Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggelar sebuah studi terkait Pemilu 2014, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Melalui penelitian itu, LIPI bermaksud meneropong tingkat manfaat dan efektivitas proses demokrasi tersebut untuk rakyat luas.
“APAKAH Pemilu 2014 menjanjikan legislatif yang lebih baik, pemerintahan yang lebih bertanggung jawab, kehidupan politik yang lebih baik, dan lain-lain? Studi kami menjawab, tidak,” kata Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris di Gedung LIPI, Jakarta, Senin (25/11).
Syamsuddin menyatakan, pemilu legislatif dan pemilu presiden yang digelar tahun depan kemungkinan tidak akan membawa perubahan signifikan kecuali pergantian presiden dan sebagian angggota dewan, baik di tingkat nasional, kabupaten/kota, dan provinsi.
Kualitas pemerintahan hasil Pemilu 2014 pun diprediksi relatif stagnan. “Kasus penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi masih akan berlangsung. Wakil-wakil yang tidak akuntabel masih ada karena ada masalah dalam skema pemilu kita,” ujar Syamsuddin.
Menurutnya, skema pemilu di Indonesia tidak menjanjikan munculnya wakil-wakil rakyat yang akuntabel dan presiden yang memiliki kapabilitas memadai. Pemilu lebih mungkin memunculkan anggota legislatif yang representatif tetapi tidak akuntabel.
“Sedangkan untuk pemilihan presiden, ada masalah dalam seleksi internal parpol terkait calon presiden mereka,” kata Syamsuddin. Undang-Undang Pemilu juga tidak mewadahi mekanisme seleksi internal capres yang baik dan demokratis.
Seharusnya ada pemilihan pendahuluan di masing-masing partai politik sebelum menentukan seorang calon presiden. “Jangan tiba-tiba seolah-olah semua ketua umum itu punya hak istimewa jadi capres. Ambil contoh di AS, apakah Obama, Bush, dan Clinton pemimpin partai? Mereka kan bukan pemimpin parpol, tapi tokoh yang diajukan parpol. Di Indonesia, semua ketua umum maju jadi capres,” kata Syamsuddin.
Potensi konflik dalam Pemilu 2014 terlihat mulai terang. Salah satu sumber konflik adalah soal daftar pemilih tetap (DPT) yang hingga kini tak kunjung rampung.
Di lain pihak, pengamat politik Heri Budianto mengatakan, ada tiga institusi sumber konflik dalam pemilu 2014. Pertama, Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Salah satunya permasalahan teknis. Lalu logistik. KPU tak bisa menyelesaikan tepat waktu. Rekapitulasi suara. Ini kalau tak hati-hati bisa berpotensi konflik,” kata Heri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/11).
Kedua, partai politik. Mengapa? Karena, menurut Heri, sistem proporsional terbuka memungkinkan masing-masing caleg tak hanya berkompetisi antarpartai.
“Ketiga, kalau terjadi sengketa pemilu di MK. Kalau tidak hati-hati, kita tahu, kan kemarin terjadi kasus di MK. Bisa berbahaya. Semua pihak harus melakukan inventarisir dalam persoalan ini,” ujar Heri.
Menurut Heri, kedewasaan parpol juga harus menjadi perhatian. Parpol harus siap menang dan siap kalah. “Jangan sampai kalau tidak terpilih nanti melakukan tindakan anarkis,” tambah Heri.
“Yang paling penting, kita harus bangun trust pada lembaga-lembaga KPU, parpol, dan MK. MK lagi di titik terendah, orang tidak menganggap MK bisa berlaku adil. Di tengah potensi konflik kita harus membangun kepercayaan pada lembaga negara,” tutupnya. (bbs/jpnn)