26 C
Medan
Friday, July 5, 2024

Intuisi Politik Megawati Bisa Lawan Kalkulasi

SUMUTPOS.CO – Langkah Megawati Soekarnoputri menahan pengumuman calon presiden (capres) PDIP pada Pilpres 2014 mendatang dinilai bukan semata hasil kalkulasi politik. Sebab, Ketua Umum PDIP itu juga menggunakan intuisi dalam membuat keputusan politik.

PEMIKIRAN itu disampaikan pengamat politik dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, hal yang harus dipahami bahwa Megawati dengan intuisi politiknya bisa membuat keputusan yang kadang berbeda dengan kalkulasi politik banyak pihak. Hal itu bisa saja berlaku pada sosok yang akan diputuskan sebagai capres PDIP pada Pilpres mendatang.

“Megawati dengan intuisinya bisa mengelabui kompetitor. Di dalam (PDIP, Red) bertanya-tanya, sementara di luar orang juga penasaran,” kata Ari dalam acara bedah buku ‘Pak Taufiq dan Bu Mega’ karya Rahmat Sahid di Wisma Magister Management UGM, Selasa (3/12).

Ari menjelaskan, Megawati yang kadang memilih diam atas suatu hal, bukan berarti tak bertindak. Sebab, diamnya Megawati adalah menyerap informasi. Dengan informasi itu pula Megawati mengambil keputusan meski tidak harus hingar-bingar di publik.

Di acara yang juga dihadiri politisi PDIP Eva Kusuma Sundara itu Ari menuturkan, pertanyaan yang kini muncul adalah bagaimana Megawati menjalankan partai sepeninggal Taufiq. Sebab, selama ini Taufiq merupakan sosok yang dianggap sebagai pemecah kebekuan, termasuk dalam hal kebuntuan komunikasi antara Megawati dengan pihak luar.

Ari menuturkan, mendiang Taufiq dengan kemampuan komunikasi politik yang baik memang harus menyandang risiko dicap sebagai politisi plin-plan. Namun akademisi yang pernah meneliti pembiayaan partai di PDIP itu menegaskan, kemampuan komunikasi politik seperti Taufiq tetap dibutuhkan PDIP.

Ari juga mengatakan bahwa sepeninggal Taufiq, tentunya konsolidasi PDIP di bawah Megawati akan lebih baik. Sebab, tak ada lagi matahari kembar di partai pemenang Pemilu 1999 itu.

“Konsolidasi di bawah Bu Mega tentu akan lebih mudah. Asalkan tidak ada patronase baru lagi, PDIP bakal lebih kuat,” ulasnya.

Sedangkan Eva mengatakan, Megawati meski pendiam bukan berarti tak maumenerima masukan. “Bu Mega fleksibel saat kita bisa memberi argumentasi yang kuat. Tapi dari Bu Megawati itu justru saya belajar tentang konsistensi, keseriusan dan tidak ngember,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR itu menambahkan, Megawati meski diam justru bisa memimpin PDIP secara efektif. Buktinya, mesin partai bisa berjalan baik. “Diam tapi kepemimpinan jalan. Kalau ada kader yang salah, pasti kena teguran. Seperti saya pernah kena tegur lewat pak Sekjen (Tjahjo Kumolo, Red),” ujarnya.

Sementara dari Taufiq, hal yang diingat betul oleh Eva adalah menghindari celaan ke rival politik. “Personality Pak Taufiq itu hangat dan tidak mau mencela orang,” ujar Eva dalam diskusi yang dipandu Wakil Ketua DPD PDIP DIY, Eko Suwanto tersebut. (ara/jpnn)

SUMUTPOS.CO – Langkah Megawati Soekarnoputri menahan pengumuman calon presiden (capres) PDIP pada Pilpres 2014 mendatang dinilai bukan semata hasil kalkulasi politik. Sebab, Ketua Umum PDIP itu juga menggunakan intuisi dalam membuat keputusan politik.

PEMIKIRAN itu disampaikan pengamat politik dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, hal yang harus dipahami bahwa Megawati dengan intuisi politiknya bisa membuat keputusan yang kadang berbeda dengan kalkulasi politik banyak pihak. Hal itu bisa saja berlaku pada sosok yang akan diputuskan sebagai capres PDIP pada Pilpres mendatang.

“Megawati dengan intuisinya bisa mengelabui kompetitor. Di dalam (PDIP, Red) bertanya-tanya, sementara di luar orang juga penasaran,” kata Ari dalam acara bedah buku ‘Pak Taufiq dan Bu Mega’ karya Rahmat Sahid di Wisma Magister Management UGM, Selasa (3/12).

Ari menjelaskan, Megawati yang kadang memilih diam atas suatu hal, bukan berarti tak bertindak. Sebab, diamnya Megawati adalah menyerap informasi. Dengan informasi itu pula Megawati mengambil keputusan meski tidak harus hingar-bingar di publik.

Di acara yang juga dihadiri politisi PDIP Eva Kusuma Sundara itu Ari menuturkan, pertanyaan yang kini muncul adalah bagaimana Megawati menjalankan partai sepeninggal Taufiq. Sebab, selama ini Taufiq merupakan sosok yang dianggap sebagai pemecah kebekuan, termasuk dalam hal kebuntuan komunikasi antara Megawati dengan pihak luar.

Ari menuturkan, mendiang Taufiq dengan kemampuan komunikasi politik yang baik memang harus menyandang risiko dicap sebagai politisi plin-plan. Namun akademisi yang pernah meneliti pembiayaan partai di PDIP itu menegaskan, kemampuan komunikasi politik seperti Taufiq tetap dibutuhkan PDIP.

Ari juga mengatakan bahwa sepeninggal Taufiq, tentunya konsolidasi PDIP di bawah Megawati akan lebih baik. Sebab, tak ada lagi matahari kembar di partai pemenang Pemilu 1999 itu.

“Konsolidasi di bawah Bu Mega tentu akan lebih mudah. Asalkan tidak ada patronase baru lagi, PDIP bakal lebih kuat,” ulasnya.

Sedangkan Eva mengatakan, Megawati meski pendiam bukan berarti tak maumenerima masukan. “Bu Mega fleksibel saat kita bisa memberi argumentasi yang kuat. Tapi dari Bu Megawati itu justru saya belajar tentang konsistensi, keseriusan dan tidak ngember,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR itu menambahkan, Megawati meski diam justru bisa memimpin PDIP secara efektif. Buktinya, mesin partai bisa berjalan baik. “Diam tapi kepemimpinan jalan. Kalau ada kader yang salah, pasti kena teguran. Seperti saya pernah kena tegur lewat pak Sekjen (Tjahjo Kumolo, Red),” ujarnya.

Sementara dari Taufiq, hal yang diingat betul oleh Eva adalah menghindari celaan ke rival politik. “Personality Pak Taufiq itu hangat dan tidak mau mencela orang,” ujar Eva dalam diskusi yang dipandu Wakil Ketua DPD PDIP DIY, Eko Suwanto tersebut. (ara/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/