29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kabut Hitam di Mata Merah

Cerpen :  Budiah Sari Siregar

Merah, entah kenapa hatiku selalu terenyuh tiap kali mendengar namanya. Terlebih-lebih jika melihat wajahnya.

Pipinya yang tak pernah lepas dari blush on justru membuatku semakin kasihan padanya. Aku tak tahu apa sebabnya,
padahal ia termasuk anak yang jarang terlihat murung di kampus. Merah, aku pertama kali melihatnya saat kami sama-sama menjadi mahasiswa baru di kampusku. Waktu itu hari pertama PAMB (pembekalan akademik mahasiswa baru) setengah tahun yang lalu.

Aku datang dengan wajah pucat karena takut dimarahi senior, sebab aku terlambat lima belas menit. Terpengaruh oleh acara televisi dan omongan orang seputar PAMB atau lebih dikenal dengan istilah ospek yang akrab denga kekerasan membuatku panas dingin.
Sesampainya di kampus aku diinterogasi kakak senior dan sebagai hukumannya seharian aku harus berdiri di depan bersama para senior. Tak separah yang dibicarakan orang, pikirku.
Lima belas menit kemudian Merah datang dengan santainya. Mengenakan pencil pants berwarna coklat dengan atasan shirt dress berwarna senada membuat semua mata tertuju padanya.

Aku yang berdiri di depan sempat mendengar bisik-bisik para senior laki-laki yang mengagumi kecantikannya. Alhasil banyak senior laki-laki yang sok sibuk menginterogasinya padahal sebenarnya cuma pengen kenal dengannya. Sedangkan aku yang sejak lima belas menit tadi berdiri di situ tak digubris.

Nasib dah… untung Merah termasuk pribadi yang ramah, meski ia dikerubuti senior-senior keren ia tak langsung menyombongkan diri, melainkan menyapaku dan mengajakku berkenalan. Dan jadilah seharian itu kami bersama karena sama-sama terlambat.
Itulah awal perkenalanku dengan Merah, cewek pujaan di kampus kami. Meski aku tahu tak ada yang sempurna di dunia ini, namun bila disuruh menilai Merah mungkin aku akan menjawab kalau ia adalah cewek paling sempurna di dunia, selain ibuku tentunya.

Sebab ia tak hanya cantik, tetapi juga baik hati, ramah dan punya otak yang encer. Ditambah lagi ia berasal dari keluarga berada. Lengkaplah sudah. Tak seperti aku, cewek dengan tinggi badan hanya 155cm dan berat badan 45 kg, berkulit hitam dan berhidung pesek membuatku jauh dari kata “cewek idaman”, untunglah ada Edo yang tulus mencintaiku.

“Ah kau ini bisa saja! Justru kaulah yang lebih sempurna dibanding aku,” begitu selalu jawabannya sambil tertawa  jika aku mengatakan kalau menurutku dia sempurna sebagai seorang cewek.

Merah selalu dikerubuti cowok-cowok keren di kampus, baik itu mahasiswa baru seperti kami atau yang lebih senior. Tak hanya cowok satu jurusan saja, tetapi juga satu fakultas bahkan satu kampus sepertinya mengenal dan mendambakannya.

Hal ini membuat aku yang lumayan dekat dengannya terkena imbasnya. Banyak cowok-cowok keren yang ramah kepadaku. Maklumlah mereka ingin mendapatkan informasi tentang Merah dariku. Hhh…ada-ada saja, tapi tak apalah! Setidaknya aku jadi punya banyak kenalan cowok keren di kampus ini.
Sayangnya, sudah satu semester aku menjadi sahabatnya dan menjalani hari-hari di kampus bersama, belum ada satupun cowok yang ia terima. Aku juga tak pernah melihatnya jalan dengan cowok. Hal ini membuatku bertanya-tanya. Pria seperti apa yang menjadi tipenya? Benarkah tak ada di antara sekian banyak cowok yang mengejarnya.

