Kau adalah permaisuri baru dalam istana kayu saat usiaku genap 6 tahun. Usia yang masih terlalu belia untuk dapat menyetubuhimu dengan sempurna. Tapi aku tidak sedikitpun menggerutu saat Ibu menghadiahkan kau di hari ulang tahunku. Aku begitu bersemangat merobek-robek pakaianmu. Menelanjangimu. Lalu dengan mata birahi aku memelukmu, menciumimu, melumurimu dengan minyak kayu putih agar kau tak masuk angin.
Cerpen Ilham Wahyudi
LENGANMU yang jenjang, tubuhmu yang sintal, dan kulitmu yang halus sering membuatku berahi; rasanya aku ingin cepat-cepat besar.
Tapi aku tidak ingin lebih besar darimu! Sehingga saat jari-jariku mulai meraba tubuhmu, kau tidak perlu merasa takut atau kesakitan saat memeluk tubuhku. Tubuh yang mulai berotot dan berbau laki-laki.
Memang—sewaktu Ibu menghadiahkanmu— saat itu aku langsung saja menyetubuhimu tanpa bertanya lebih dulu dari mana asal-muasalmu.
Tetapi hal itu belumlah cukup membuatku merasa yakin bahwa kau memang belum pantas aku setubuhi.Sehingga bila malam mulai menampakkan taring gelapnya, sering aku mengendap-endap menyusup menjumpaimu dalam ruangan yang mirip kotak lemari es itu: meraba-raba lenganmu atau sekedar menciumimu sebagai ganti obat tidurku.
Maka biarlah ruangan gelap mirip kotak lemari es itu yang kini mengurungmu.
Menjagamu dari kejamnya matahari. Sinisnya hujan pagi dan runcingnyaanginmalam, sampaiaku benar-benar telah siap dan pantas menyetubuhimu. Membawamu ke hadapan teman-temanku, saudara-saudaraku, acara tahun baru, dan pesta-pesta ulang tahun yang penuh dengan orang-orang sombong.
Aku akan tetap bersabar menunggu waktu itu tiba. Kuharap kau pun demikian, sayang! Merawat kulit halusmu dari pengapnya ruangan mirip kotak lemari es itu. Menjaga tubuh sintalmu dari godaan serangga yang gatal. Sehingga persetubuhan kita yang kedua nanti tidak seincipun bergeser dari saat pertama kali aku menggagahimu dengan kasar. Ah, aku berahi membayangkan itu, sayang!
***
Dan detikm enjelma menjadi menit.
Menit menelurkan jam. Jam merangkak mendekati hari. Hari berjalan menemui minggu. Minggu berlari mengejar bulan. Dan bulan pun terbang menuju tahun-demi-tahun.
Bulu-bulu halus yang aku tidak tahu datangnya dari mana kini memenuhi kedua kakiku, bibirku, ketiakku, dan, ya…di situ.
Aku besar! Ya, kini usiaku sudah 15 tahun. Suaraku sudah pula berubah seiring perubahan pada fisikku. Tanganku pun mulai kuat meremas mimpi- mimpiku. Mimpi-mimpi yang selalu menggangu waktu-waktuku menyusuri lorong-lorong ilmu pengetahuan.
Tapi untunglah aku masih selalu memberikan mutiara kebanggaan pada bening mata Ibuku; saat dia dengan tenang berjalan ke depan kelas di antara barisan-barisan orang tua murid yang berdebar menunggu pengumuman yang melesat dari rongga mulut wali kelasku yang lebar: mewakiliku menerima penghargaan, piagam-piagam prestasi, atau sekedar berbicara tentang resep mendidikku di hadapan orang tua murid-murid.
Aku memang selalu ingin Ibu yang mengambilkannya untukku. Menjadikannya orang pertama yang menggenggam setiap kebahagian yang tumpah dari langit. Bukannya aku manja sebagai anak satu-satunya atau malu berdiri sendiri di depan kelas. Tetapi aku merasa Ibulah yang lebih pantas merasakan kebahagiaan itu lebih dulu. Sebab melalui jari-jari lembutnya aku tumbuh menjadi laki-laki yang bersumpah akan selalu mengharumkan nama keluarga.
