27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Gerimis Malam

Gerimis belum selesai ketika seorang lelaki masuk ke salah satu warung burjo yang tersebar di setiap sudut kota itu.
Rambutnya tampak berantakan, sebagian jatuh ke wajahnya yang hitam kurus. Tetes air sebagian tertampung di cekung pipinya sebelum ikut mengalir ke dagu dan kaos hitamnya. Secepat kilat ia duduk, memperhatikan meja dan pemilik warung segera menyambanginya.

Cerpen Indrian Koto

Mie rebus tanpa telur,” pesannya ketika ia memastikan ada bakwan yang bersisa di nampan biru. Lalu ia mengelap tetes hujan yang jatuh di wajah dan tangannya. ia tahu, mie instan bukanlah makanan yang cocok untuk perutnya. Tapi selalu, ketika melihat bakwan, perutnya tergoda untuk mencoba makanan kesukaannya; mie rebus tanpa telur campur bakwan.

Buru-buru ia berdiri lagi. Ia melihat tumpukan koran daerah yang tergeletak di depan seorang perempuan dengan blus hitam dan celana ketat. Cantik juga, gumamnya. Sekilas ia melirik, gadis muda dengan rambut lurus yang terikat rapi. Mungkin dia menunggu pesanannya datang, atau seseorang yang akan menjemputnya.
“Permisi, Mbak. Maaf, pinjam korannya,” katanya sambil menunjuk tumpukan koran di samping perempuan itu. Si perempuan tersadar dari lamunannya. Pandangannya berpindah dari sinetron di televisi ke arah lelaki itu.
“Oh, ya. silahkan.”
Di luar gerimis masih turun.

Ia membolak-balik koran dan melupakan perempuan dengan blus hitam di hadapannya. Ia membuka halaman tengah, opini dan surat pembaca. Ada tanggapan atas komplain sebuah opini yang dituduh plagiat. Si plagiat mengaku dan minta maaf sambil dengan gombal mengatakan bahwa ia sering membaca tulisan si pengklomplain, seorang dosen di sebuah kampus, dan ia menyukai tulisannya yang kritis, begitu tulis si penanggap dengan bahasa standar seorang penjilat. Lalu ia membuka halaman seni yang berisi foto-foto artis, launching film dan album rekaman. Ada berita seorang penyair yang suka ribut sedang melakukan pembacaan puisi keliling Jawa. Tulisan lainnya tak membuatnya berminat.

Mie terhidang di depannya.
“Minumnya, Ak?”
“Air putih!” Jawabnya tanpa menoleh. Lalu mengaduk-aduk mangkok mienya. Seketika perutnya melilit. Asem, pikirnya, belum dimakan saja perut ini sudah tahu kalau ia akan menerima mie instan lagi. Lalu diraihnya saos, dituangkannya ke mangkok. Lalu dituangkan pula merica. Tetapi maricanya sudah tak ada isi.
Ia kembali mengaduk mienya. Mengambil bakwan di nampan biru tiga biji. Sekejap, tiga potong bakwan itu menjadi serpihan-serpihan bercampur kuah. Kembali ia mengaduk. Ia menyuap sendokan pertamanya. Pedas. Dan panas. Ia terhenti ketika dirasakan koran yang terhimpit di tangan kanannya ditarik seseorang. Di luar masih gerimis? Dia tak berani menoleh ke samping karena mie di mulutnya tak bisa terpotong oleh giginya. Lama ia menunduk, mencari celah di mulutnya untuk memotong bagian mie yang bisa dilepas dengan gigitan. Ia merasa seseorang memperhatikannya dari tadi.

Ia menoleh. Astaga, seorang perempuan, persis di sampingnya. Dia melirik ke sudut. Bukan perempuan yang tadi. Ia sudah pergi. Hei ke mana dia? Sejak kapan ia tak ada? Dan perempuan di sampingnya ini, sejak kapan pula ia ada di sini? Di luar gerimis telah berganti rintik kecil.
Perempuan itu meliriknya sambil berpura-pura membaca koran yang tadi ditarik agak kasar dari tangan si lelaki. Dilihat dengan tatapan semacam itu membuatnya kehilangan selera pada makanannya. Ia risih dan agak malu. Apakah perempuan itu menganggapnya lucu dengan celana pendek dan kaosnya yang agak ketat ini? atau anting di telinga yang terlihat sok keren tetapi sebenarnya sangat norak?
“Bos, minta air putih.” Ia memanggil penjaga warung untuk mengalihkan rasa gugup.
Pemilik warung bergegas keluar. Mengambil gelas, mengisi air dan mengulurkan segelas air padanya dan segera di munumnya.