“Si Aldo itu anak pak Gubernur lho Rah, eman kamu gak pengen punya pacar anak orang nomor satu di kota kita? Atau si Ozy… anak itu aku liat lumayan smart en enak di ajak ngobrol. Aku yakin deh klo kalian crita bakalan nyambung.

Mmm..gimana kalau si Fandy saja, dia kan atlit, atau si Iraz yang…”
“Aduh udah deh San, ngapain sih mikirin mereka. Mending juga baca buku,” Merah yang memang sedang membaca buku menanggapi ocehanku dengan cuek.

“Sebenarnya kamu tuh nyari cowok yang gimana sih Rah?” akhirnya terlontar juga pertanyaan itu. Merah hanya mengalihkan pandangannya padaku sejenak dan kemudian melanjutkan membaca.

“Rah!” merah menarik nafas dan menutup bukunya. Menatap ke arahku, kemudian berkata, “Aku hanya mencari seseorang yang dapat melengkapi dan memahami apa yang tak dapat kuberi. Seseorang yang bisa membuat hidupku sempurna, itu saja.”
“Jawabanmu membingungkan. Memangnya mereka kurang apa”
“Tak ada yang kurang dari mereka, hanya saja aku merasa belum menemukan orang seperti yang kusebut tadi”

Kutatap matanya. Mata yang sampai sekarang belum kumengerti, seperti apa sebenarnya si empunya mata itu. Meski sudah satu semester menjadi sahabatnya, aku merasa belum benar-benar mengenalnya. Merah terlalu misteri bagiku. Di balik senyum manisnya dan gelak tawanya aku selalu merasakan sorot kelabu dari matanya. Ah… munggkin aku terlalu banyak membaca novel-novel picisan hingga pikirankupun terpengaruhi seperti ini.

***
Hampir sebulan sudah kulalui hari tanpa canda tawa merah. Merah memutuskan melanjutkan kuliahnya di Thailand, tempat orang tuanya kini tinggal. Sampai aku mengantarnya di Bandara belum kudapatkan jawaban dari sorot mata kelabu Merah. Sorot mata yang seakan digantungi kabut hitam nan kelam.

“Doakan aku menemukan kesempurnaanku di sana ya San,” merah berkata sambil memelukku. Ah… Merah! Di sini pun kamu sudah sempurna menurutku. Ucapku, dalam hati.

Lamunanku tentang Merah buyar kala sebuah benda mengenai kepalaku. “Kamu nonton atau melamun sih!! Di ajak ngobrol kok diem aja,” Rina adikku ngomel. Kuambil bantal yang ia gunakan untuk melempar kepalaku, hendak kugunakan untuk tidur.

“Eh San liat deh, itu orang mirip banget sama temen kamu yang sering datang ke rumah kita. Siapa namanya Merah ya?”

“Aduh Rin, udah deh gak usah ganggu. Aku mau tidur nih.”
“San, jangan-jangan dia memang temen kamu. Merah Weinen, waria asal Indonesia. Gila! Cantik-cantik gitu ternyata dia waria ya?!” Rina berguman. Aku tersentak mendengar ucapannya. Langsung mataku terbelalak melihat televisi yang sedang menayangkan program  bertema “jalan-jalan” itu.

Kulihat presenter acara tersebut sedang mewawancarai seorang transeksual atau di Indonesia lebih sering disebut waria.
“Ok, Merah Weinen, waria asal Indonesia. Bagaimana perasaan kamu menjadi salah satu pemain kabaret transeksual di sini.”

“Yang pasti saya merasa menjadi manusia sempurna.”
Manusia sempurna! Aku hampir tak percaya mendengar ucapan itu. Merah Weinen sahabatku yang cantik jelita itu ternyata seorang pria transeksual. Jadi ini yang membuatnya merasa tak sempurna.

Ah… Merah Weinen, seorang kawan yang sorot matanya selalu digantungi kabut hitam. Hari ini tak kulihat lagi kabut itu di matanya.

