23.9 C
Medan
Sunday, June 23, 2024

Kincir di Bola Mataku

Jika ada yang sangat kuinginkan saat ini, itu adalah menikah denganmu. Ini sudah kesekian kalinya, aku pulang dengan jarum kekesalan menancap di hatiku. Sikapmu belum juga berubah ternyata, tetap tak tergoyahkan. Padahal aku selalu ingin membuat setiap pertemuan kita menjadi menyenangkan. Karena itulah aku selalu menaruh pembicaraan perihal itu di ujung perjumpaan kita. 

Cerpen: Kuro Diato 

Aku tahu, kita telah cukup berkorban untuk pertemuan ini. Aku sepenuhnya sadar bahwa kau mungkin saja telah menyelipkan pertemuan ini di antara kesibukanmu atau bahkan telahmembatalkansekianjanjimuuntukku. Kesibukanmu sebagai redaktur memang tak memberiku pilihan kecuali sebuah pertemuan singkat yang terencana dengan sangat rapi.

Pertemuan kita bagai terkungkung oleh sebuah kurung kurawal, tak boleh lebih atau kurang. Intensitas pertemuan yang kurang, kesibukan masingmasing yang begitu padat, hingga keadaan lingkungan memang kerap kurasakan akan membuat hubungan kita tidak sehat. Dan kenyataannya, hubungan kita memang tidak sehat dalam arti yang sebenarnya. Harapan agar kau melunak jika bertemu di kafe kenangan juga pupus sudah.
Tadinya aku berharap kalau setiap sudut kafe itu akan memaksamu membongkar arsip-arsip kenangan kita, lalukenangan-kenanganmanisitu akan menyergapmu dan menyeretmu dalam aroma melankolis dan romantis yang pernah kita miliki dulu. Atau paling tidak kau akan terharu sedikit saja dengan setiap pengorbanan yang aku lakukan.

Namun kenyataannya, saat berbicara pun kau tak menatap mataku. Entah tak sanggup atau memang perhatianmu lebih tercurahkan pada ponsel yang sejak tadi kau mainkan. Selaluadabunyidari sana dan kau akan segera meresponnya, entah menjawab panggilan atau mengetik sesuatu.

Malam memang semakin larut. Aku tak heran jika para pelayan mulai mengangkat kursi-kursi bundar dan menaruhnya di atas bangku. Di sisi satunya, di satu-satunya bagian ruangan yang mendapat pencahayaan paling jelas karena terbantu cahaya lampu jalanan, seorang pelayan bahkan telahmenutuptirai. Kinimembuatkafe itu semakin tenggelam dalam cahaya remang-remang yang mengantukkan.
Aku merasa suasana dalam kafe ini lebih suram daripada di luar. Seorang pelayan mendekatiku. Tanpa mengucapkan permisi atau ucapan lain yang menunjukkan permintaan izin, dia mengangkat kursi di sebelahku. Akubenar-benartahuapamaksudnya. Entah apa dia dan para pelayan yang lain merasa bahwa itu adalah cara yang paling halus untuk mengusir seorang pengunjung yang tak tahu diri dan minum sampai dini hari. Tapi meskipun aku merasa tak nyaman, ternyata aku sangat tak peduli.

Menjadi pelukis itu menjemukan. Ide-ide yang bertumpuk dan bercampur aduk dan mulanya aku rasa akan membuatku menjadi pelukis produktif dan hebat karena banyaknya ide-de yang aku punya tersebut ternyata hanya khayalan dari seorang pelukis pemula.

Ide-ide itu, berapapun banyaknya, saat aku melukis hanya akan menjelma menjadi satu lukisan saja. Seolah setiap lukisan adalah pemeras ide, penyedot imajinasi yang bekerja seperti pompa air. Saat air telah tuntas dihisap keluar, yang tersisa hanya lumpur. Dan akulah lumpur itu, otakku lumpur, mimpi-mimpiku juga lumpur. Di pojok ruangan, di tempat paling gelap di kafe, seseorang minum dengan terantuk-antuk. Kelihatannya dia mabuk berat.
Aku mendekatinya. Siapa kiranya orang yang senasib denganku malam ini? Jika aku sekarang sedang ditinggalkan ide, siapa yang telah meninggalkannya? Dan itulah dirimu. Kau menyapaku bahkan sebelum aku duduk. Ternyata kau belum benar-benar mabuk.