“Pesan apa, Teh?”
Ia menoleh ke arah si perempuan. Kesempatannya ketika si perempuan menatap penjual burjo yang masih muda itu. Seorang berwajah tirus dengan sepasang kacamata berbingkai kecil berwarna hitam. Memakai syal serupa taplak meja, t-shirt-nya kuning terbungkus jaket coklat tipis. Sebelah tangannya tertutup sarung. Sebelah sarung tangan yang lain tergeletak di sampingnya.
“Burjo, Mas.”
Rambutnya sebahu, dibiarkan terjatuh. Tetes air membuatnya kaku dan sebagian jatuh ke wajahnya.
“Waduh, kacang ijonya masih dipanasin.”
“Ketan hitam saja juga nggak apa-apa.”
“Oh, ya.”
Perempuan itu berpaling padanya. Pandangan mereka berserobok. Apakah mereka pernah bertemu di suatu tempat, suatu waktu? Apakah ia mengenal si perempuan? Ia mencoba memastikan lagi. Ketika ia menoleh, ia menangkap perempuan itu masih menatapnya. Mereka berpandangan sesaat. Saling gelagapan dan menunduk. Dia kembali menyuap mie-nya. Si perempuan mengeluarkan hp di saku jaketnya. Mulai memencet-mencet tombolnya.
Tidak, kami tidak saling mengenal, jadi tak masalah aku tak menyapanya dan menawarkan makan, pikirnya. Apakah dia tahu nomor hpku? Pikirnya sekali lagi. Ah, tidak, hanya imajinasinya saja yang kelewat besar. Bagaimana mungkin mereka saling mengenal. Di depannya, perempuan itu orang asing meski pun ia merasa begitu akrab. Tapi ia betul-betul tak mengenalinya. Apa dan siapa.
“Dibungkus, Teh?”
Darahnya terkesiap. Jangan dibungkus, jangan dibungkus, jerit hatinya.
“Di sini saja, Mas.”

“Oh, ya… sebentar!”
Mereka kembali saling melirik. Ia tak berani bertatapan langsung. Ia merasa risih dengan anting yang melingkar lucu di telinga kirinya ini. Anting yang baru beberapa hari dipasang di telinga kirinya dengan motif yang dipilihkan oleh pacarnya. Ia merasa malu dengan penampilannya yang berantakan. Oh, apakah perempuan itu melihat ada yang lucu? Astaga, dia ingat, tadi di kontrakan dia baru saja mencukur kumis dengan silet setengah berkarat. Tak ada cermin di kamarnya, juga kamar mandi. Setelah itu ia cuci muka dan segera ke warung ini. Apakah ada yang salah dengan potongan kumisnya?
Ia meraba bagian atas bibirnya. Terasa kasat. Tak ada yang terasa janggal. Ah, gerimis turun lagi. Ia menghabiskan sisa mienya. Perutnya masih melilit. Tadi sore dia sudah minum oralit. Perempuan itu mulai mengaduk bubur ketan hitamnya dan mengabaikan handhphone-nya, membiarkan tergeletak di meja.
Lalu semua sibuk dengan kepentingan perut masing-masing.
Mangkoknya kosong.
“Bos…!” Ia memanggil penjaga warung. Perempuan itu berhenti makan. Menatapnya agak kaget. Apakah buru-buru? begitu ia membaca isyarat di mata yang tertutup bungkai hitam itu.
“Ya, Ak?”

“Tambah minumnya.” Ia melirik si perempuan yang kembali tertunduk dan sibuk dengan bubur ketan hitamnya. Ia memperhatikan cara makannya. Pelan dan hati-hati. Tak seperti semula yang terlihat agak angkuh; menarik koran dari tangannya, memainkan handphone sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Ia meneguk minumnya. Duduk sebentar. Menatap ke luar. Si perempuan ikut mengalihkan pandangan ke luar. Jalan kecil itu basah. Tak ada orang yang lewat. Tak juga kendaraan. Ia berdiri. Perempuan menatapnya dengan pandangan seperti tadi. Kecewa dan tak puas.

Si lelaki menimbang-nimbang sesaat. Perempuan itu masih menatapnya, membiarkan kacamatanya melorot sampai ke hidung, membiarkan sendoknya menggantung begitu saja tanpa jadi masuk ke mulutnya.
“Bos, sudah…”
Ia melirik perempuan itu menunduk. Mengaduk bubur di dengan sendoknya. Seperti seorang yang lama mengidap demam. Kehilangan selera untuk makan.
“Sudah?”

