26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Akhyar Nasution Hengkang, Demokrat-PDIP Saling Sindir

SALAM KOMANDO: Akhyar Nasution salam komando dengan Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat, Andi Arief, didampingi Wasekjend DPP Demokrat Irwan, Plt Ketua DPD Partai Demokrat Sumut Herri Zulkarnain Hutajulu, Ketua DPC Partai Demiokrat Medan Burhanuddin Siteou dan lainnya di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, 14 Juni 2020 lalu.
SALAM KOMANDO: Akhyar Nasution salam komando dengan Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat, Andi Arief, didampingi Wasekjend DPP Demokrat Irwan, Plt Ketua DPD Partai Demokrat Sumut Herri Zulkarnain Hutajulu, Ketua DPC Partai Demiokrat Medan Burhanuddin Siteou dan lainnya di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, 14 Juni 2020 lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sinyal kuat yang diberikan DPP PDI Perjuangan untuk mengusung Bobby Nasution di Pilkada Medan, membuat Akhyar Nasution hengkang dari partai berlambang banteng gemuk bermoncong putih itu. Akhyar pun melabuhkan pilihannya ke Partai Demokrat, yang siap mengusung dirinya di Pilkada Medan bersama PKS. Dampaknya, petinggi kedua parpol tersebut saling sindir.

KETUA Bappilu Partai Demokrat, Andi Arief menegaskan, hengkangnya eks Politisi PDI Perjuangan yang juga Plt Wali Kota Medan, Akhyar Nasution ke Partai Demokrat merupakan keinginannya sendiri. Andi menegaskan, berpindahnya Akhyar terjadi pada Juni dan resmi menjadi kader Demokrat dan sudah memiliki kartu anggota.

Dia pun menampik spekulasi berpindahnya Akhyar yang tak diketahui PDIP, karena dibajak atau ajakan dari Partai Demokrat. “Sejak Juni, karena keinginan sendiri berjuang bersama Partai Demokrat. Dan kita tidak pernah mau membajak,” kata Andi kepada wartawan, akhir pekan lalun

Kepindahan Akhyar Nasution ke partai berlambang mercy itu juga sudah disampaikan Andi melalui foto yang disertakan caption dukungan yang bersangkutan, untuk maju Pilkada Medan dari koalisi Demokrat dan PKS. “Pilkada Kota Medan 2020, sah. Koalisi Rakyat (Demokrat-PKS) menghadapi koalisi raksasa pendukung mantu Pak Presiden Jokowi,” tulis Andi Arief dalam Twitternya.

Hal senada juga dikatakan, Presiden PKS Sohibul Iman, pihaknya akan bekerjasama dengan Partai Demokrat untuk mengusung Akhyar Nasution di Pilkada Kota Medan. “Tetapi yang sudah tersampaikan adalah mereka sekarang sedang komunikasi politik untuk mengusung calon di luar sedang runding yang menguat adalah Pak Akhyar dan ini yang dikomunikasikan oleh PKS dengan Demokrat,” ujar Sohibul di kantor DPP PKS, Jakarta, Jumat (24/7) lalu.

Sohibul mengatakan, Akhyar kini sudah menjadi kader Partai Demokrat. Diketahui sebelumnya, Plt Wali Kota Medan itu merupakan Wakil Ketua DPD PDIP. “Karena Pak Akhyar sudah masuk menjadi kader Demokrat dan ini mudah-mudahan menjadi koalisi Demokrat dan PKS,” kata dia.

Sohibul bilang, kursi PKS dan Demokrat untuk mengusung Akhyar sudah mencukupi. “Kalau PKS dan Demokrat sudah cukup bisa berlayar,” ucapnya.

Menyikapi kesepakatan yang telah tercapai antara Demokrat dan PKS, Plt Ketua DPD Partai Demokrat Sumut Herri Zulkarnain berharap, PKS menunjuk Wakil Ketua DPRD Sumut, Salman Alfarisi sebagai calon Wakil Wali Kota Medan mendampingi Akhyar. “Akhyar-nya sudah final (jadi calon wali kota). Dia pengalaman, dia melanjutkan. Ya, artinya Demokrat dan PKS itu berkoalisi lah. Koalisi Kerakyatan,” kata Herri kepada wartawan, Minggu (26/7).