Keluarga? Ya, walaupun hanya aku dan Ibuku yang berlindung di dalam istana kayu itu. Tapi tidak pernah sekalipun aku merasa kalau kami bukanlah sebuah keluarga. Mungkin bagi sebagian orang, sebuah keluarga haruslah lengkap dengan ayah, ibu, dan anak (barulah dapat dikatakan sebagai sebuah keluarga yang sempurna).
Tapi bagiku, tidak! Syarat-syarat seperti itu sudah tidak berlaku lagi dan sangat ketinggalan jaman.
Kuno! Sebenarnya kalau mau jujur di zaman yang mencemaskan ini sering kita jumpai orang-orang yang berprestasi dan sukses adalah orang-orang yang lahir dari keluarga-keluarga yang tidak sempurna (tanpa ayah, tanpa ibu, atau tanpa keduanya). Bahkan kalau kita lebih peka lagi melihat atau sudi meluangkan sedikit waktu untuk singgah ke panti-panti asuhan; maka percayalah kita bahwa prestasi dan kesuksesan itu juga dapat kita capai tanpa ketiadaan orang tua. Namun, begitupun, sebagai manusia pada umumnya, tentu aku juga mendambakan keutuhan tersebut.
Dan apa yang kudapati saat ini, bagiku tetaplah sebuah kesempurnaan yang sepantasnya harus aku syukuri.
***
Baru tiga hari yang lalu aku merayakan ulang tahunku yang ke 15. Tidak ada pesta di istana kayu ini. Apalagi kado yang biasanya dibungkus dengan kertas warna-warni. Namun, tidak senodapun aku kekurangan kebahagian saat gerbang keremajaan itu menghampiriku.
Tengah malam. Setelah jam tetangga kami berdentang 12 kali di telinga Ibuku. Ibu melangkah menghampiriku yang sedang pulas tertidur di lantai istana kayu. Membangunkanku; mengajakku berdoa bersama untuk masa depan kami yang lebih cemerlang benderang. Dan kau tahu, kawan? Bagiku itulah kado terindah yang pernah kudapatkan dari Ibuku—perempuan yang telah menggadaikan seluruh hidupnya pada sang maut saat menerbitkanku ke dunia yang mencemaskan ini— selain permaisuri yang dia hadiahkan padaku saat aku genap berusia ke 6 tahun.
***
“Permaisuriku!” Tiba-tiba mulutku menyebutnya.
Sudah 9 tahun dia aku kurung dalam ruangan gelap mirip kotak lemari es itu.
Apakah dia masih seperti dulu? Entahlah! Sebenarnya hampir setiap hari aku berjumpa dengannya. Namun tidak pernah aku perhatikan dia dengan serius. Hanya saja pada malam ulang tahunku yang ke 10, aku sempat berhasrat ingin menyetubuhinya.
Tapi lagi-lagi aku merasa belum pantas melakukannya. Kuurungkan niat.
Sesak dadaku.
Tadi pagi-pagi sebelum pergi ke sekolah aku menjumpainya. Sejenak kulampiaskan kerinduanku padanya.
Lengan jenjangnya kuelus-elus dari ujung ke pangkal-dari pangkal ke ujung. Malu-malu aku menciumi dadanya. Dia bergeming. Lalu dengan seluruh rasa cinta yang kumiliki; kupeluk dia dan berbisik padanya kalau aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk menuntaskan janji kami dulu. Dia masih juga bergeming.
Tapi aku percaya kalau dalam hatinya, dia begitu bergembira mendengar berita dariku.
Di sekolah sebelum masuk kelas, Ribka menghampiriku. Dia mengundangku datang ke pesta ulang tahunnya.
Ahai, betapa senangnya aku diundangnya Bagaimana tidak? Ribka adalah salah satu murid yang paling cantik, pintar, dan paling kaya di sekolah. Wajarlah kalau aku begitu bergembira saat dia mengundangku secara langsung tanpa perantara.
Walaupun dua hari yang lalu aku sudah melihat pengumuman ulang tahunnya terpampang besar di mading sekolah.
