26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kaderisasi Parpol Mati, Terbelenggu Sumbangan Kader

Makin mahalnya ongkos politik berimbas pada pilihan-pilihan pragmatisme partai politik. Seiring dengan itu proses kaderisasi di tubuh parpol menjadi terkendala karena masuknya pemodal yang ingin merengkuh kekuasaan melalui partai politik.

Pendapat  itu dkemukakan Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar Akbar Tandjung dalam  diskusi politik ‘Pemimpin untuk Indonesia Maju dan Bebas Korupsi’ yang digagas Political Communication (Polcomm) Institute di Cheese Cake Factory, Cikini Jakarta, Minggu (19/1).

“Politik sebagai perangkat atau medium memperjuangkan hajat publik di sistem demokrasi Indonesia dinilai sudah bergeser dari nilai-nilai luhurnya. Justru yang menonjol dari partai politik sekarang adalah hanya sebagai alat untuk menggapai jabatan semata,” kritik Akbar.

Menurut mantan Ketua Umum Partai Golkar ini, para politisi yang besar dilingkungan parpol seharusnya bisa menjadikan parpol sesuai fungsinya sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan publik. Karena itu, lanjutnya, yang harusnya menjadi tujuan utama dari parpol adalah bukan kekuasaan.

“Namun faktanya, saat ini, fungsi partai yang demikian, yakni memperjuangkan kepentingan rakyat, masih lemah. Terbukti, eksistensi parpol saat ini meredup. Publik hampir tidak bisa melihat atau membedakan mana platform dan ideologi satu parpol dengan parpol lainnya. Begitu juga apa perjuangan yang membedakan mereka,” jelasnya.

Selain itu, kondisi seperti ini juga disebabkan oleh lemahnya kaderisasi yang harusnya wajib dilakukan tiap parpol. Akibat kaderisasi yang mandek, parpol saat ini hanya menjadi alat untuk mencari kekuasaan bagi segelintir golongan. “Karena hal itulah, banyak para kader parpol dari legislatif maupun eksekutif yang tersangkut dengan kasus hukum terutama korupsi,” paparnya.

Dijelaskan, lemahnya partai dalam melakukan kaderisasi dan pendidikan politik. Selalu diawali dengan lemahnya sistem perekrutan parpol. Padahal, di situlah awal mula sumber daya manusia untuk parpol masuk. Apalagi, parpol memiliki peran vital dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

“Jadi bagaimana ke depan mau memperkuat demokrasi tapi rekrutmnennya sendiri  tidak dilakukan dengan baik. Ini kelemahan-kelemahan parpol kita. Padahal, partai adalah alat rekrutmen untuk menduduki jabatan politik di pemilihan legislatif sampai bupati, gubernur, bahkan presiden. Tapi lantara rekrutmen yang buruk, maka saat ini ada ratusan kepala daerah terlibat korupsi,” tandasnya.

Karena itu, mantan Menpora ini meminta parpol untuk lebih selektif dalam mecari pemimpin dan mencalonkan presiden. Karena masa depan bangsa ini ada pada figur pemimpin. “Mencari pemimpin mampu mengatasi, memecahkan berbagai solusi bangsa. Karena itu rekrutmen kepemimpinan harus dilakukan secara terbuka,” usulnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Politic Communication (Polcomm) Institute Heri Budianto  menilai selain persoalan rekruitmen dan lemahnya pengkadera parpol, persoalan sumbangan caleg ataupun kader juga cenderung bisa membuat parpol terbelenggu dan merasa utang budi pada kadernya.

“Ini juga yang membuat parpol seakan tidak berdaya dengan kadernya. Besarnya dana yang sudah dikeluarkan para caleg menjadi utang yang harus dikembalikan apabila terpilih.  Ini tidak sehat, sebab akan berdampak pada lahirnya anggota parlemen yang berorientasi pada kembalinya uang mereka,” katanya.

Akibatnya, lanjut pengajar di Universitas Mercu Buana ini, banyak anggota DPR yang berbuat korup. Kalaupun tidak korupsi pasti akan menggunakan kekuasaannya untuk membantu atau berkolaborasi dengan pengusaha. “Ini akan melahirkan anggota legislatif yang cenderung korup, sebab mereka merasa sudah mengeluarkan modal banyak,” tandas Heri. (dms/jpnn/rbb)

Makin mahalnya ongkos politik berimbas pada pilihan-pilihan pragmatisme partai politik. Seiring dengan itu proses kaderisasi di tubuh parpol menjadi terkendala karena masuknya pemodal yang ingin merengkuh kekuasaan melalui partai politik.

