32.8 C
Medan
Saturday, April 27, 2024

Potret Guru dan Wajah Pendidikan Kita

Sebagaimana kita maklumi, ada dua hari paling istimewa dalam dunia pendidikan di Indonesia yang selalu diperingati setiap tahun. Yang pertama ialah Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2Mei, seperti yang baru saja kita rayakan beberapa hari lalu. Sedangkan yang kedua yaitu Hari Guru, yang jatuh pada tanggal 25 November mendatang.

Dapat dikatakan bahwa antara keduanya adalah saling berkaitan satu sama lain. Artinya, membahas masalah pendidikan tentulah erat hubungannya dengan sosok-sosok ibu dan bapak guru. Begitu juga sebaliknya, memperbincangkan para ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ itu akan berkorelasi pula terhadap hal-hal yang menyangkut persoalan pendidikan.

Terkait pembicaraan tentang guru dan pendidikan tadi kiranya masih menarik untuk menyimak kembali ucapan Kaisar Hirohito semasa terjadinya perang dunia kedua dahulu. Kala itu, setelah Jepang (kota Hiroshima dan Nagasaki) dijatuhi bom atom oleh tentara sekutu ternyata ucapan pertama yang terlontar dari mulut Sang Kaisar adalah sebentuk pertanyaan: berapa guru yang masih hidup?
Pertanyaan di atas jelas menunjukkan bahwa pemimpin ‘Negara Matahari Terbit’ tersebut begitu peduli terhadap pendidikan. Penguasa ‘Negeri Sakura’ ini berkeyakinan besar (optimis) bangsanya akan mampu dan segera bangkit lagi dengan eksistensi para guru.

Pada perkembangan selanjutnya, hingga kini memang terbukti Jepang berhasil menjadi salah satu negara maju. Keberadaannya sangat diperhitungkan dan termasuk paling disegani di dunia (terutama di kawasan Asia).
Sampai sekarangpun sistem pendidikan dan kualitas komunitas guru di Jepang benar-benar layak diacungi dua jempol, bahkan sepuluh jari. Menurut sebuah sumber yang pernah penulis baca, untuk setingkat SMA telah mempunyai tenaga pengajar bergelar profesor dalam setiap sekolah. Malah pada sekolah-sekolah semacam SMK-Teknik (STM) minimal sudah memiliki tiga orang profesor ahli. Di level perguruan tinggi , mayoritas universitasnya menggunakan model ‘multimedia classroom’ di mana pada setiap meja kuliah para mahasiswa tersedia komputer yang tersambung langsung ke jaringan internet.

Dengan model pembelajaran begini maka rata-rata dosen dan sebagian guru di Jepang melakukan kegiatan pembelajaran yang bahan ajar atau materi kuliahnya terdapat di ‘website’ pribadi si dosen atau guru yang bersangkutan. Selain itu, para pelajar dan mahasiswanya pun bisa mengakses sumber-sumber lain untuk materi pelajaran dan perkuliahan serupa yang juga dari internet.

Fenomena demikian tentu masih belum kita temukan di Indonesia. Kalaupun ada tentulah masih teramat langka. Jangankan sarana, mutu sumber daya manusia guru-guru di tanah air terkadang membuat kita terpaksa ‘mencibir’.
Tanpa bermaksud merendahkan rekan-rekan sesama guru, tetapi tipe guru dimaksud mungkin saja ada atau pernah ada di tengah-tengah kita. Lulusan SMA mengajar di SMP (terutama sekolah swasta atau  tenaga honorer di sekolah negeri) sempat menjadi hal biasa.   Padahal, sebagaimana kita maklumi, untuk menjadi seorang guru haruslah memenuhi kriteria layak dan mampu. Artinya, boleh jadi si guru dimaksud memang punya kemampuan. Namun secara kelayakan ia tidak memenuhi atau sebaliknya.

Ke depan, paradigma pendidikan harus lebih dipacu untuk semakin maju. Dan upaya ke arah itu memang mesti dimulai dari figur para guru, baru kemudian dibarengi dengan kom[ponen-komponen lainnya, semisal kurikulum, sarana dan prasarana serta berbagai perangkat yang diperlukan. Kemajuan dunia pendidikan hanya akan menjadi mimpi di siang bolong kalau tenaga-tenaga pendidiknya masih terus terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan birokrasi.(*)

Sebagaimana kita maklumi, ada dua hari paling istimewa dalam dunia pendidikan di Indonesia yang selalu diperingati setiap tahun. Yang pertama ialah Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2Mei, seperti yang baru saja kita rayakan beberapa hari lalu. Sedangkan yang kedua yaitu Hari Guru, yang jatuh pada tanggal 25 November mendatang.