Medan, 27 Desember’09

Cerpen :  Budiah Sari Siregar

Merah, entah kenapa hatiku selalu terenyuh tiap kali mendengar namanya. Terlebih-lebih jika melihat wajahnya.

Pipinya yang tak pernah lepas dari blush on justru membuatku semakin kasihan padanya. Aku tak tahu apa sebabnya,
padahal ia termasuk anak yang jarang terlihat murung di kampus. Merah, aku pertama kali melihatnya saat kami sama-sama menjadi mahasiswa baru di kampusku. Waktu itu hari pertama PAMB (pembekalan akademik mahasiswa baru) setengah tahun yang lalu.

Aku datang dengan wajah pucat karena takut dimarahi senior, sebab aku terlambat lima belas menit. Terpengaruh oleh acara televisi dan omongan orang seputar PAMB atau lebih dikenal dengan istilah ospek yang akrab denga kekerasan membuatku panas dingin.
Sesampainya di kampus aku diinterogasi kakak senior dan sebagai hukumannya seharian aku harus berdiri di depan bersama para senior. Tak separah yang dibicarakan orang, pikirku.
Lima belas menit kemudian Merah datang dengan santainya. Mengenakan pencil pants berwarna coklat dengan atasan shirt dress berwarna senada membuat semua mata tertuju padanya.

Aku yang berdiri di depan sempat mendengar bisik-bisik para senior laki-laki yang mengagumi kecantikannya. Alhasil banyak senior laki-laki yang sok sibuk menginterogasinya padahal sebenarnya cuma pengen kenal dengannya. Sedangkan aku yang sejak lima belas menit tadi berdiri di situ tak digubris.

Nasib dah… untung Merah termasuk pribadi yang ramah, meski ia dikerubuti senior-senior keren ia tak langsung menyombongkan diri, melainkan menyapaku dan mengajakku berkenalan. Dan jadilah seharian itu kami bersama karena sama-sama terlambat.
Itulah awal perkenalanku dengan Merah, cewek pujaan di kampus kami. Meski aku tahu tak ada yang sempurna di dunia ini, namun bila disuruh menilai Merah mungkin aku akan menjawab kalau ia adalah cewek paling sempurna di dunia, selain ibuku tentunya.

Sebab ia tak hanya cantik, tetapi juga baik hati, ramah dan punya otak yang encer. Ditambah lagi ia berasal dari keluarga berada. Lengkaplah sudah. Tak seperti aku, cewek dengan tinggi badan hanya 155cm dan berat badan 45 kg, berkulit hitam dan berhidung pesek membuatku jauh dari kata “cewek idaman”, untunglah ada Edo yang tulus mencintaiku.

“Ah kau ini bisa saja! Justru kaulah yang lebih sempurna dibanding aku,” begitu selalu jawabannya sambil tertawa  jika aku mengatakan kalau menurutku dia sempurna sebagai seorang cewek.

Merah selalu dikerubuti cowok-cowok keren di kampus, baik itu mahasiswa baru seperti kami atau yang lebih senior. Tak hanya cowok satu jurusan saja, tetapi juga satu fakultas bahkan satu kampus sepertinya mengenal dan mendambakannya.

Hal ini membuat aku yang lumayan dekat dengannya terkena imbasnya. Banyak cowok-cowok keren yang ramah kepadaku. Maklumlah mereka ingin mendapatkan informasi tentang Merah dariku. Hhh…ada-ada saja, tapi tak apalah! Setidaknya aku jadi punya banyak kenalan cowok keren di kampus ini.
Sayangnya, sudah satu semester aku menjadi sahabatnya dan menjalani hari-hari di kampus bersama, belum ada satupun cowok yang ia terima. Aku juga tak pernah melihatnya jalan dengan cowok. Hal ini membuatku bertanya-tanya. Pria seperti apa yang menjadi tipenya? Benarkah tak ada di antara sekian banyak cowok yang mengejarnya.

