26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Perjuangan Seorang Ibu demi Masa Depan Anak-anaknya, Kisah di Balik Lukisan Inong Merajut Tandok Karya Syaiful Yatim

TERIMA LUKISAN: Kadisbudpar Sumut Hidayati menerima lukisan ‘Inong Merajut Tandok’ Karya Pelukis M Yatim di Hotel Grand Aston City Hall Medan, Senin (8/7).
PRAN HASIBUAN/SUMUT POSTERIMA LUKISAN: Kadisbudpar Sumut Hidayati menerima lukisan ‘Inong Merajut Tandok’ Karya Pelukis M Yatim di Hotel Grand Aston City Hall Medan, Senin (8/7).

Buat nenek ku di Samosir, aku tau lapuk dan rapuhnya dinding rumah itu serapuh dan selapuk ragamu. Pecah retak guci tempat air di sana, sepecah dan seretak harapanmu dalam kehidupan. Jari tangan dan kaki tuamu menjadi saksi bisu perjalanan itu. Namun, karya-karyamulah yang selalu menjembatani hubungan sosial di antara kami.

BEGITU petikan narasi sosial yang termaktub dalam sebuah lukisan seorang nenek tua karya Syaiful Yatim. Dalam lukisan itu, sang nenek digambarkan sedang duduk di lantai merajut bayon (pandan) untuk dijadikan sebuah Tandok.

Syaiful Yatim, seorang pelukis mantan Guru Seni Rupa SMAN 3 Jember yang kini memilih menghabiskan hidupnya di Kota Medan, Sumatera Utara. Lukisan hasil kuasan jemarinya itu diserahkan kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumatera Utara, Hidayati dan Kepala Museum Negeri Sumut Martina di Hotel Grand Aston Medan, Senin (8/7).

“Ini diharapkan menjadi langkah awal hubungan dan perhatian Pemprovsu untuk mengeksplorasi kebudayaan dan seni Sumatera Utara melalui seni lukis,” harap Syaiful Yatim.

Yatim sedikit menjelaskan, soal anyaman Tandok yang digambarkan dalam lukisan tersebut. Menurutnya, Tandok tidak hanya dimaknai sebuah barang hantaran atau wadah yang terbuat dari anyaman bayon (pandan). Bukan juga sebuah barang ekonomis yang bisa menghasilkan rupiah. Namun, bagi orang Batak, Tandok sangatlah sakral dan digunakan saat upacara adat seperti pernikahan, lahiran hingga cara kematian. “Artinya, yang terpenting ada nilai-nilai, di antaranya kebudayaan dan kesakralan yang tersimpan hingga harus perlu dilestarikan,” terangnya.

Dirincikannya, pada umumnya anyaman Tandok itu juga dijadikan wadah atau tempat beras/padi yang dihantar sebagai persembahan. “Umumnya kaum ibu-ibu yang mengusung Tandok di semua acara adat dan seremonial,” kata Yatim.

Selain tempat beras/padi, Tandok juga digunakan untuk tempat nasi yang pada suku Karo biasanya disebut Sumpit. “Ukurannya sangat bervariasi dari sekitar 30 cm, 1 meter sampai 3 meter, yang disebut juga Tandok raksasa,” katanya.

Di sisi lain, Yatim juga menjawab soal pertanyaan bagaimana dirinya menggeluti seni lukis di Sumut. Dirinya tertantang menjadi pelukis baik di kanvas maupun tembok alias mural dalam mengeksplorasi kebudayaan dan pariwisata di Sumut. “Sumut ini kaya akan segalanya. Kita tinggal dan menetap di Sumut seakan berada sepuluh persen dalam surga,” ujarnya.

Paling perlu digarisbawahi lagi, sambung Yatim, eksplorasi kehidupan sosial, budaya dan pariwisata di Sumut melalui lukisan bisa berdampak pada majunya pertumbuhan pariwisata di provinsi ini. “Kita berharap, hubungan dan perhatian pemerintah dengan para pelukis semakin kuat. Selain wadah promosi melalui gambaran yang menarik perhatian, bisa juga sebagai alat media promosi ketika hasil lukisan di pajang disetiap even-even internasional,” ujarnya seraya meyakini seni lukis Sumut bisa bersaing di internasional.

Harapan senada juga disampaikan Kadisbudpar Sumut, Hidayati. Hidayati yang juga seniman teater itu sengaja meminta lukisan karya Syaiful Yatim menjadi salah satu inspirasinya dalam sebuah buku Geopark Kaldera Toba. “Saya melihat, di balik keindahan alam Danau Toba tersimpan suatu nilai perjuangan seorang ibu berboru batak yang berjuang menghasilkan sebuah karya anyaman Tandok. Lukisan karya Syaiful Yatim ini bisa menginspirasi khususnya soal nilai-nilai yang terkandung pada Danau Toba,” katanya.