Herri menilai, Salman sebagai orang yang tepat mendampingi Akhyar. Sebab, sebut Herri, Salman mengetahui seluk-beluk Kota Medan. “PD berharap PKS (tunjuk) Salman Alfarisi lah, karena dia sudah pengalaman, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumut. Dia juga di Medan. Jadi, sudah tahu bagaimana Kota Medan ini,” terang Herri.

Djarot Sindir Akhyar

Pada kesempatan yang berbeda, Plt Ketua DPD PDIP Sumut Djarot Saiful Hidayat menanggapi berpindahnya Akhyar Nasution ke Partai Demokrat. Menurut Djarot, berpartai sama dengan bernegara, yang perlu dilandasi oleh ketaatan pada konstitusi, hukum, dan etika politik. Akhyar dituding mengambil langkah pragmatis. “Kader partai harus berdisiplin dan berpolitik itu untuk pengabdian yang lebih besar, bukan untuk berburu kekuasaan politik. Karena itulah langkah pragmatis yang dilakukan Saudara Akhyar Nasution dengan pindah ke Partai Demokrat justru ditempatkan sebagai bagian konsolidasi kader,” kata Djarot dalam keterangan tertulisnya yang diterima Sumut Pos, kemarin.

Dalam konsolidasi tersebut, lanjut Djarot, ada kader yang lolos karena memiliki kesabaran revolusioner. Namun ada yang gagal karena ambisi kekuasaan. “Yang bersangkutan (Akhyar) masuk pada kategori kedua. Partai akan memberikan sanksi disiplin karena anggota partai tidak boleh memiliki keanggotaan ganda dengan partai lain,” ujar Djarot.

Anggota Komisi II DPR RI itu mengatakan, PDIP melakukan seleksi yang ketat terhadap setiap calon kepala daerah. Menurutnya, PDIP tidak akan pernah mencalonkan orang-orang yang memiliki persoalan hukum. Djarot kemudian menyinggung soal kasus korupsi mantan Gubernur Sumut yang diusung PKS, Gatot Pujo Nugroho. “PDI Perjuangan belajar dari kasus korupsi berjemaah yang dilakukan oleh mantan Gubernur Sumut yang diusung PKS, Gatot Pujo Nugroho, yang melebar ke mana-mana. Kasus korupsi yang melibatkan mantan Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin dikhawatirkan memiliki konsekuensi hukum ke yang lain,” urai Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi tersebut.

Djarot menjelaskan PDIP mencatat Akhyar Nasution pernah diperiksa terkait dugaan penyelewengan anggaran Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-53 tingkat Kota Medan tahun 2020 di Jalan Ngumban Surbakti, Kelurahan Sempakata, Kecamatan Medan Selayang, sebesar Rp 4,7 miliar. Hal itu menjadi pertimbangan penting mengapa partai tidak mencalonkannya.

“Betapa bahayanya ketika MTQ saja ada dugaan disalahgunakan. Mungkin dengan bergabung ke partai tersebut, yang bersangkutan ingin mencitrakan ‘katakan tidak pada korupsi’ yang pernah menjadi slogan partai tersebut,” sindir Djarot.

Djarot Disarankan Urus Japorman

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon merespons pernyataan Djarot Syaiful Hidayat soal penyelewengan anggaran yang diduga dilakukan oleh Plt Wali Kota Medan, Akhyar Nasution. Jansen menyatakan, Akhyar hanya pernah diperiksa sebagai saksi dalam dalam kasus penyelewengan anggaran MTQ ke-53 tingkat Kota Medan 2020 di Jalan Ngumban Surbakti, Kelurahan Sempakata, Kecamatan Medan Selayang sebesar Rp4,7 miliar.

Menurutnya, Akhyar tidak dalam posisi pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran dalam penggunaan anggaran MTQ ke-53 tingkat Kota Medan 2020. “Kalau soal MTQ yang dituduhkan Djarot ke Akhyar, yang saya tahu Akhyar dipanggil sebagai saksi ya, karena dia bukan pengguna anggaran dan juga bukan kuasa pengguna anggaran karena dia hanya Plt Wali Kota saja. Jadi, jika pun itu misalnya bermasalah, Akhyar tidak ada urusan dengan anggaran itu,” kata Jansen.

Namun, dia tak mau menjelaskan lebih detail terkait posisi Akhyar dalam kasus tersebut. Jansen mempersilakan Akhyar memberikan pernyataan lengkap terkait tersebut karena menyangkut nama baiknya. Lebih jauh, Jansen mengatakan, langkah Djarot mengungkit penyelewengan anggaran yang diduga dilakukan oleh Akhyar tidak elok. Apalagi, langkah tersebut sampai membawa jargon katakan tidak pada korupsi.

