25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tipe 36 Tetap Diminati

Pakar hukum tatanegara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pengusaha properti tidak perlu khawatir rumah tipe 36 tak akan dilirik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Menurutnya, rumah sederhana tapak ukuran tipe 36 justru akan lebih diminati karena selain lebih manusiawi, juga sesuai dengan luas minimum standar nasional Indonesia.

“Para pengembang tidaklah memiliki cukup alasan untuk mengatakan bahwa usaha mereka akan bangkrut atau akan rugi kalau membangun rumah tunggal dan rumah deret bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” ujar Yusril saat hadir sebagai ahli pada persidangan uji materi Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) di Mahkamah Kontitusi (MK), Senin (30/4).

Mantan Menteri Sekretaris Negara itu berpendapat, norma di dalam Pasal 22 ayat (3) UU PKP yang mengatur ukuran minimal rumah tunggal dan rumah deret bagi MBR tidaklah bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum maupun pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUD 1945. Selain itu menurutnya, Pasal 22 ayat (3) di UU PKP telah mengandung kejelasan dan kepastian hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 24d ayat (1) UUD 1945.

“Norma Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang ukuran minimal rumah tunggal dan rumah deret adalah 36 m2 juga tidak bertentangan atau malah tidak ada hubungannya sama sekali dengan norma Pasal 24h ayat (3) tentang jaminan sosial. Apalagi jika dikaitkan dengan norma Pasal 28h ayat (4) yang mengatur tentang pengakuan akan adanya hak milik pribadi bagi setiap orang yang tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang oleh siapa pun,” tuturnya.

Mantan Menteri Hukum dan HAM ini juga mengatakan,  para pengembang juga dapat mengalihkan kegiatan usahanya dari membangun rumah tunggal atau rumah deret dengan membangun rumah susun. Dengan demikian, target pemenuhan kebutuhan pembangunan rumah untuk masyarakat seperti yang diinginkan pemerintah dapat terpenuhi.

“Ukuran minimal rumah tunggal dan rumah deret 36 m2 yang dibangun khusus untuk memenuhi kebutuhan MBR, tidak ada hubungannya sama sekali dengan persoalan hak milik yang dapat dirampas orang lain dengan cara sewenang-wenang. Masyarakat berpenghasilan rendah malah berdasarkan Pasal 22 ayat (3) itu, berhak memiliki rumah yang dibelinya. Jika rumah telah dibeli dan dimiliki, hak mereka atas rumah itu tidak dapat dirampas oleh siapa pun dengan cara sewenang-wenang,” terangnya.

Sebelumnya Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) menggugat Pasal 22 ayat (3) UU PKP yang mengatur pembatasan luas rumah minimal 36 meter persegi. Menurut APERSI, ketentuan itu melanggar UUD 1945 karena menyulitkan warga negara untuk mendapat rumah hunian yang layak sesuai kemampuan keuangan. (esy/jpnn)

Pakar hukum tatanegara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pengusaha properti tidak perlu khawatir rumah tipe 36 tak akan dilirik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Menurutnya, rumah sederhana tapak ukuran tipe 36 justru akan lebih diminati karena selain lebih manusiawi, juga sesuai dengan luas minimum standar nasional Indonesia.

“Para pengembang tidaklah memiliki cukup alasan untuk mengatakan bahwa usaha mereka akan bangkrut atau akan rugi kalau membangun rumah tunggal dan rumah deret bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” ujar Yusril saat hadir sebagai ahli pada persidangan uji materi Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) di Mahkamah Kontitusi (MK), Senin (30/4).

Mantan Menteri Sekretaris Negara itu berpendapat, norma di dalam Pasal 22 ayat (3) UU PKP yang mengatur ukuran minimal rumah tunggal dan rumah deret bagi MBR tidaklah bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum maupun pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UUD 1945. Selain itu menurutnya, Pasal 22 ayat (3) di UU PKP telah mengandung kejelasan dan kepastian hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 24d ayat (1) UUD 1945.

“Norma Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang ukuran minimal rumah tunggal dan rumah deret adalah 36 m2 juga tidak bertentangan atau malah tidak ada hubungannya sama sekali dengan norma Pasal 24h ayat (3) tentang jaminan sosial. Apalagi jika dikaitkan dengan norma Pasal 28h ayat (4) yang mengatur tentang pengakuan akan adanya hak milik pribadi bagi setiap orang yang tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang oleh siapa pun,” tuturnya.

Mantan Menteri Hukum dan HAM ini juga mengatakan,  para pengembang juga dapat mengalihkan kegiatan usahanya dari membangun rumah tunggal atau rumah deret dengan membangun rumah susun. Dengan demikian, target pemenuhan kebutuhan pembangunan rumah untuk masyarakat seperti yang diinginkan pemerintah dapat terpenuhi.

“Ukuran minimal rumah tunggal dan rumah deret 36 m2 yang dibangun khusus untuk memenuhi kebutuhan MBR, tidak ada hubungannya sama sekali dengan persoalan hak milik yang dapat dirampas orang lain dengan cara sewenang-wenang. Masyarakat berpenghasilan rendah malah berdasarkan Pasal 22 ayat (3) itu, berhak memiliki rumah yang dibelinya. Jika rumah telah dibeli dan dimiliki, hak mereka atas rumah itu tidak dapat dirampas oleh siapa pun dengan cara sewenang-wenang,” terangnya.

Sebelumnya Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) menggugat Pasal 22 ayat (3) UU PKP yang mengatur pembatasan luas rumah minimal 36 meter persegi. Menurut APERSI, ketentuan itu melanggar UUD 1945 karena menyulitkan warga negara untuk mendapat rumah hunian yang layak sesuai kemampuan keuangan. (esy/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/