“Mienya sudah. Aku minta rokok…” Ditatapnya si perempuan. Ia tersenyum tanpa menoleh. “… Mild.”
Perempuan itu ikut tersenyum sambil menggeser mangkoknya. Sebagian isinya masih tersisa. Mengambil gelas minumnya. Mereka kembali bertatapan tanpa seorang pun berani saling menyapa.
Ia membakar rokok. Si perempuan kembali mengambil handphonenya. Kembali memencet-mencet tombolnya sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Kali ini dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya yang tampak berkilat.
Ia mengusap bibir sendiri. lalu kembali menghisap rokok. Siapakah perempuan ini? Apakah mereka pernah saling mengenal? Teman satu kampus? Bertemu di suatu acara? Kapan? Ia menduga-duga. Tidak! Tidak! Dia bahkan nyaris tak mengenal siapa pun di kampus. Bahkan teman-teman sekelasnya. Ia jarang kuliah, jarang ikut seminar dan tak pernah ikut organisasi apa pun. Lalu bagaimana pula mereka bisa saling kenal? Atau mereka pernah bertemu di sebuah acara? Rasanya tidak juga. Ia merasa tak mengenal wajah perempuan itu dalam acara apa pun. Tapi rasanya betapa begitu akrab?

“Mas, sudah.” Panggil si perempuan dengan muka setengah cemberut.
Ia kaget begitu melihat perempuan itu berdiri.
“Ya,” penjaga warung datang tergopo-gopoh. “Seribu empat ratus, Teh.”
Perempuan itu mengeluarkan dompet. Meliriknya sebentar.
“Dari mana, Teh?”
“Ini, mau ke dokter gigi.” Perempuan itu menunjuk rumah di seberang jalan.
“Oh, mau periksa..”
Perempuan itu mengangguk. Berdiri menunggu kembalian uangnya. Sementara dia terpaku di tempatnya; menyesali banyak waktu dan kesempatan.
Tanpa menoleh perempuan itu meninggalkan warung. Langkahnya terasa lamban. seperti menunggu sebuah panggilan, lalu menyeberang jalan. Di luar gerimis sepertinya sudah dari tadi padam.***
Poetika, 2008-2010

Catatan:
-Ak, aak (Sunda): mas/abang.
-Teh, teteh (Sunda): mbak.

Gerimis belum selesai ketika seorang lelaki masuk ke salah satu warung burjo yang tersebar di setiap sudut kota itu.
Rambutnya tampak berantakan, sebagian jatuh ke wajahnya yang hitam kurus. Tetes air sebagian tertampung di cekung pipinya sebelum ikut mengalir ke dagu dan kaos hitamnya. Secepat kilat ia duduk, memperhatikan meja dan pemilik warung segera menyambanginya.

Cerpen Indrian Koto

Mie rebus tanpa telur,” pesannya ketika ia memastikan ada bakwan yang bersisa di nampan biru. Lalu ia mengelap tetes hujan yang jatuh di wajah dan tangannya. ia tahu, mie instan bukanlah makanan yang cocok untuk perutnya. Tapi selalu, ketika melihat bakwan, perutnya tergoda untuk mencoba makanan kesukaannya; mie rebus tanpa telur campur bakwan.

Buru-buru ia berdiri lagi. Ia melihat tumpukan koran daerah yang tergeletak di depan seorang perempuan dengan blus hitam dan celana ketat. Cantik juga, gumamnya. Sekilas ia melirik, gadis muda dengan rambut lurus yang terikat rapi. Mungkin dia menunggu pesanannya datang, atau seseorang yang akan menjemputnya.
“Permisi, Mbak. Maaf, pinjam korannya,” katanya sambil menunjuk tumpukan koran di samping perempuan itu. Si perempuan tersadar dari lamunannya. Pandangannya berpindah dari sinetron di televisi ke arah lelaki itu.
“Oh, ya. silahkan.”
Di luar gerimis masih turun.

Ia membolak-balik koran dan melupakan perempuan dengan blus hitam di hadapannya. Ia membuka halaman tengah, opini dan surat pembaca. Ada tanggapan atas komplain sebuah opini yang dituduh plagiat. Si plagiat mengaku dan minta maaf sambil dengan gombal mengatakan bahwa ia sering membaca tulisan si pengklomplain, seorang dosen di sebuah kampus, dan ia menyukai tulisannya yang kritis, begitu tulis si penanggap dengan bahasa standar seorang penjilat. Lalu ia membuka halaman seni yang berisi foto-foto artis, launching film dan album rekaman. Ada berita seorang penyair yang suka ribut sedang melakukan pembacaan puisi keliling Jawa. Tulisan lainnya tak membuatnya berminat.