Jansen pun menyarankan Djarot mengurusi mantan Ketua DPD PDIP Sumut Japorman Saragih yang sudah ditahan KPK karena tersangkut kasus suap yang menjerat mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho terkait kasus suap pengesahan APBD 2013.

Sebagai Plt Ketua DPD PDIP Sumut yang menggantikan Japorman, menurutnya, Djarot seharusnya fokus saja mengurusi teman yang lagi kesusahan. “Lebih baik, saran saya, Djarot urusi saja itu Japorman Saragih yang kemarin sudah ditahan KPK. Kalau soal korupsi, rasanya itu urusan Djarot yang di depan mata. Bukan malah nyambar ke mana-mana,” ujar Jansen.

Jansen juga mengajak semua pihak untuk berpolitik dengan etika jelang penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 demi kebaikan demokrasi di Indonesia. Ia pun mengaku heran melihat PDIP dengan koalisi partai politiknya yang kemungkinan mengusung menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Nasution masih takut dengan koalisi Demokrat-PKS yang akan mengusung Akhyar. “Demokrat telah memberi alternatif pilihan bagi publik di Kota Medan. Biarlah nanti masyarakat yang menentukan pilihannya. Masa koalisi yang sudah segemuk itu masih takut dengan koalisi rakyat yang hanya didukung dua partai saja,” tutur Jansen.

Sementara Wasekjen Partai Demokrat, Irwan menilai, Djarot terbawa perasaan alias baper. “Pernyataan Pak Djarot itu biasa saja bagi saya. Semacam baper saja, sebentar juga akan move on,” kata Irwan.

“Terbawa perasaan, semacam ditinggalkan kekasih. Tetapi seperti biasa seharusnya kekasih boleh pergi tetapi hati tidak boleh kemudian membenci,” sambungnya.

Dia menilai logika Djarot menyindir Akhyar berburu kekuasaan dengan bergabung ke PD di Pilkada Medan itu terbalik. Menurutnya, Akhyar justru meninggalkan kemapanan dan kekuasaan yang diraih di PDIP. “Kalau menurut saya sih logika Pak Djarot kebalik. Pak Akhyar itu bukan berburu kekuasaan tetapi meninggalkan kemapanan dan kekuasaan yang diraihnya selama ini,” tandas Irwan.

PDIP Medan Sayangkan Keputusan Akhyar

DPC PDIP Medan menyayangkan keputusan Akhyar Nasution berpindah ke Partai Demokrat. Namun begitu, kader PDIP Medan mengaku tidak ambil pusing dengan sikap politik yang dipilih Akhyar Nasution dan menilai, apa yang dilakukan Plt Wali Kota Medan itu adalah sah-sah saja. “Sebenarnya cukup kita sayangkan, tapi kembali lagi, itu pilihan politik Bang Akhyar, dan sah-sah saja,” kata Bendahara DPC PDIP Medan, Boydo HK Panjaitan kepada Sumut Pos, Minggu (26/7).

Dijelaskan Boydo, yang cukup disayangkan tersebut adalah sikap Akhyar yang memilih untuk berpindah ke Partai Demokrat guna mendapatkan dukungan sebagai calon Wali Kota Medan. Padahal, DPP PDIP sendiri belum memutuskan akan mendukung siapa di Pilkada Medan 2020. “Yang kita sayangkan ya itu, harusnya tunggu saja dulu keputusan DPP. Tapi sebagai teman, saya hargai pilihan Bang Akhyar,” jelasnya.

Terkait sikap Akhyar yang disebut belum memberikan surat pengunduran dirinya kepada pengurus partai besutan Megawati Soekarno Putri tersebut, mantan Ketua Komisi III DPRD Medan itu mengaku tidak tahu. “Bang Akhyar itu bukan pengurus DPC, dia pengurus DPD (PDIP Sumut) sebagai Wakil Ketua. Jadi kalau soal itu DPD yang lebih tahu,” tandasnya.

Sekretaris DPC PDIP Medan, Robi Barus juga mengaku sudah mengetahui kepindahan Akhyar Nasution ke Partai Demokrat. “Semua juga sudah tahu, kan foto-fotonya pakai baju partai berwarna biru itu sudah jelas, sudah banyak tersebar di media sosial. Ya itu artinya Akhyar sekarang sudah ‘biru’, Akhyar sudah tidak ‘merah’ lagi,” jawabnya.

