“Setidaknya, beginilah negara kita saat ini. Yang benar disalahkan dan yang sudah pasti salah masih bisa dibenarkan.”
Kalimat itu salah satu yang diapungkan di pementasan Teater O USU yang kembali mementaskan Detektif Danga-danga di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Jalan Prof H.M Yamin Jumat (21/6). Dan cukup banyak kejutan untuk penonton dalam pementasan ke-117 Teater O itu.
Ceritanya berawal dari sebuah keluarga yang berada, hebat dan penuh dengan kemewahan meskipun ternyata sang pemilik kehidupan itu hanya pintar memainkan kata-kata, ia bodoh seperti kalimat ‘Jaka Sembung bawa golok, gak nyambung goblok’.
Namun, Percaya atau tidak negeri ini memang sudah dikendalikan dengan orang-orang yang hanya bisa berkata-kata tersebut. Mereka itulah bandit yang menguasai negara ini. Apapun yang ia inginkan dapat ia lakukan. Bahkan, hal yang benar disalahkan dan yang sudah pasti salah masih bisa dibenarkan, benar-benar menunjukkan keadaan negara ini.
Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, orang yang ingin mengungkapkan kebohongan dari para bandit negara ini, ternyata diam-diam juga menginginkan kehidupan sang bandit. Mereka ingin hidup mewah dan berkuasa. Mereka itu detektif danga-danga.
Teater O terlihat detail dalam pertunjukannya. Dengan gaya jenakanya, pesan yang disampaikan juga dapat dicerna. Kesombongan, kemewahan, kekuasaan, kemunafikan, ketakutan dan berbagai hal jelas terlihat. Saat pementasan perdana dari yang dijadwalkan dua hari, Jumat dan Sabtu lalu, tampaknya tak ada pejabat yang menonton. Sayang sebab pesan dan sindiran itu semestinya didengar oleh pejabat negeri ini yang kerap tak menjalankan tugas dengan semestinya. Di hari pertama pementasan, mayoritas penonton adalah pelajar dan mahasiswa.
Di sisi lain, pementasan ini tak lepas sebagai wujud hiburan demi penggalangan dana Aquila Qotrunnadha Parinduri, bayi penderita Atresia Bilier.
Wiwin Vamela, salah satu penonton, mahasiswi STIK-P mengatakan pementasan oleh Teater O sangat fresh. Di dalam ceritanya banyak pelajaran, sangat menyindir pemerintah. Namun, disayangkan, tidak terlihat ada pemerintah dalam gedung tersebut. Sehingga pesan didalamnya tidak dapat disalurkan.
“Yang terpenting sih Aquilanya yah, kalau teaternya sih, sudah bagus tapi tetap saja hanya untuk hiburan. Pesannya begitu dalam, tapi tidak ada gunanya. Toh pemerintah kita tetap melakukan hal tersebut,” ujarnya.
Yulhasni selaku produser dan penulis naskah detektif danga-danga menjelaskan, ide naskah detektif danga-danga diambil dari buku Tanda Tanya, Supriadi Purba Mergana.
“Buku ini idenya dari episode Negeri Para Bandit di buku Tanda Tanya. Inilah gambaran negeri kita saat ini, di situ ada cerita tentang kehidupan para anggota dewan. Begitulah keadaannya, saat ini tidak pernah tampak ke luar, diam-diam menggerogoti dan merugikan masyarakat,” katanya.
Lanjutnya, pesan dalam pementasan ini, terlihat bahwa sangat susah mencari yang jujur. Bahkan orang yang ingin menguak kasus di dewan, kenyataannya juga ingin duduk menjadi anggota dewan. “Tapi di situ pemerintah diminta harus dapat berlaku santun dan sudah seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyatnya,” lanjut Yulhasni.
Di dalam pementasan ini, terlihat ketua dewan perwakilan rakyat dengan anggota dewan lainnya ternyata memiliki hubungan saudara. Nepotisme masih saja berlangsung. Bahkan hal yang tidak penting bagi rakyat, mencari keberadaan Jaka Sembung bawa golok menjadi pembicaraan dalam rapat khusus para dewan. Bagi yang tidak setuju, maka ia tidak akan bertahan, ia akan keluar dengan sendirinya. Kekuasaan yang berkuasa. Orang yang bertahan hanyalah para sanak saudara. (*)