Sebotol minuman yang masih setengah dan segelaspenuhyanghanyakau main-mainkan saja, kau putar-putar untuk menghabiskan waktu katamu. Kau sebenarnya tak suka minum, kau hanya ingin mencari sesuatu dengan minuman-minuman ini. Ide. Tak aku kira kau juga mengatakannya. Begitu pentingkah ide hingga tampaknya semua orang mencarinya? Ini sudah lebih dari satu dekade masa reformasi, dan kata reformasi di mana-mana hampir selalu diikuti dengan kata globalisasi. Globalisasi, kalau begitu apa belum saatnya ada orang yang berjualan ide?

Di pasarpasar mungkin, bercampur dengan penjual yang meneriakkan harga yang melambung, atau di pinggir-pinggir jalan, agar bisa dijual oleh pedagang kaki lima dengan harga miring. Semua orang tentu akan bahagia jika ide bisa dijual murah, tak akan ada l a g i plagiasi, k a t a m u . Dan berkata plagiasi tiba-tiba kau bersemangat lagi. Dengan seringai menakutkan yang semakin terlihat mengerikan di remang-remangnya ruangan, kau menyindir para plagiator yang pernah menjiplak tulisanmu. Aku tersenyum tak peduli. Para pelayan sudah berjejer dengan tangan bersedekap di depan salah satu meja.
Agaknya kita sudah keterlaluan menggoda mereka, aku membisikimu.

Namun kau malah tertawa keras. Biar saja. Tapi meski berkata begitu, kau bangkit juga. Meninggalkan beberapa lembar uang yang menurutku terlalu banyak. Kau membayar minumanku juga rupanya. Dengan cara pulang kita waktu itu, tak ada yang akan menyangka bahwa kita baru berjumpa. Kita saling berpelukan, menyangga satu sama lain di sepanjang jalan. Apalagi saat di tengah hari, aku mendapati tubuhku yang mungil dan putih terdekap erat oleh tubuhmu yang gagah di ranjangku. Saat itu, aku bahkan belum tahu namamu. Menurutmu apa pernikahan itu? “Sesuatu yang mengekang hubungan.” Takkah kau percaya kesakralan pernikahan? “Percaya. Tapi bukan untuk kita.” Kita sudah tidak jalan di tempat lagi. Meskipun kurang produktif, namun lukisan-lukisanku punya nama sekarang. Danapalahartiproduktifbagi seorang pelukis, bila satu lukisannya bisa terjual hingga ratusan juta. Haha. “Kau sombong.” Bukan.

Aku menertawakan diriku sendiri. Dan kau malah telah berlari dan rasanya ingin meninggalkanku sepertinya. Terus menerus mencantumkan namamu di beberapa koran Minggu, akhirnya mengantarkanmu menjadi redaktur salah satu korannya. Penulis memang kadang diukur dari keproduktivitasannya dalam menghasilkan karya. Kau sudah membuktikannya, dan yang paling aku takutkan sebentar lagi kau mungkin harus t e r – bang. Semakin meninggalkanku. Apalah arti ditinggalkan jika hanya sebatas jarak dan waktu. Namun perlahan kau seperti lupa bahwa hati kita sedang terikat cinta. Entah itu karena pengaruh jarak dan waktu tersebut atau lebih karena pengaruh mereka.
Orang-orang seperti mereka memang tidak pernah mengerti kita. Berbicara tentang kita baik di tempat yang tertutup atau terbuka.