Namun begitu, Robi mengaku PDIP tidak ambil pusing dengan keputusan yang diambil oleh Akhyar Nasution. Menurutnya, PDIP tetap akan maju dengan sikap-sikap politiknya tanpa Akhyar sekalipun. “Ya silakan saja, itu hak beliau lah, setiap orang kan bebas mengambil pilihan politiknya. Kami di DPC tetap patuh dan tegak lurus dengan perintah DPP,” pungkasnya.

PDIP Dinilai Transaksional

Akademisi UINSU, Rholand Muary menilai, keputusan PDIP yang lebih memilih Bobby Afif Nasution sebagai calon Wali Kota Medan, ketimbang Akhyar Nasution yang merupakan kader tulen partai banteng membuktikan bahwa PDIP tidak jauh berbeda dengan partai lain, yakni transaksional. Menurutnya, saat ini Akhyar Nasution memiliki posisi strategis di pemerintahan, karena menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Medan, atau petahana. “Apa yang terjadi pada Akhyar menunjukkan bahwa seorang kader tulen dan loyalitas kepada partai dan punya posisi strategis di pemerintahan belum tentu juga didukung oleh partainya sendiri,” ujarnya, ketika dimintai tanggapan, Minggu (26/7)

“Ini membuktikan, budaya politik di PDIP sangat sentralistik dan juga sangat transaksional,” sebutnya.

Rholand menyebut, selama ini publik menilai Akhyar Nasution banyak berperan penting membela partainya dari isu negatif saat kontestasi pemilu serentak 2019. Dengan keputusan PDIP yang memilih mendukung Bobby Afif Nasution yang notabene ‘anak baru’, wajar menimbulkan kekecewaan hingga pada akhirnya Akhyar Nasution memilih berpaling.

“Tentu ada kekecewaan tersendiri bagi Akhyar, apalagi selama ini, beliau menjadi kader PDIP dari bawah, dan terkesan PDIP juga yang meninggalkannya karena tidak mendukungnya dari awal karena kehadiran Bobby Nasution,” ungkapnya. (bbs/adz/map)

SALAM KOMANDO: Akhyar Nasution salam komando dengan Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat, Andi Arief, didampingi Wasekjend DPP Demokrat Irwan, Plt Ketua DPD Partai Demokrat Sumut Herri Zulkarnain Hutajulu, Ketua DPC Partai Demiokrat Medan Burhanuddin Siteou dan lainnya di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, 14 Juni 2020 lalu.
SALAM KOMANDO: Akhyar Nasution salam komando dengan Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat, Andi Arief, didampingi Wasekjend DPP Demokrat Irwan, Plt Ketua DPD Partai Demokrat Sumut Herri Zulkarnain Hutajulu, Ketua DPC Partai Demiokrat Medan Burhanuddin Siteou dan lainnya di kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, 14 Juni 2020 lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sinyal kuat yang diberikan DPP PDI Perjuangan untuk mengusung Bobby Nasution di Pilkada Medan, membuat Akhyar Nasution hengkang dari partai berlambang banteng gemuk bermoncong putih itu. Akhyar pun melabuhkan pilihannya ke Partai Demokrat, yang siap mengusung dirinya di Pilkada Medan bersama PKS. Dampaknya, petinggi kedua parpol tersebut saling sindir.

KETUA Bappilu Partai Demokrat, Andi Arief menegaskan, hengkangnya eks Politisi PDI Perjuangan yang juga Plt Wali Kota Medan, Akhyar Nasution ke Partai Demokrat merupakan keinginannya sendiri. Andi menegaskan, berpindahnya Akhyar terjadi pada Juni dan resmi menjadi kader Demokrat dan sudah memiliki kartu anggota.

Dia pun menampik spekulasi berpindahnya Akhyar yang tak diketahui PDIP, karena dibajak atau ajakan dari Partai Demokrat. “Sejak Juni, karena keinginan sendiri berjuang bersama Partai Demokrat. Dan kita tidak pernah mau membajak,” kata Andi kepada wartawan, akhir pekan lalun

Kepindahan Akhyar Nasution ke partai berlambang mercy itu juga sudah disampaikan Andi melalui foto yang disertakan caption dukungan yang bersangkutan, untuk maju Pilkada Medan dari koalisi Demokrat dan PKS. “Pilkada Kota Medan 2020, sah. Koalisi Rakyat (Demokrat-PKS) menghadapi koalisi raksasa pendukung mantu Pak Presiden Jokowi,” tulis Andi Arief dalam Twitternya.