Dapat dikatakan bahwa antara keduanya adalah saling berkaitan satu sama lain. Artinya, membahas masalah pendidikan tentulah erat hubungannya dengan sosok-sosok ibu dan bapak guru. Begitu juga sebaliknya, memperbincangkan para ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ itu akan berkorelasi pula terhadap hal-hal yang menyangkut persoalan pendidikan.

Terkait pembicaraan tentang guru dan pendidikan tadi kiranya masih menarik untuk menyimak kembali ucapan Kaisar Hirohito semasa terjadinya perang dunia kedua dahulu. Kala itu, setelah Jepang (kota Hiroshima dan Nagasaki) dijatuhi bom atom oleh tentara sekutu ternyata ucapan pertama yang terlontar dari mulut Sang Kaisar adalah sebentuk pertanyaan: berapa guru yang masih hidup?
Pertanyaan di atas jelas menunjukkan bahwa pemimpin ‘Negara Matahari Terbit’ tersebut begitu peduli terhadap pendidikan. Penguasa ‘Negeri Sakura’ ini berkeyakinan besar (optimis) bangsanya akan mampu dan segera bangkit lagi dengan eksistensi para guru.

Pada perkembangan selanjutnya, hingga kini memang terbukti Jepang berhasil menjadi salah satu negara maju. Keberadaannya sangat diperhitungkan dan termasuk paling disegani di dunia (terutama di kawasan Asia).
Sampai sekarangpun sistem pendidikan dan kualitas komunitas guru di Jepang benar-benar layak diacungi dua jempol, bahkan sepuluh jari. Menurut sebuah sumber yang pernah penulis baca, untuk setingkat SMA telah mempunyai tenaga pengajar bergelar profesor dalam setiap sekolah. Malah pada sekolah-sekolah semacam SMK-Teknik (STM) minimal sudah memiliki tiga orang profesor ahli. Di level perguruan tinggi , mayoritas universitasnya menggunakan model ‘multimedia classroom’ di mana pada setiap meja kuliah para mahasiswa tersedia komputer yang tersambung langsung ke jaringan internet.

Dengan model pembelajaran begini maka rata-rata dosen dan sebagian guru di Jepang melakukan kegiatan pembelajaran yang bahan ajar atau materi kuliahnya terdapat di ‘website’ pribadi si dosen atau guru yang bersangkutan. Selain itu, para pelajar dan mahasiswanya pun bisa mengakses sumber-sumber lain untuk materi pelajaran dan perkuliahan serupa yang juga dari internet.

Fenomena demikian tentu masih belum kita temukan di Indonesia. Kalaupun ada tentulah masih teramat langka. Jangankan sarana, mutu sumber daya manusia guru-guru di tanah air terkadang membuat kita terpaksa ‘mencibir’.
Tanpa bermaksud merendahkan rekan-rekan sesama guru, tetapi tipe guru dimaksud mungkin saja ada atau pernah ada di tengah-tengah kita. Lulusan SMA mengajar di SMP (terutama sekolah swasta atau  tenaga honorer di sekolah negeri) sempat menjadi hal biasa.   Padahal, sebagaimana kita maklumi, untuk menjadi seorang guru haruslah memenuhi kriteria layak dan mampu. Artinya, boleh jadi si guru dimaksud memang punya kemampuan. Namun secara kelayakan ia tidak memenuhi atau sebaliknya.

Ke depan, paradigma pendidikan harus lebih dipacu untuk semakin maju. Dan upaya ke arah itu memang mesti dimulai dari figur para guru, baru kemudian dibarengi dengan kom[ponen-komponen lainnya, semisal kurikulum, sarana dan prasarana serta berbagai perangkat yang diperlukan. Kemajuan dunia pendidikan hanya akan menjadi mimpi di siang bolong kalau tenaga-tenaga pendidiknya masih terus terbelenggu oleh kepentingan-kepentingan birokrasi.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/