Menghakimi cinta kita yang salah di mata mereka. Seolah cinta adalah sebuah label yang dapat disematkan kepada sepasang kekasih oleh orangorang yang melihat mereka dan menilaiapakahhubunganitubenarmenurut sudut pandang manusia saja dan sama sekali tak menggunakan hati untuk menimbang. Aku ingat pernah mendapatimu sedang berpesta di kafe kenangan kita, bersama teman-temanmu.
Aku hanya berani melihatmu saja dari seberang jalan yang remang.

Namun hatiku terbakar kala itu, yang meski kau berulang kali memintaku untuk ingat bahwa dalam hubungan kita tidak dibutuhkan rasa cemburu. Namun melihat wanita itu di pangkuanmu, hati kekasih mana yang tak hancur. Apa karena temantemanmu melihat kalian sebagai pasangan yang ideal, maka dengan mudah kau melupakan aku? Aku menyodorkan sebuah brosur wisata kepadamu, pada pertemuan kesekian kali kita di kafe itu. Kau tak mengerti dan hanya mengangkat bahu. “Aku ingin ke Belanda.” Sudah aku kira kau bisa menduganya.

Lagi-lagi kau mengalihkan pembicaraan. Berbicara tentang pajak yang mencekik sementara royalti yang tak kunjung naik. Kemudian berlanjut pada pembicaraan mengenai kongres cerpen itu lagi.
Tapi kau pasti tahu aku tak peduli dengan semua itu. Aku sudah sangat mencintaimu dan itu tidak bisa berubah lagi. Dan kalau harus berubah, aku tidak bisa membayangkan sesuatu yang lain kecuali kematian. Itu pun aku masih ragu. Kenapa harus Belanda katamu. Ini memang pilihan yang sulit.

Dengan keadaan kita sekarang, aku merasa tak punya pilihan lagi selain ke sana.
Keluargaku sudah tak peduli lagi denganku dan begitu pula sebaliknya.

Mereka telah menganggapku sampah dan sekarang telah mencoret namaku dalam garis keturunan bangsawan yang dulunya mereka banggabanggakan. Tapi kau. Terlalu banyak orang yang peduli denganmu dan aku tidak suka itu.
Cukuplah aku saja yang tahu apa makanan kesukaanmu, bagaimana sifatmu, dan apa kebiasaanmu. Kita tak butuh orang lain karena diri kita sendiri lebih dari cukup untuk menghadapi dunia. Aku masihbisamelukisdiBelanda, kaupun dapat menulis di sana.

Dan yang terpenting, kita dapat menikah di sana.
“Kita tidak bisa menikah.” Di sini memang iya. Tapi di Belanda itu sama sekali tidak berlaku. Di sana negara bebas, kita dapat melakukan apa pun di sana. Dan tak ada boleh menganggu kita.
Persetan dengan keluargamu dan teman-temanmu, toh kita lah yang menjalani kehidupan. Aku ingin suasana senja yang lain dengan kau dan kincir angin ada di cakrawala hingga aku bisa merekamnya dalam kanvas kesayanganku. “Aku sudah berubah.” Kau salah. Tidak ada yang berubah dari kita. Kau masih gagah dan tinggi persis seperti yang direkam mataku saat pertama kali kita bertemu, meskipun sekarang kau telah jarang mabuk-mabukkan. Aku benci perubahan, dalam bentuk apapun.

Perubahan senantiasa membuat sesuatu yang sudah ada menjadi hal-hal yang baru dan tak pernah aku sukai.
Dengan dalih perubahan itulah, pamanku pernah mengunciku di kamar dan menindihku semalaman. Bukankah sudah kuceritakan?

Rasa sakitnya masih ada sampai sekarang. Dan atas dasar perubahan juga sekarang dengan entengnya kau memberikukuliahmengenaipelurusanjalanyang harus kita lakukan. Bahwa jalan kita salah, semua orang tahu itu. Namun bukankah berkali-kali aku beritahukan kepadamu bahwa dunia kita bukanlah dunia yang dibentuk oleh orang lain untuk kita masuki dan lalui sesuai peraturan. Karena itu, aku sama sekali tak bisa percaya bahwa saat ini kau memberiku dalil-dalil agama dan sosial yang bertentangan dengan hubungan kita.