Hal senada juga dikatakan, Presiden PKS Sohibul Iman, pihaknya akan bekerjasama dengan Partai Demokrat untuk mengusung Akhyar Nasution di Pilkada Kota Medan. “Tetapi yang sudah tersampaikan adalah mereka sekarang sedang komunikasi politik untuk mengusung calon di luar sedang runding yang menguat adalah Pak Akhyar dan ini yang dikomunikasikan oleh PKS dengan Demokrat,” ujar Sohibul di kantor DPP PKS, Jakarta, Jumat (24/7) lalu.

Sohibul mengatakan, Akhyar kini sudah menjadi kader Partai Demokrat. Diketahui sebelumnya, Plt Wali Kota Medan itu merupakan Wakil Ketua DPD PDIP. “Karena Pak Akhyar sudah masuk menjadi kader Demokrat dan ini mudah-mudahan menjadi koalisi Demokrat dan PKS,” kata dia.

Sohibul bilang, kursi PKS dan Demokrat untuk mengusung Akhyar sudah mencukupi. “Kalau PKS dan Demokrat sudah cukup bisa berlayar,” ucapnya.

Menyikapi kesepakatan yang telah tercapai antara Demokrat dan PKS, Plt Ketua DPD Partai Demokrat Sumut Herri Zulkarnain berharap, PKS menunjuk Wakil Ketua DPRD Sumut, Salman Alfarisi sebagai calon Wakil Wali Kota Medan mendampingi Akhyar. “Akhyar-nya sudah final (jadi calon wali kota). Dia pengalaman, dia melanjutkan. Ya, artinya Demokrat dan PKS itu berkoalisi lah. Koalisi Kerakyatan,” kata Herri kepada wartawan, Minggu (26/7).

Herri menilai, Salman sebagai orang yang tepat mendampingi Akhyar. Sebab, sebut Herri, Salman mengetahui seluk-beluk Kota Medan. “PD berharap PKS (tunjuk) Salman Alfarisi lah, karena dia sudah pengalaman, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumut. Dia juga di Medan. Jadi, sudah tahu bagaimana Kota Medan ini,” terang Herri.

Djarot Sindir Akhyar

Pada kesempatan yang berbeda, Plt Ketua DPD PDIP Sumut Djarot Saiful Hidayat menanggapi berpindahnya Akhyar Nasution ke Partai Demokrat. Menurut Djarot, berpartai sama dengan bernegara, yang perlu dilandasi oleh ketaatan pada konstitusi, hukum, dan etika politik. Akhyar dituding mengambil langkah pragmatis. “Kader partai harus berdisiplin dan berpolitik itu untuk pengabdian yang lebih besar, bukan untuk berburu kekuasaan politik. Karena itulah langkah pragmatis yang dilakukan Saudara Akhyar Nasution dengan pindah ke Partai Demokrat justru ditempatkan sebagai bagian konsolidasi kader,” kata Djarot dalam keterangan tertulisnya yang diterima Sumut Pos, kemarin.

Dalam konsolidasi tersebut, lanjut Djarot, ada kader yang lolos karena memiliki kesabaran revolusioner. Namun ada yang gagal karena ambisi kekuasaan. “Yang bersangkutan (Akhyar) masuk pada kategori kedua. Partai akan memberikan sanksi disiplin karena anggota partai tidak boleh memiliki keanggotaan ganda dengan partai lain,” ujar Djarot.

Anggota Komisi II DPR RI itu mengatakan, PDIP melakukan seleksi yang ketat terhadap setiap calon kepala daerah. Menurutnya, PDIP tidak akan pernah mencalonkan orang-orang yang memiliki persoalan hukum. Djarot kemudian menyinggung soal kasus korupsi mantan Gubernur Sumut yang diusung PKS, Gatot Pujo Nugroho. “PDI Perjuangan belajar dari kasus korupsi berjemaah yang dilakukan oleh mantan Gubernur Sumut yang diusung PKS, Gatot Pujo Nugroho, yang melebar ke mana-mana. Kasus korupsi yang melibatkan mantan Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin dikhawatirkan memiliki konsekuensi hukum ke yang lain,” urai Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi tersebut.

