjang hidupnya.
“Remisi bagi narapidana yang menderita sakit berkepanjangan diberikan pada hari kesehatan dunia. Hari Kesehatan Dunia diperingati tanggal 7 April. Artinya remisi ini tidak diberikan pada hari besar nasional, seperti remisi pada umumnya,” kata Faisal.

Pada kesempatan itu Faisal juga menyampaikan sejumlah saran, diantaranya tentang remisi atas dasar kepentingan kemanusiaan hendaknya diberikan dengan syarat sejumlah syarat.

Pertama, tidak ada batasan maksimal pemidanaannya. Kedua, tidak ada batasan usia.
“Dengan ketentuan narapidana tersebut mengalami sakit yang berkepanjangan yang dilengkapi dengan surat keterangan dokter yang menyatakan; (a) bahwa penyakit yang diderita sulit untuk disembuhkan, (b) penyakit yang diderita mengancam jiwa atau nyawa; dan c. selalu mendapat perawatan ahli atau dokter sepanjang hidupnya,” jelasnya.

Ketiga, dibuat ketentuan jika narapidana mengalami kesembuhan sebelum masa pemidanaan berakhir, narapidana wajib menjalani pembinaan di dalam lapas.

Menurut Faisal, hal ini tentunya di satu sisi memang terlihat tidak memenuhi rasa keadilan pada masyarakat, terutama pada korban atas kejahatan yang dilakukan narapidana.
“Namun sebaiknya kita juga harus melihat pada kepentingan hak narapidana yang mengalami sakit berkepanjangan tersebut,” tegasnya.

Faisal menegaskan, pola pembinaan narapidana dilakukan untuk mencapai suatu keadilan. Keadilan yang dapat dijadikan pegangan dalam pembinaan narapidana tersebut, yaitu keadilan yang bermartabat. Pembinaan yang dilakukan hendaknya lebih benar-benar memanusiakan narapidana sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Hal ini tentunya sesuai keadilan yang tercantum dalam sila kedua dan sila ke lima dari Pancasila.

Bahwa Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai Mahluk Tuhan Yang Maha Esa, sifat kodrat individu dan mahluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).
Keadilan Sosial tersebut didasari dan dijiwai oleh hakekat keadilan manusia sebagai mahluk yang beradap (sila kedua). Manusia pada hakekatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungannya.

“Begitu pula dengan narapidana yang mengalami sakit berkepanjangan,” Ujar Faisal.

“Pembinaan yang dilakukan terhadapnya hendaknya juga tidak melupakan nilai-nilai keadilan. Tujuannya adalah agar narapidana tersebut dapat memperoleh perawatan dan perlindungan. Sehingga jika sembuh, narapidana tersebut dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik kembali,” tambahnya.

Sebagai penutup pembahasan
Terakhir, Faisal mengatakan, bahwa 10 Butir Prinsip Pemasyarakatan harus tetap menjadi pedoman, yakni:

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja, Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai salah satu derita yang dialaminya
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan. (rel/tri)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/