“Lagipula, aku mencintai wanita lain.” Itulah kebiasaan di negeri ini.

Orang-orang sangat suka memperumit masalah yang harusnya sangat sederhana dan mudah diselesaikan sekejab mata. Mengapa demi mengatakan lima kata itu kau harus menjelaskan semua kesalahan dunia dan menempatkan semuanya padaku? Mengapa kau tak membuatnya lebih sederhana? Namun aku tak bisa terlalu menyalahkanmu. Aku tahu siapa wanita itu jauh sebelum kau menyodorkan fotonya di hadapankusekarang. Diamemangterlihat cantik dan sempurna. Namun aku tak menduga kau telah berubah sedemikian jauh. Bayangan saat pertama kali kita bercinta menguap begitu saja.

Apa kau tahu saat aku bercinta denganmu lah saat dimana rasa sakit yang disebabkan oleh pamanku hilang sama sekali? Kau boleh berubah, namun tetap harus ada yang tak terjamah. Aku tetap mencintaimu dan ingin menikah denganmu di Belanda. Tidakkah kau lihat ada kincir angin berputar yang terpantul di bola mataku? “Aku menunggumu di Belanda.” Pesan itu aku kirimkan beberapa saat sebelum aku menaiki pesawat. Sebentar lagi aku harus mematikan ponselku. Namun meski hanya sebuah pesan yang sangat singkat, aku ragu kau akan diam saja dan tidak menyusulku. Apalagi sekarang, aku membawa jantung wanitamu turut bersamaku.

Kuro Diato: Lahir di Lamongan, 30 Maret 1990.
Penikmat anime dan anggota situs kepenulisan Kemudian.com.
Karyanya telah dimuat di sejumlah media lokal dan majalah. Salah satu cerpennya masuk dalam kumcer 4 Tahun Kemudian (IBC, 2011)

Jika ada yang sangat kuinginkan saat ini, itu adalah menikah denganmu. Ini sudah kesekian kalinya, aku pulang dengan jarum kekesalan menancap di hatiku. Sikapmu belum juga berubah ternyata, tetap tak tergoyahkan. Padahal aku selalu ingin membuat setiap pertemuan kita menjadi menyenangkan. Karena itulah aku selalu menaruh pembicaraan perihal itu di ujung perjumpaan kita. 

Cerpen: Kuro Diato 

Aku tahu, kita telah cukup berkorban untuk pertemuan ini. Aku sepenuhnya sadar bahwa kau mungkin saja telah menyelipkan pertemuan ini di antara kesibukanmu atau bahkan telahmembatalkansekianjanjimuuntukku. Kesibukanmu sebagai redaktur memang tak memberiku pilihan kecuali sebuah pertemuan singkat yang terencana dengan sangat rapi.

Pertemuan kita bagai terkungkung oleh sebuah kurung kurawal, tak boleh lebih atau kurang. Intensitas pertemuan yang kurang, kesibukan masingmasing yang begitu padat, hingga keadaan lingkungan memang kerap kurasakan akan membuat hubungan kita tidak sehat. Dan kenyataannya, hubungan kita memang tidak sehat dalam arti yang sebenarnya. Harapan agar kau melunak jika bertemu di kafe kenangan juga pupus sudah.
Tadinya aku berharap kalau setiap sudut kafe itu akan memaksamu membongkar arsip-arsip kenangan kita, lalukenangan-kenanganmanisitu akan menyergapmu dan menyeretmu dalam aroma melankolis dan romantis yang pernah kita miliki dulu. Atau paling tidak kau akan terharu sedikit saja dengan setiap pengorbanan yang aku lakukan.