“Si Aldo itu anak pak Gubernur lho Rah, eman kamu gak pengen punya pacar anak orang nomor satu di kota kita? Atau si Ozy… anak itu aku liat lumayan smart en enak di ajak ngobrol. Aku yakin deh klo kalian crita bakalan nyambung.

Mmm..gimana kalau si Fandy saja, dia kan atlit, atau si Iraz yang…”
“Aduh udah deh San, ngapain sih mikirin mereka. Mending juga baca buku,” Merah yang memang sedang membaca buku menanggapi ocehanku dengan cuek.

“Sebenarnya kamu tuh nyari cowok yang gimana sih Rah?” akhirnya terlontar juga pertanyaan itu. Merah hanya mengalihkan pandangannya padaku sejenak dan kemudian melanjutkan membaca.

“Rah!” merah menarik nafas dan menutup bukunya. Menatap ke arahku, kemudian berkata, “Aku hanya mencari seseorang yang dapat melengkapi dan memahami apa yang tak dapat kuberi. Seseorang yang bisa membuat hidupku sempurna, itu saja.”
“Jawabanmu membingungkan. Memangnya mereka kurang apa”
“Tak ada yang kurang dari mereka, hanya saja aku merasa belum menemukan orang seperti yang kusebut tadi”

Kutatap matanya. Mata yang sampai sekarang belum kumengerti, seperti apa sebenarnya si empunya mata itu. Meski sudah satu semester menjadi sahabatnya, aku merasa belum benar-benar mengenalnya. Merah terlalu misteri bagiku. Di balik senyum manisnya dan gelak tawanya aku selalu merasakan sorot kelabu dari matanya. Ah… munggkin aku terlalu banyak membaca novel-novel picisan hingga pikirankupun terpengaruhi seperti ini.

***
Hampir sebulan sudah kulalui hari tanpa canda tawa merah. Merah memutuskan melanjutkan kuliahnya di Thailand, tempat orang tuanya kini tinggal. Sampai aku mengantarnya di Bandara belum kudapatkan jawaban dari sorot mata kelabu Merah. Sorot mata yang seakan digantungi kabut hitam nan kelam.

“Doakan aku menemukan kesempurnaanku di sana ya San,” merah berkata sambil memelukku. Ah… Merah! Di sini pun kamu sudah sempurna menurutku. Ucapku, dalam hati.

Lamunanku tentang Merah buyar kala sebuah benda mengenai kepalaku. “Kamu nonton atau melamun sih!! Di ajak ngobrol kok diem aja,” Rina adikku ngomel. Kuambil bantal yang ia gunakan untuk melempar kepalaku, hendak kugunakan untuk tidur.

“Eh San liat deh, itu orang mirip banget sama temen kamu yang sering datang ke rumah kita. Siapa namanya Merah ya?”

“Aduh Rin, udah deh gak usah ganggu. Aku mau tidur nih.”
“San, jangan-jangan dia memang temen kamu. Merah Weinen, waria asal Indonesia. Gila! Cantik-cantik gitu ternyata dia waria ya?!” Rina berguman. Aku tersentak mendengar ucapannya. Langsung mataku terbelalak melihat televisi yang sedang menayangkan program  bertema “jalan-jalan” itu.

Kulihat presenter acara tersebut sedang mewawancarai seorang transeksual atau di Indonesia lebih sering disebut waria.
“Ok, Merah Weinen, waria asal Indonesia. Bagaimana perasaan kamu menjadi salah satu pemain kabaret transeksual di sini.”

“Yang pasti saya merasa menjadi manusia sempurna.”
Manusia sempurna! Aku hampir tak percaya mendengar ucapan itu. Merah Weinen sahabatku yang cantik jelita itu ternyata seorang pria transeksual. Jadi ini yang membuatnya merasa tak sempurna.

Ah… Merah Weinen, seorang kawan yang sorot matanya selalu digantungi kabut hitam. Hari ini tak kulihat lagi kabut itu di matanya.

Medan, 27 Desember’09

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/