Mie terhidang di depannya.
“Minumnya, Ak?”
“Air putih!” Jawabnya tanpa menoleh. Lalu mengaduk-aduk mangkok mienya. Seketika perutnya melilit. Asem, pikirnya, belum dimakan saja perut ini sudah tahu kalau ia akan menerima mie instan lagi. Lalu diraihnya saos, dituangkannya ke mangkok. Lalu dituangkan pula merica. Tetapi maricanya sudah tak ada isi.
Ia kembali mengaduk mienya. Mengambil bakwan di nampan biru tiga biji. Sekejap, tiga potong bakwan itu menjadi serpihan-serpihan bercampur kuah. Kembali ia mengaduk. Ia menyuap sendokan pertamanya. Pedas. Dan panas. Ia terhenti ketika dirasakan koran yang terhimpit di tangan kanannya ditarik seseorang. Di luar masih gerimis? Dia tak berani menoleh ke samping karena mie di mulutnya tak bisa terpotong oleh giginya. Lama ia menunduk, mencari celah di mulutnya untuk memotong bagian mie yang bisa dilepas dengan gigitan. Ia merasa seseorang memperhatikannya dari tadi.

Ia menoleh. Astaga, seorang perempuan, persis di sampingnya. Dia melirik ke sudut. Bukan perempuan yang tadi. Ia sudah pergi. Hei ke mana dia? Sejak kapan ia tak ada? Dan perempuan di sampingnya ini, sejak kapan pula ia ada di sini? Di luar gerimis telah berganti rintik kecil.
Perempuan itu meliriknya sambil berpura-pura membaca koran yang tadi ditarik agak kasar dari tangan si lelaki. Dilihat dengan tatapan semacam itu membuatnya kehilangan selera pada makanannya. Ia risih dan agak malu. Apakah perempuan itu menganggapnya lucu dengan celana pendek dan kaosnya yang agak ketat ini? atau anting di telinga yang terlihat sok keren tetapi sebenarnya sangat norak?
“Bos, minta air putih.” Ia memanggil penjaga warung untuk mengalihkan rasa gugup.
Pemilik warung bergegas keluar. Mengambil gelas, mengisi air dan mengulurkan segelas air padanya dan segera di munumnya.

“Pesan apa, Teh?”
Ia menoleh ke arah si perempuan. Kesempatannya ketika si perempuan menatap penjual burjo yang masih muda itu. Seorang berwajah tirus dengan sepasang kacamata berbingkai kecil berwarna hitam. Memakai syal serupa taplak meja, t-shirt-nya kuning terbungkus jaket coklat tipis. Sebelah tangannya tertutup sarung. Sebelah sarung tangan yang lain tergeletak di sampingnya.
“Burjo, Mas.”
Rambutnya sebahu, dibiarkan terjatuh. Tetes air membuatnya kaku dan sebagian jatuh ke wajahnya.
“Waduh, kacang ijonya masih dipanasin.”
“Ketan hitam saja juga nggak apa-apa.”
“Oh, ya.”
Perempuan itu berpaling padanya. Pandangan mereka berserobok. Apakah mereka pernah bertemu di suatu tempat, suatu waktu? Apakah ia mengenal si perempuan? Ia mencoba memastikan lagi. Ketika ia menoleh, ia menangkap perempuan itu masih menatapnya. Mereka berpandangan sesaat. Saling gelagapan dan menunduk. Dia kembali menyuap mie-nya. Si perempuan mengeluarkan hp di saku jaketnya. Mulai memencet-mencet tombolnya.
Tidak, kami tidak saling mengenal, jadi tak masalah aku tak menyapanya dan menawarkan makan, pikirnya. Apakah dia tahu nomor hpku? Pikirnya sekali lagi. Ah, tidak, hanya imajinasinya saja yang kelewat besar. Bagaimana mungkin mereka saling mengenal. Di depannya, perempuan itu orang asing meski pun ia merasa begitu akrab. Tapi ia betul-betul tak mengenalinya. Apa dan siapa.
“Dibungkus, Teh?”
Darahnya terkesiap. Jangan dibungkus, jangan dibungkus, jerit hatinya.
“Di sini saja, Mas.”