Pendapat  itu dkemukakan Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar Akbar Tandjung dalam  diskusi politik ‘Pemimpin untuk Indonesia Maju dan Bebas Korupsi’ yang digagas Political Communication (Polcomm) Institute di Cheese Cake Factory, Cikini Jakarta, Minggu (19/1).

“Politik sebagai perangkat atau medium memperjuangkan hajat publik di sistem demokrasi Indonesia dinilai sudah bergeser dari nilai-nilai luhurnya. Justru yang menonjol dari partai politik sekarang adalah hanya sebagai alat untuk menggapai jabatan semata,” kritik Akbar.

Menurut mantan Ketua Umum Partai Golkar ini, para politisi yang besar dilingkungan parpol seharusnya bisa menjadikan parpol sesuai fungsinya sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan publik. Karena itu, lanjutnya, yang harusnya menjadi tujuan utama dari parpol adalah bukan kekuasaan.

“Namun faktanya, saat ini, fungsi partai yang demikian, yakni memperjuangkan kepentingan rakyat, masih lemah. Terbukti, eksistensi parpol saat ini meredup. Publik hampir tidak bisa melihat atau membedakan mana platform dan ideologi satu parpol dengan parpol lainnya. Begitu juga apa perjuangan yang membedakan mereka,” jelasnya.

Selain itu, kondisi seperti ini juga disebabkan oleh lemahnya kaderisasi yang harusnya wajib dilakukan tiap parpol. Akibat kaderisasi yang mandek, parpol saat ini hanya menjadi alat untuk mencari kekuasaan bagi segelintir golongan. “Karena hal itulah, banyak para kader parpol dari legislatif maupun eksekutif yang tersangkut dengan kasus hukum terutama korupsi,” paparnya.

Dijelaskan, lemahnya partai dalam melakukan kaderisasi dan pendidikan politik. Selalu diawali dengan lemahnya sistem perekrutan parpol. Padahal, di situlah awal mula sumber daya manusia untuk parpol masuk. Apalagi, parpol memiliki peran vital dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

“Jadi bagaimana ke depan mau memperkuat demokrasi tapi rekrutmnennya sendiri  tidak dilakukan dengan baik. Ini kelemahan-kelemahan parpol kita. Padahal, partai adalah alat rekrutmen untuk menduduki jabatan politik di pemilihan legislatif sampai bupati, gubernur, bahkan presiden. Tapi lantara rekrutmen yang buruk, maka saat ini ada ratusan kepala daerah terlibat korupsi,” tandasnya.

Karena itu, mantan Menpora ini meminta parpol untuk lebih selektif dalam mecari pemimpin dan mencalonkan presiden. Karena masa depan bangsa ini ada pada figur pemimpin. “Mencari pemimpin mampu mengatasi, memecahkan berbagai solusi bangsa. Karena itu rekrutmen kepemimpinan harus dilakukan secara terbuka,” usulnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Politic Communication (Polcomm) Institute Heri Budianto  menilai selain persoalan rekruitmen dan lemahnya pengkadera parpol, persoalan sumbangan caleg ataupun kader juga cenderung bisa membuat parpol terbelenggu dan merasa utang budi pada kadernya.

“Ini juga yang membuat parpol seakan tidak berdaya dengan kadernya. Besarnya dana yang sudah dikeluarkan para caleg menjadi utang yang harus dikembalikan apabila terpilih.  Ini tidak sehat, sebab akan berdampak pada lahirnya anggota parlemen yang berorientasi pada kembalinya uang mereka,” katanya.

Akibatnya, lanjut pengajar di Universitas Mercu Buana ini, banyak anggota DPR yang berbuat korup. Kalaupun tidak korupsi pasti akan menggunakan kekuasaannya untuk membantu atau berkolaborasi dengan pengusaha. “Ini akan melahirkan anggota legislatif yang cenderung korup, sebab mereka merasa sudah mengeluarkan modal banyak,” tandas Heri. (dms/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/