Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) menilai survei yang baru dilakukan Forum Survei Indonesia (FSI) adalah survei ganjil dan tak lazim. Sebab dalam kode etik standar survei opini yang berlaku di seluruh dunia, setiap primary sampling unit (PSU) yang setara dengan desa atau kelurahan seharusnya memperoleh 10 responden dari setiap PSU. Lembaga yang hasil surveinya menempatkan Ny Ani Yudhoyono alias Bu Ani lebih terkenal ketimbang Jokowi dan Megawati, itu pun panen kecaman.
SELAIN itu, setiap survei harus membeberkan metodologi yang digunakannya. Tidak boleh disembunyikan. Survei yang dilakukan FSI itu tidak berpegang pada standar riset universal.
Sekjen AROPI Umar S.Bakry mengatakan hal tersebut menanggapi survei FSI itu. Dia mencontohkan munculnya nama Prabowo Subianto sebagai capres dengan elektabilitas tertinggi (27,4 persen) jauh mengungguli Jokowi yang hanya 11,3 persen. Hasil itu sangat berbeda dengan hasil riset hampir semua lembaga survei yang justru menempatkan Jokowi di posisi teratas.
Prabowo memang capres dengan elektabilitas tertinggi, kata Umar, apabila yang disurvei hanyalah para capres struktural parpol saja, tanpa memasukkan nama Jokowi seperti yang dilakukan LSN (Lembaga Survei Nasional) . ”Tapi jika semua nama capres disurvei (termasuk Jokowi) maka LSN pun menempatkan Jokowi di peringkat tertinggi,” ujar Umar di Jakarta, kemarin.
Hal kedua yang dikritisi AROPI, adalah klaim FSI yang menyebutkan jumlah respondennya dalam survei mereka sebanyak 10 ribu orang. ”Ini yang fantastis. Sebab hampir semua lembaga survei mainstream hanya memerlukan sekitar 1.200 sampai maksimal 2.500 responden saja dalam survei-survei nasional mereka,” beber Umar lagi.
Diungkapnya pula, dengan sampel sekitar 2.000 orang saja, jika dilakukan dengan metodologi yang benar dapat menelan biaya hampir Rp1 miliar. ”Lantas berapa miliar yang dihabiskan untuk survei dengan 10 ribu sample? Kalau dana sebesar itu diklaim FSI bersumber dari dana sendiri tanpa sponsor sama sekali, kan aneh. Yang bener aja dong Mas,” lontarnya dengan mimik keheranan.
Keganjilan ketiga, metodologi survei yang digunakan FSI tidak disampaikan secara terbuka oleh tim peneliti yang hadir dalam launching hasil surveinya. ”Masak ada wartawan tanya metodologi apa yang digunakan, seorang pengamat politik yang dihadirkan FSI (Irwan Suharto) menjawab tak pantas wartawan menanyakan metode penelitian lembaga survei,” ungkap Direktur LSN ini.
Menurut dia, pernyataan ini jelas kurang tepat. Sebab dalam kode etik survei opini publik yang berlaku universal dan juga dianut AROPI, setiap lembaga riset yang mempublikasikan hasil penelitian wajib menjelaskan metodologi yang digunakan kepada publik luas. ”Dalam etika penelitian di negeri manapun di bumi ini, metodologi tidak boleh menjadi rahasia peneliti saja,” tukasnya.
Meskipun tidak disampaikan secara terbuka kepada publik metodologinya, kata Umar, maka dapat disimpulkan bahwa metodologi yang digunakan FSI tidak lazim. Jika benar bahwa FSI mendatangi 5.000 desa, dengan sendirinya setiap desa hanya memeroleh dua responden.
Padahal, menurut prinsip Primary Sampling Unit (PSU) yang berlaku universal, cara seperti itu tidak wajar. ”Setiap PSU setara desa atau kelurahan seharusnya memperoleh 10 responden,” terangnya.
Kemudian klaim 10.000 sampel yang digunakan terdistribusi di 21 provinsi itu juga kurang tepat. Sebab jika menganut azas proporsionalitas dalam penentuan sampel, dengan 2.500 responden saja sudah dapat terdistribusi ke 33 provinsi di seluruh Indonesia. ”Artinya jika FSI mengklaim menggunakan 10 ribu responden, sudah lebih dari cukup untuk didistribusikan ke seluruh provinsi yang ada,” tukas Umar.
Terkait dugaan kalau survei FSI itu menjalankan survei sesuai pesanan, menurut Umar, silakan saja menggelar survei yang ‘by order’ itu. Namun tetap harus tetap menjaga profesionalitas sebagai akademisi, menjunjung tinggi kode etik survei opini.
”Kami mengimbau FSI dan lembaga survei lainnya yang bermunculan jelang Pemilu 2014 agar tetap beraktivitas secara profesional dan independen serta menjunjung tinggi kode etik survei opini publik yang berlaku universal, serta obyektif,” pungkasnya.
Sebagai informasi, pada akhir pekan lalu FSI merilis hasil surveinya (Baca: Sumut Pos edisi Selasa (6/8). Menurut FSI, sebanyak 10.000 sampel responden ditanyakan langsung siapakah capres yang akan dipilih mereka kalau pilpres digelar hari ini. Hasilnya, Prabowo Subianto menempati posisi teratas dengan elektabilitas 27,4 persen, disusul Megawati (12,7 persen), Joko Widodo atau Jokowi (11,3 persen), Wiranto (8,4), Hatta Rajasa (5,8), Aburizal Bakrie (4,9), Jumhur Hidayat (6,3), serta 13 tokoh lainnya. Paling mengejutkan, hasil survei menempatkan Bu Ani lebih terkenal ketimbang Megawati dan Jokowi.
Sementara itu, Lembaga Survei Nasional (LSN) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyetujui ada pengawasan terhadap lembaga survei yang hasil penelitiannya kerap dijadikan rujukan masyarakat.
Peneliti utama LSN, Gema Nusantara, sepakat pembentukan lembaga pengawas survei. Menurut dia, fungsi pengawasan menjadi penting untuk membatasi dan menyeleksi lembaga yang melakukan survei asal-asalan. “Kami setuju itu ada,” katanya saat dihubungi, Senin 5 Agustus 2013.
Senada dengan LSN, peneliti LIPI, Wawan Ichwanuddin, berpendapat sama namun dengan usul berbeda. Wawan memilih lembaga pengawas survei adalah asosiasi yang didirikan lembaga-lembaga survei, bukan dibentuk oleh pemerintah. “Di negara maju, kondisinya demikian,” katanya.
Dia mencontohkan, di Amerika Serikat ada lembaga survei yang salah memprediksi calon pemimpin. Karena merasa salah, lembaga itu meminta maaf kepada publik. “Kalau di sini hal itu sulit terjadi,” ujarnya. (ind/jpnn)