“Oh, ya… sebentar!”
Mereka kembali saling melirik. Ia tak berani bertatapan langsung. Ia merasa risih dengan anting yang melingkar lucu di telinga kirinya ini. Anting yang baru beberapa hari dipasang di telinga kirinya dengan motif yang dipilihkan oleh pacarnya. Ia merasa malu dengan penampilannya yang berantakan. Oh, apakah perempuan itu melihat ada yang lucu? Astaga, dia ingat, tadi di kontrakan dia baru saja mencukur kumis dengan silet setengah berkarat. Tak ada cermin di kamarnya, juga kamar mandi. Setelah itu ia cuci muka dan segera ke warung ini. Apakah ada yang salah dengan potongan kumisnya?
Ia meraba bagian atas bibirnya. Terasa kasat. Tak ada yang terasa janggal. Ah, gerimis turun lagi. Ia menghabiskan sisa mienya. Perutnya masih melilit. Tadi sore dia sudah minum oralit. Perempuan itu mulai mengaduk bubur ketan hitamnya dan mengabaikan handhphone-nya, membiarkan tergeletak di meja.
Lalu semua sibuk dengan kepentingan perut masing-masing.
Mangkoknya kosong.
“Bos…!” Ia memanggil penjaga warung. Perempuan itu berhenti makan. Menatapnya agak kaget. Apakah buru-buru? begitu ia membaca isyarat di mata yang tertutup bungkai hitam itu.
“Ya, Ak?”

“Tambah minumnya.” Ia melirik si perempuan yang kembali tertunduk dan sibuk dengan bubur ketan hitamnya. Ia memperhatikan cara makannya. Pelan dan hati-hati. Tak seperti semula yang terlihat agak angkuh; menarik koran dari tangannya, memainkan handphone sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Ia meneguk minumnya. Duduk sebentar. Menatap ke luar. Si perempuan ikut mengalihkan pandangan ke luar. Jalan kecil itu basah. Tak ada orang yang lewat. Tak juga kendaraan. Ia berdiri. Perempuan menatapnya dengan pandangan seperti tadi. Kecewa dan tak puas.

Si lelaki menimbang-nimbang sesaat. Perempuan itu masih menatapnya, membiarkan kacamatanya melorot sampai ke hidung, membiarkan sendoknya menggantung begitu saja tanpa jadi masuk ke mulutnya.
“Bos, sudah…”
Ia melirik perempuan itu menunduk. Mengaduk bubur di dengan sendoknya. Seperti seorang yang lama mengidap demam. Kehilangan selera untuk makan.
“Sudah?”

“Mienya sudah. Aku minta rokok…” Ditatapnya si perempuan. Ia tersenyum tanpa menoleh. “… Mild.”
Perempuan itu ikut tersenyum sambil menggeser mangkoknya. Sebagian isinya masih tersisa. Mengambil gelas minumnya. Mereka kembali bertatapan tanpa seorang pun berani saling menyapa.
Ia membakar rokok. Si perempuan kembali mengambil handphonenya. Kembali memencet-mencet tombolnya sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Kali ini dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya yang tampak berkilat.
Ia mengusap bibir sendiri. lalu kembali menghisap rokok. Siapakah perempuan ini? Apakah mereka pernah saling mengenal? Teman satu kampus? Bertemu di suatu acara? Kapan? Ia menduga-duga. Tidak! Tidak! Dia bahkan nyaris tak mengenal siapa pun di kampus. Bahkan teman-teman sekelasnya. Ia jarang kuliah, jarang ikut seminar dan tak pernah ikut organisasi apa pun. Lalu bagaimana pula mereka bisa saling kenal? Atau mereka pernah bertemu di sebuah acara? Rasanya tidak juga. Ia merasa tak mengenal wajah perempuan itu dalam acara apa pun. Tapi rasanya betapa begitu akrab?

“Mas, sudah.” Panggil si perempuan dengan muka setengah cemberut.
Ia kaget begitu melihat perempuan itu berdiri.
“Ya,” penjaga warung datang tergopo-gopoh. “Seribu empat ratus, Teh.”
Perempuan itu mengeluarkan dompet. Meliriknya sebentar.
“Dari mana, Teh?”
“Ini, mau ke dokter gigi.” Perempuan itu menunjuk rumah di seberang jalan.
“Oh, mau periksa..”
Perempuan itu mengangguk. Berdiri menunggu kembalian uangnya. Sementara dia terpaku di tempatnya; menyesali banyak waktu dan kesempatan.
Tanpa menoleh perempuan itu meninggalkan warung. Langkahnya terasa lamban. seperti menunggu sebuah panggilan, lalu menyeberang jalan. Di luar gerimis sepertinya sudah dari tadi padam.***
Poetika, 2008-2010

Catatan:
-Ak, aak (Sunda): mas/abang.
-Teh, teteh (Sunda): mbak.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/