Djarot menjelaskan PDIP mencatat Akhyar Nasution pernah diperiksa terkait dugaan penyelewengan anggaran Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-53 tingkat Kota Medan tahun 2020 di Jalan Ngumban Surbakti, Kelurahan Sempakata, Kecamatan Medan Selayang, sebesar Rp 4,7 miliar. Hal itu menjadi pertimbangan penting mengapa partai tidak mencalonkannya.

“Betapa bahayanya ketika MTQ saja ada dugaan disalahgunakan. Mungkin dengan bergabung ke partai tersebut, yang bersangkutan ingin mencitrakan ‘katakan tidak pada korupsi’ yang pernah menjadi slogan partai tersebut,” sindir Djarot.

Djarot Disarankan Urus Japorman

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Jansen Sitindaon merespons pernyataan Djarot Syaiful Hidayat soal penyelewengan anggaran yang diduga dilakukan oleh Plt Wali Kota Medan, Akhyar Nasution. Jansen menyatakan, Akhyar hanya pernah diperiksa sebagai saksi dalam dalam kasus penyelewengan anggaran MTQ ke-53 tingkat Kota Medan 2020 di Jalan Ngumban Surbakti, Kelurahan Sempakata, Kecamatan Medan Selayang sebesar Rp4,7 miliar.

Menurutnya, Akhyar tidak dalam posisi pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran dalam penggunaan anggaran MTQ ke-53 tingkat Kota Medan 2020. “Kalau soal MTQ yang dituduhkan Djarot ke Akhyar, yang saya tahu Akhyar dipanggil sebagai saksi ya, karena dia bukan pengguna anggaran dan juga bukan kuasa pengguna anggaran karena dia hanya Plt Wali Kota saja. Jadi, jika pun itu misalnya bermasalah, Akhyar tidak ada urusan dengan anggaran itu,” kata Jansen.

Namun, dia tak mau menjelaskan lebih detail terkait posisi Akhyar dalam kasus tersebut. Jansen mempersilakan Akhyar memberikan pernyataan lengkap terkait tersebut karena menyangkut nama baiknya. Lebih jauh, Jansen mengatakan, langkah Djarot mengungkit penyelewengan anggaran yang diduga dilakukan oleh Akhyar tidak elok. Apalagi, langkah tersebut sampai membawa jargon katakan tidak pada korupsi.

Jansen pun menyarankan Djarot mengurusi mantan Ketua DPD PDIP Sumut Japorman Saragih yang sudah ditahan KPK karena tersangkut kasus suap yang menjerat mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho terkait kasus suap pengesahan APBD 2013.

Sebagai Plt Ketua DPD PDIP Sumut yang menggantikan Japorman, menurutnya, Djarot seharusnya fokus saja mengurusi teman yang lagi kesusahan. “Lebih baik, saran saya, Djarot urusi saja itu Japorman Saragih yang kemarin sudah ditahan KPK. Kalau soal korupsi, rasanya itu urusan Djarot yang di depan mata. Bukan malah nyambar ke mana-mana,” ujar Jansen.

Jansen juga mengajak semua pihak untuk berpolitik dengan etika jelang penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 demi kebaikan demokrasi di Indonesia. Ia pun mengaku heran melihat PDIP dengan koalisi partai politiknya yang kemungkinan mengusung menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Nasution masih takut dengan koalisi Demokrat-PKS yang akan mengusung Akhyar. “Demokrat telah memberi alternatif pilihan bagi publik di Kota Medan. Biarlah nanti masyarakat yang menentukan pilihannya. Masa koalisi yang sudah segemuk itu masih takut dengan koalisi rakyat yang hanya didukung dua partai saja,” tutur Jansen.

Sementara Wasekjen Partai Demokrat, Irwan menilai, Djarot terbawa perasaan alias baper. “Pernyataan Pak Djarot itu biasa saja bagi saya. Semacam baper saja, sebentar juga akan move on,” kata Irwan.

“Terbawa perasaan, semacam ditinggalkan kekasih. Tetapi seperti biasa seharusnya kekasih boleh pergi tetapi hati tidak boleh kemudian membenci,” sambungnya.

Dia menilai logika Djarot menyindir Akhyar berburu kekuasaan dengan bergabung ke PD di Pilkada Medan itu terbalik. Menurutnya, Akhyar justru meninggalkan kemapanan dan kekuasaan yang diraih di PDIP. “Kalau menurut saya sih logika Pak Djarot kebalik. Pak Akhyar itu bukan berburu kekuasaan tetapi meninggalkan kemapanan dan kekuasaan yang diraihnya selama ini,” tandas Irwan.