Namun kenyataannya, saat berbicara pun kau tak menatap mataku. Entah tak sanggup atau memang perhatianmu lebih tercurahkan pada ponsel yang sejak tadi kau mainkan. Selaluadabunyidari sana dan kau akan segera meresponnya, entah menjawab panggilan atau mengetik sesuatu.

Malam memang semakin larut. Aku tak heran jika para pelayan mulai mengangkat kursi-kursi bundar dan menaruhnya di atas bangku. Di sisi satunya, di satu-satunya bagian ruangan yang mendapat pencahayaan paling jelas karena terbantu cahaya lampu jalanan, seorang pelayan bahkan telahmenutuptirai. Kinimembuatkafe itu semakin tenggelam dalam cahaya remang-remang yang mengantukkan.
Aku merasa suasana dalam kafe ini lebih suram daripada di luar. Seorang pelayan mendekatiku. Tanpa mengucapkan permisi atau ucapan lain yang menunjukkan permintaan izin, dia mengangkat kursi di sebelahku. Akubenar-benartahuapamaksudnya. Entah apa dia dan para pelayan yang lain merasa bahwa itu adalah cara yang paling halus untuk mengusir seorang pengunjung yang tak tahu diri dan minum sampai dini hari. Tapi meskipun aku merasa tak nyaman, ternyata aku sangat tak peduli.

Menjadi pelukis itu menjemukan. Ide-ide yang bertumpuk dan bercampur aduk dan mulanya aku rasa akan membuatku menjadi pelukis produktif dan hebat karena banyaknya ide-de yang aku punya tersebut ternyata hanya khayalan dari seorang pelukis pemula.

Ide-ide itu, berapapun banyaknya, saat aku melukis hanya akan menjelma menjadi satu lukisan saja. Seolah setiap lukisan adalah pemeras ide, penyedot imajinasi yang bekerja seperti pompa air. Saat air telah tuntas dihisap keluar, yang tersisa hanya lumpur. Dan akulah lumpur itu, otakku lumpur, mimpi-mimpiku juga lumpur. Di pojok ruangan, di tempat paling gelap di kafe, seseorang minum dengan terantuk-antuk. Kelihatannya dia mabuk berat.
Aku mendekatinya. Siapa kiranya orang yang senasib denganku malam ini? Jika aku sekarang sedang ditinggalkan ide, siapa yang telah meninggalkannya? Dan itulah dirimu. Kau menyapaku bahkan sebelum aku duduk. Ternyata kau belum benar-benar mabuk.

Sebotol minuman yang masih setengah dan segelaspenuhyanghanyakau main-mainkan saja, kau putar-putar untuk menghabiskan waktu katamu. Kau sebenarnya tak suka minum, kau hanya ingin mencari sesuatu dengan minuman-minuman ini. Ide. Tak aku kira kau juga mengatakannya. Begitu pentingkah ide hingga tampaknya semua orang mencarinya? Ini sudah lebih dari satu dekade masa reformasi, dan kata reformasi di mana-mana hampir selalu diikuti dengan kata globalisasi. Globalisasi, kalau begitu apa belum saatnya ada orang yang berjualan ide?

Di pasarpasar mungkin, bercampur dengan penjual yang meneriakkan harga yang melambung, atau di pinggir-pinggir jalan, agar bisa dijual oleh pedagang kaki lima dengan harga miring. Semua orang tentu akan bahagia jika ide bisa dijual murah, tak akan ada l a g i plagiasi, k a t a m u . Dan berkata plagiasi tiba-tiba kau bersemangat lagi. Dengan seringai menakutkan yang semakin terlihat mengerikan di remang-remangnya ruangan, kau menyindir para plagiator yang pernah menjiplak tulisanmu. Aku tersenyum tak peduli. Para pelayan sudah berjejer dengan tangan bersedekap di depan salah satu meja.
Agaknya kita sudah keterlaluan menggoda mereka, aku membisikimu.

