25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

MK Putuskan Sistem Pemilu 2024 Tetap Proporsional Terbuka

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan judicial review (JR) alias uji materi sistem pemilu yang tertuang dalam perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022. Dengan demikian, Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.

“Mengadili, memutuskan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan di Gedung MK di Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/6/2023).

Sidang pleno pembacaan putusan ini dihadiri oleh 8 hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan Sitompul, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah. Sementara hakim konstitusi Wahiduddin Adams tidak hadir karena sedang menjalankan tugas MK di luar negeri.

Perkara dengan nomor 114/PUU-XX/2022 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diajukan oleh enam pemohon. Mereka adalah Demas Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Para pemohon meminta agar sistem Pemilu 2024 diubah dari sitem proporsional tertutup, menjadi proporsional terbuka.

Para Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional terbuka pada pemilu.

Para Pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik. Hal tersebut karena dalam penentuan caleg terpilih oleh KPU, tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.

Model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo menurut para pemohon telah nyata menyebabkan para caleg merasa Parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen, seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.

Putusan ini diambil oleh 9 hakim MK dengan satu hakim yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion, yakni hakim konstitusi Arief Hidayat.

“Sistem pemilu proporsional terbuka terbatas itulah yang saya usulkan. Isu hukum mengenai sistem pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka, namun tidak berarti hal tersebut menghalangi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitasnya,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Menurut Arief, diperlukan evaluasi perbaikan dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah empat kali diterapkan pada 2004, 2009, 2014, dan 2019. Karena itu, ia berpendapat peralihan sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan.

Sebab dari perspektif filosofis dan sosiologis pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis, ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh. Karena para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika. “Menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarkat dan adanya potensi konflik yang tajam di masyarakat yang berbeda pilihan,” cetus Arief. (jpc/ram)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan judicial review (JR) alias uji materi sistem pemilu yang tertuang dalam perkara Nomor 114/PUU-XIX/2022. Dengan demikian, Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.

“Mengadili, memutuskan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan di Gedung MK di Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/6/2023).

Sidang pleno pembacaan putusan ini dihadiri oleh 8 hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan Sitompul, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah. Sementara hakim konstitusi Wahiduddin Adams tidak hadir karena sedang menjalankan tugas MK di luar negeri.

Perkara dengan nomor 114/PUU-XX/2022 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diajukan oleh enam pemohon. Mereka adalah Demas Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Para pemohon meminta agar sistem Pemilu 2024 diubah dari sitem proporsional tertutup, menjadi proporsional terbuka.

Para Pemohon menguji Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terkait ketentuan sistem proporsional terbuka pada pemilu.

Para Pemohon berpendapat UU Pemilu telah mengkerdilkan atau membonsai organisasi partai politik dan pengurus partai politik. Hal tersebut karena dalam penentuan caleg terpilih oleh KPU, tidak berdasarkan nomor urut sebagaimana daftar caleg yang dipersiapkan oleh partai politik, namun berdasarkan suara terbanyak secara perseorangan.

Model penentuan caleg terpilih berdasarkan pasal a quo menurut para pemohon telah nyata menyebabkan para caleg merasa Parpol hanya kendaraan dalam menjadi anggota parlemen, seolah-olah peserta pemilu adalah perseorangan bukan partai politik.

Putusan ini diambil oleh 9 hakim MK dengan satu hakim yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion, yakni hakim konstitusi Arief Hidayat.

“Sistem pemilu proporsional terbuka terbatas itulah yang saya usulkan. Isu hukum mengenai sistem pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka, namun tidak berarti hal tersebut menghalangi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitasnya,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Menurut Arief, diperlukan evaluasi perbaikan dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah empat kali diterapkan pada 2004, 2009, 2014, dan 2019. Karena itu, ia berpendapat peralihan sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan.

Sebab dari perspektif filosofis dan sosiologis pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis, ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh. Karena para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika. “Menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarkat dan adanya potensi konflik yang tajam di masyarakat yang berbeda pilihan,” cetus Arief. (jpc/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/