Jadi, lanjut Hidayati yang masih aktif dalam seni prolog serta musik biola itu, dirinya tidak salah mengakui bahwa sebutan ‘inong/inang’ ‘(panggilan untuk ibu, Red) sangat sakral serta mengandung nilai perjuangan. “Melalui nilai di lukisan ini, saya melihat perjuangan seorang ibu berboru Batak benar-benar gigih berjuang untuk masa depan anak-anaknya. Sehingga sebutan ‘Anakkon hi do hamoraon di au’ dapat terserap penuh maknanya,” pungkasnya. (prn)

Oleh: PRAN HASIBUAN, Medan

TERIMA LUKISAN: Kadisbudpar Sumut Hidayati menerima lukisan ‘Inong Merajut Tandok’ Karya Pelukis M Yatim di Hotel Grand Aston City Hall Medan, Senin (8/7).
PRAN HASIBUAN/SUMUT POSTERIMA LUKISAN: Kadisbudpar Sumut Hidayati menerima lukisan ‘Inong Merajut Tandok’ Karya Pelukis M Yatim di Hotel Grand Aston City Hall Medan, Senin (8/7).

Buat nenek ku di Samosir, aku tau lapuk dan rapuhnya dinding rumah itu serapuh dan selapuk ragamu. Pecah retak guci tempat air di sana, sepecah dan seretak harapanmu dalam kehidupan. Jari tangan dan kaki tuamu menjadi saksi bisu perjalanan itu. Namun, karya-karyamulah yang selalu menjembatani hubungan sosial di antara kami.

BEGITU petikan narasi sosial yang termaktub dalam sebuah lukisan seorang nenek tua karya Syaiful Yatim. Dalam lukisan itu, sang nenek digambarkan sedang duduk di lantai merajut bayon (pandan) untuk dijadikan sebuah Tandok.

Syaiful Yatim, seorang pelukis mantan Guru Seni Rupa SMAN 3 Jember yang kini memilih menghabiskan hidupnya di Kota Medan, Sumatera Utara. Lukisan hasil kuasan jemarinya itu diserahkan kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumatera Utara, Hidayati dan Kepala Museum Negeri Sumut Martina di Hotel Grand Aston Medan, Senin (8/7).

“Ini diharapkan menjadi langkah awal hubungan dan perhatian Pemprovsu untuk mengeksplorasi kebudayaan dan seni Sumatera Utara melalui seni lukis,” harap Syaiful Yatim.

Yatim sedikit menjelaskan, soal anyaman Tandok yang digambarkan dalam lukisan tersebut. Menurutnya, Tandok tidak hanya dimaknai sebuah barang hantaran atau wadah yang terbuat dari anyaman bayon (pandan). Bukan juga sebuah barang ekonomis yang bisa menghasilkan rupiah. Namun, bagi orang Batak, Tandok sangatlah sakral dan digunakan saat upacara adat seperti pernikahan, lahiran hingga cara kematian. “Artinya, yang terpenting ada nilai-nilai, di antaranya kebudayaan dan kesakralan yang tersimpan hingga harus perlu dilestarikan,” terangnya.

Dirincikannya, pada umumnya anyaman Tandok itu juga dijadikan wadah atau tempat beras/padi yang dihantar sebagai persembahan. “Umumnya kaum ibu-ibu yang mengusung Tandok di semua acara adat dan seremonial,” kata Yatim.

Selain tempat beras/padi, Tandok juga digunakan untuk tempat nasi yang pada suku Karo biasanya disebut Sumpit. “Ukurannya sangat bervariasi dari sekitar 30 cm, 1 meter sampai 3 meter, yang disebut juga Tandok raksasa,” katanya.

Di sisi lain, Yatim juga menjawab soal pertanyaan bagaimana dirinya menggeluti seni lukis di Sumut. Dirinya tertantang menjadi pelukis baik di kanvas maupun tembok alias mural dalam mengeksplorasi kebudayaan dan pariwisata di Sumut. “Sumut ini kaya akan segalanya. Kita tinggal dan menetap di Sumut seakan berada sepuluh persen dalam surga,” ujarnya.

Paling perlu digarisbawahi lagi, sambung Yatim, eksplorasi kehidupan sosial, budaya dan pariwisata di Sumut melalui lukisan bisa berdampak pada majunya pertumbuhan pariwisata di provinsi ini. “Kita berharap, hubungan dan perhatian pemerintah dengan para pelukis semakin kuat. Selain wadah promosi melalui gambaran yang menarik perhatian, bisa juga sebagai alat media promosi ketika hasil lukisan di pajang disetiap even-even internasional,” ujarnya seraya meyakini seni lukis Sumut bisa bersaing di internasional.

Harapan senada juga disampaikan Kadisbudpar Sumut, Hidayati. Hidayati yang juga seniman teater itu sengaja meminta lukisan karya Syaiful Yatim menjadi salah satu inspirasinya dalam sebuah buku Geopark Kaldera Toba. “Saya melihat, di balik keindahan alam Danau Toba tersimpan suatu nilai perjuangan seorang ibu berboru batak yang berjuang menghasilkan sebuah karya anyaman Tandok. Lukisan karya Syaiful Yatim ini bisa menginspirasi khususnya soal nilai-nilai yang terkandung pada Danau Toba,” katanya.

Jadi, lanjut Hidayati yang masih aktif dalam seni prolog serta musik biola itu, dirinya tidak salah mengakui bahwa sebutan ‘inong/inang’ ‘(panggilan untuk ibu, Red) sangat sakral serta mengandung nilai perjuangan. “Melalui nilai di lukisan ini, saya melihat perjuangan seorang ibu berboru Batak benar-benar gigih berjuang untuk masa depan anak-anaknya. Sehingga sebutan ‘Anakkon hi do hamoraon di au’ dapat terserap penuh maknanya,” pungkasnya. (prn)

Oleh: PRAN HASIBUAN, Medan

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/