MEDAN, SUMUTPOS.CO – Fenomena bakal calon legislator (bacaleg) yang pindah partai untuk mencoba peruntungan terpilih dan duduk sebagai wakil rakyat, dinilai sebagai ‘barang lama’ dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Beberapa faktor disebutkan menjadi pemicu. Yakni pudarnya nilai ideologis atau garis perjuangan, hingga tren sekedar cari figur untuk mendulang suara.
Pengamat Politik UISU, Irawanto menilai bahwa dalam kondisi banyaknya bacaleg yang menyeberang dan mencari perahu (partai) lain, bukan baru saja terjadi. Banyak faktor yang menurutnya bisa dilihat sebagai penyebab, kenapa seakan begitu mudahnya orang ‘mengganti baju’ agar bisa mendapatkan ambisi menjadi anggota legislatif, baik tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten/kota.
“Ada beberapa faktor yang membuat fenomena ini terus terjadi dan trend sejak pasca reformasi lalu. Pertama pudarnya nilai ideologi partai. Sehingga partai lebih mementingkan mengusung figure yang memiliki nilai jual daripada figure yang jelas memiliki kesamaan ideologi (garis perjuangan) dengan partai,” ujar Irawanto.
Faktor kedua, yakni adanya semacam kegagalan kaderisasi partai. Sehingga anggota atau kadernya sangat mudah untuk melompat dan berpindah ‘perahu’ dari satu partai ke partai lain. Karena menurutnya organisasi peserta Pemilu ini hamper tidak mensyaratkan adanya proses pengkaderan yang tuntas khususnya kepada bacaleg.
“Ketiga, adalah karena kebutuhan bacaleg itu sendiri untuk mendapatkan perahu. Karena mungkin saja jika dia masih memilih untuk tetap bertahan di partai yang lama, tidak mendapat porsi yang besar dari pimpinan partai karena adanya proses pergantian ketua misalnya. Sehingga biasanya orang itu tidak mendapat nomor urut yang sesuai keinginan, seperti nomor urut satu,” katanya yang menyebutkan bahwa nomor urut juga berpengaruh bagi bacaleg sebagai modal untuk kampanye.
Berikutnya lanjut Irawanto, dari segi kontestasi partai. Baik partai lama maupun baru tentu menginginkan memperoleh kursi semaksimal mungkin di setiap daerah pemilihan (dapil). Sehingga kebutuhan dimaksud adalah bagaimana mendapatkan vote getter, yang diartikan sebagai seseorang yang cukup terkenal atau berpengaruh. Dengan begitu, simpati masyarakat pemilih diharapkan akan tertuju pada sosok bacaleg tersebut.
“Yaitu figur terkenal yang diprediksi dapat mendulang suara banyak dari pemilih saat Pemilu. Ini fenomena lama. Sejak penyederhanaan partai politik zaman orde baru, kemudian penerapan azas tunggal, parpol dipaksa untuk meninggalkan ke-khas-an ideologinya,” jelasnya yang mengatakan bahwa masa itu, hanya tiga partai yang menjadi peserta Pemilu selama puluhan tahun.
Begitu juga pasca reformasi kata Irawanto, semangat kebebasan berorganisasi juga tidak membangkitkan nilai dasar perjuangan sebuah partai politik. Sebab menurutnya partai-partai sudah tidak dibangun atas dasar akar ideologi, tetapi atas dasar kepentingan politik elektoral semata.
“Maka kekuatan finansial, kemampuan menarik figur terkenal menjadi faktor terpenting dibandingkan melakukan pengkaderan berjenjang untuk bacalegnya,” katanya.
Pun begitu, ada beberapa partai menurut Ira yang terlihat masih melakukn proses pengkaderan baik berjenjang maupun tidak. Setidaknya meskipun nilai dasar perjuangan tidak begitu tampak, baginya proses kaderisasi merupakan satu kunci agar bacaleg tidak mudah untuk berganti baju.
“Dalam hal ini mungkin PKS bisa dikecualikan, karena mereka masih melaksanakan perkaderan berjenjang itu. Mungkin juga PDIP dan Gerindra. Tetapi mereka tidak ketat menyeleksi dan mengharuskan kelulusan pengkaderan berjenjang. Namun masih me terlihat melaksanakan pengkaderan,” katanya. (bal)