PDIP Medan Sayangkan Keputusan Akhyar

DPC PDIP Medan menyayangkan keputusan Akhyar Nasution berpindah ke Partai Demokrat. Namun begitu, kader PDIP Medan mengaku tidak ambil pusing dengan sikap politik yang dipilih Akhyar Nasution dan menilai, apa yang dilakukan Plt Wali Kota Medan itu adalah sah-sah saja. “Sebenarnya cukup kita sayangkan, tapi kembali lagi, itu pilihan politik Bang Akhyar, dan sah-sah saja,” kata Bendahara DPC PDIP Medan, Boydo HK Panjaitan kepada Sumut Pos, Minggu (26/7).

Dijelaskan Boydo, yang cukup disayangkan tersebut adalah sikap Akhyar yang memilih untuk berpindah ke Partai Demokrat guna mendapatkan dukungan sebagai calon Wali Kota Medan. Padahal, DPP PDIP sendiri belum memutuskan akan mendukung siapa di Pilkada Medan 2020. “Yang kita sayangkan ya itu, harusnya tunggu saja dulu keputusan DPP. Tapi sebagai teman, saya hargai pilihan Bang Akhyar,” jelasnya.

Terkait sikap Akhyar yang disebut belum memberikan surat pengunduran dirinya kepada pengurus partai besutan Megawati Soekarno Putri tersebut, mantan Ketua Komisi III DPRD Medan itu mengaku tidak tahu. “Bang Akhyar itu bukan pengurus DPC, dia pengurus DPD (PDIP Sumut) sebagai Wakil Ketua. Jadi kalau soal itu DPD yang lebih tahu,” tandasnya.

Sekretaris DPC PDIP Medan, Robi Barus juga mengaku sudah mengetahui kepindahan Akhyar Nasution ke Partai Demokrat. “Semua juga sudah tahu, kan foto-fotonya pakai baju partai berwarna biru itu sudah jelas, sudah banyak tersebar di media sosial. Ya itu artinya Akhyar sekarang sudah ‘biru’, Akhyar sudah tidak ‘merah’ lagi,” jawabnya.

Namun begitu, Robi mengaku PDIP tidak ambil pusing dengan keputusan yang diambil oleh Akhyar Nasution. Menurutnya, PDIP tetap akan maju dengan sikap-sikap politiknya tanpa Akhyar sekalipun. “Ya silakan saja, itu hak beliau lah, setiap orang kan bebas mengambil pilihan politiknya. Kami di DPC tetap patuh dan tegak lurus dengan perintah DPP,” pungkasnya.

PDIP Dinilai Transaksional

Akademisi UINSU, Rholand Muary menilai, keputusan PDIP yang lebih memilih Bobby Afif Nasution sebagai calon Wali Kota Medan, ketimbang Akhyar Nasution yang merupakan kader tulen partai banteng membuktikan bahwa PDIP tidak jauh berbeda dengan partai lain, yakni transaksional. Menurutnya, saat ini Akhyar Nasution memiliki posisi strategis di pemerintahan, karena menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Medan, atau petahana. “Apa yang terjadi pada Akhyar menunjukkan bahwa seorang kader tulen dan loyalitas kepada partai dan punya posisi strategis di pemerintahan belum tentu juga didukung oleh partainya sendiri,” ujarnya, ketika dimintai tanggapan, Minggu (26/7)

“Ini membuktikan, budaya politik di PDIP sangat sentralistik dan juga sangat transaksional,” sebutnya.

Rholand menyebut, selama ini publik menilai Akhyar Nasution banyak berperan penting membela partainya dari isu negatif saat kontestasi pemilu serentak 2019. Dengan keputusan PDIP yang memilih mendukung Bobby Afif Nasution yang notabene ‘anak baru’, wajar menimbulkan kekecewaan hingga pada akhirnya Akhyar Nasution memilih berpaling.

“Tentu ada kekecewaan tersendiri bagi Akhyar, apalagi selama ini, beliau menjadi kader PDIP dari bawah, dan terkesan PDIP juga yang meninggalkannya karena tidak mendukungnya dari awal karena kehadiran Bobby Nasution,” ungkapnya. (bbs/adz/map)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/