Namun kau malah tertawa keras. Biar saja. Tapi meski berkata begitu, kau bangkit juga. Meninggalkan beberapa lembar uang yang menurutku terlalu banyak. Kau membayar minumanku juga rupanya. Dengan cara pulang kita waktu itu, tak ada yang akan menyangka bahwa kita baru berjumpa. Kita saling berpelukan, menyangga satu sama lain di sepanjang jalan. Apalagi saat di tengah hari, aku mendapati tubuhku yang mungil dan putih terdekap erat oleh tubuhmu yang gagah di ranjangku. Saat itu, aku bahkan belum tahu namamu. Menurutmu apa pernikahan itu? “Sesuatu yang mengekang hubungan.” Takkah kau percaya kesakralan pernikahan? “Percaya. Tapi bukan untuk kita.” Kita sudah tidak jalan di tempat lagi. Meskipun kurang produktif, namun lukisan-lukisanku punya nama sekarang. Danapalahartiproduktifbagi seorang pelukis, bila satu lukisannya bisa terjual hingga ratusan juta. Haha. “Kau sombong.” Bukan.

Aku menertawakan diriku sendiri. Dan kau malah telah berlari dan rasanya ingin meninggalkanku sepertinya. Terus menerus mencantumkan namamu di beberapa koran Minggu, akhirnya mengantarkanmu menjadi redaktur salah satu korannya. Penulis memang kadang diukur dari keproduktivitasannya dalam menghasilkan karya. Kau sudah membuktikannya, dan yang paling aku takutkan sebentar lagi kau mungkin harus t e r – bang. Semakin meninggalkanku. Apalah arti ditinggalkan jika hanya sebatas jarak dan waktu. Namun perlahan kau seperti lupa bahwa hati kita sedang terikat cinta. Entah itu karena pengaruh jarak dan waktu tersebut atau lebih karena pengaruh mereka.
Orang-orang seperti mereka memang tidak pernah mengerti kita. Berbicara tentang kita baik di tempat yang tertutup atau terbuka.

Menghakimi cinta kita yang salah di mata mereka. Seolah cinta adalah sebuah label yang dapat disematkan kepada sepasang kekasih oleh orangorang yang melihat mereka dan menilaiapakahhubunganitubenarmenurut sudut pandang manusia saja dan sama sekali tak menggunakan hati untuk menimbang. Aku ingat pernah mendapatimu sedang berpesta di kafe kenangan kita, bersama teman-temanmu.
Aku hanya berani melihatmu saja dari seberang jalan yang remang.

Namun hatiku terbakar kala itu, yang meski kau berulang kali memintaku untuk ingat bahwa dalam hubungan kita tidak dibutuhkan rasa cemburu. Namun melihat wanita itu di pangkuanmu, hati kekasih mana yang tak hancur. Apa karena temantemanmu melihat kalian sebagai pasangan yang ideal, maka dengan mudah kau melupakan aku? Aku menyodorkan sebuah brosur wisata kepadamu, pada pertemuan kesekian kali kita di kafe itu. Kau tak mengerti dan hanya mengangkat bahu. “Aku ingin ke Belanda.” Sudah aku kira kau bisa menduganya.

Lagi-lagi kau mengalihkan pembicaraan. Berbicara tentang pajak yang mencekik sementara royalti yang tak kunjung naik. Kemudian berlanjut pada pembicaraan mengenai kongres cerpen itu lagi.
Tapi kau pasti tahu aku tak peduli dengan semua itu. Aku sudah sangat mencintaimu dan itu tidak bisa berubah lagi. Dan kalau harus berubah, aku tidak bisa membayangkan sesuatu yang lain kecuali kematian. Itu pun aku masih ragu. Kenapa harus Belanda katamu. Ini memang pilihan yang sulit.

Dengan keadaan kita sekarang, aku merasa tak punya pilihan lagi selain ke sana.
Keluargaku sudah tak peduli lagi denganku dan begitu pula sebaliknya.

Mereka telah menganggapku sampah dan sekarang telah mencoret namaku dalam garis keturunan bangsawan yang dulunya mereka banggabanggakan. Tapi kau. Terlalu banyak orang yang peduli denganmu dan aku tidak suka itu.
Cukuplah aku saja yang tahu apa makanan kesukaanmu, bagaimana sifatmu, dan apa kebiasaanmu. Kita tak butuh orang lain karena diri kita sendiri lebih dari cukup untuk menghadapi dunia. Aku masihbisamelukisdiBelanda, kaupun dapat menulis di sana.

Dan yang terpenting, kita dapat menikah di sana.
“Kita tidak bisa menikah.” Di sini memang iya. Tapi di Belanda itu sama sekali tidak berlaku. Di sana negara bebas, kita dapat melakukan apa pun di sana. Dan tak ada boleh menganggu kita.
Persetan dengan keluargamu dan teman-temanmu, toh kita lah yang menjalani kehidupan. Aku ingin suasana senja yang lain dengan kau dan kincir angin ada di cakrawala hingga aku bisa merekamnya dalam kanvas kesayanganku. “Aku sudah berubah.” Kau salah. Tidak ada yang berubah dari kita. Kau masih gagah dan tinggi persis seperti yang direkam mataku saat pertama kali kita bertemu, meskipun sekarang kau telah jarang mabuk-mabukkan. Aku benci perubahan, dalam bentuk apapun.

Perubahan senantiasa membuat sesuatu yang sudah ada menjadi hal-hal yang baru dan tak pernah aku sukai.
Dengan dalih perubahan itulah, pamanku pernah mengunciku di kamar dan menindihku semalaman. Bukankah sudah kuceritakan?

Rasa sakitnya masih ada sampai sekarang. Dan atas dasar perubahan juga sekarang dengan entengnya kau memberikukuliahmengenaipelurusanjalanyang harus kita lakukan. Bahwa jalan kita salah, semua orang tahu itu. Namun bukankah berkali-kali aku beritahukan kepadamu bahwa dunia kita bukanlah dunia yang dibentuk oleh orang lain untuk kita masuki dan lalui sesuai peraturan. Karena itu, aku sama sekali tak bisa percaya bahwa saat ini kau memberiku dalil-dalil agama dan sosial yang bertentangan dengan hubungan kita.

“Lagipula, aku mencintai wanita lain.” Itulah kebiasaan di negeri ini.

Orang-orang sangat suka memperumit masalah yang harusnya sangat sederhana dan mudah diselesaikan sekejab mata. Mengapa demi mengatakan lima kata itu kau harus menjelaskan semua kesalahan dunia dan menempatkan semuanya padaku? Mengapa kau tak membuatnya lebih sederhana? Namun aku tak bisa terlalu menyalahkanmu. Aku tahu siapa wanita itu jauh sebelum kau menyodorkan fotonya di hadapankusekarang. Diamemangterlihat cantik dan sempurna. Namun aku tak menduga kau telah berubah sedemikian jauh. Bayangan saat pertama kali kita bercinta menguap begitu saja.

Apa kau tahu saat aku bercinta denganmu lah saat dimana rasa sakit yang disebabkan oleh pamanku hilang sama sekali? Kau boleh berubah, namun tetap harus ada yang tak terjamah. Aku tetap mencintaimu dan ingin menikah denganmu di Belanda. Tidakkah kau lihat ada kincir angin berputar yang terpantul di bola mataku? “Aku menunggumu di Belanda.” Pesan itu aku kirimkan beberapa saat sebelum aku menaiki pesawat. Sebentar lagi aku harus mematikan ponselku. Namun meski hanya sebuah pesan yang sangat singkat, aku ragu kau akan diam saja dan tidak menyusulku. Apalagi sekarang, aku membawa jantung wanitamu turut bersamaku.

Kuro Diato: Lahir di Lamongan, 30 Maret 1990.
Penikmat anime dan anggota situs kepenulisan Kemudian.com.
Karyanya telah dimuat di sejumlah media lokal dan majalah. Salah satu cerpennya masuk dalam kumcer 4 Tahun Kemudian (IBC, 2011)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/