Sepulang dari sekolah aku terus saja teringat pada Ribka. Aku masih belum percaya kalau dia mengundangku secara langsung; bicara lemah lembut padaku. Seolah aku adalah salah satu calon tamu penting pada pesta ulang tahunnya. Kalau kuhitung-hitung, baru dua kali aku berbicara dengan Ribka. Pertama, saat kami satu kelompok dalam MOS (Masa Orientasi Siswa). Dan kedua, saat dia tanpa sengaja menjatuhkan buku pelajaranku sewaktu kami berpapasan di koridor sekolah. “Maaf, aku buru-buru! Buku fisikaku tertinggal di kelas.” Sambil membantu kumenyusun buku-buku yang berai di lantai, dan dia terus saja bicara. Aku diam tak menjawab. Entah karena tidak ada yang perlu kujawab atau memangaku yang tak tahu harus berbicara apa padanya.
Sejak saat itu aku jadi sering mengundangnya datang dalam tidur-tidurku.
Mengajaknya berdiskusi tentang Newton dan buah apel atau sekedar mencicipi manisnya jambu air yang gelisah di depan rumahku.
Sayang, aku hanya berani mengundangnya dalam tidur saja. Sebab setiap kali aku terbangun dari tidur, kembali kutemui wajah dunia yang mencemaskan—aku tak sampai hati mengajaknya ke istanaku. Lagi pula istana kayu ini terlampau “mewah” untuk ukuran orang sepertinya.
***
Entah kenapa, kemudian, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Padahal hari itu libur sekolah. Entah kenapa pula, sebelum mandi aku tiba-tiba saja ingin sekali menjumpai permaisuriku.
Seperti biasa sejenak kucumbui dia. Kulihat dia tampak lebih anggun.
Mungkin dia bahagia mendengar berita dariku.
Setelah puas, kubawa dia kehadapan Ibu. Memamerkannya pada Ibu setelah 9 tahun dia tidak pernah kubawa keluar dari ruangan gelap mirip kotak lemari es itu.
“Aku akan membawanya, Bu! Akan kukenalkan dia pada teman-temanku, pada Ribka!” Lantang suaraku.
Ibu bergeming. Kulihat senyuman memuai di bibirnya. Sebenarnya hampir setiap hari Ibu tersenyum padaku. Tapi hari itu Ibu tersenyum lebih lebar, lebih manis dari madu.
***
Malam jatuh tanpa bulan. Tanpa bintang. Udara dingin mencengkram tubuhku. Jalan-jalan masih dipenuhi klakson kecemasan. Tak lama lagi aku akan sampai di rumah Ribka. Aku bisa merasakan betapa bahagianya permaisuriku malam itu, karena dia akan kukenalkan pada teman-temanku.
Pada Ribka.
Dari kejauhan kudengar suara dentang musik menyala-nyala seperti sedang menarik setiap orang untuk menggoyangkan pinggul atau sekadar menggelengkan kepala. Aku mempercepat langkah, menyahuti panggilan pesta yang semakin gemeriah. Namun entah mengapa beberapa langkah sebelum tanganku menyentuh pagar rumah Ribka, tiba-tiba saja terbit keraguan dalam hatiku.
“Apakah Ribka nanti menyukaimu?” Bisikku pada permaisuriku.
Dia diam. Seolah pasrah.
Aku mondar-mandir di depan pagar rumah Ribka sambil berusaha mengumpulkan kembali seluruh keberanianku yang seketika lenyap.
Kulihat di kejauhan Rino dan Angga sedang menujuku. Sejujurnya aku takut sekali kalau mereka tahu aku sedang meragu. Untuk itu aku berusaha bersikap wajar. Berpura-pura seolah tak melihat mereka.
“Hei, kok nggak masuk?” Angga menepuk punggungku.
“Ee…e…e, aku memang sedang menunggu kalian.” Jawabku sekenanya.
“Tapi kenapa kamu keringat dingin, Zam?” Angga mendesakku.
“Tidak! Aku tidak keringat kok.” “Ya sudahlah. Ayo kita masuk!” Rino menarik lenganku.
Syukur, bisik batinku. Sepertinya mereka tahu kegelisahanku. Tapi untungnya mereka tak berniat menggodaku lebih lama. Dengan sisa gugup yang masih bersarang di dada, aku berjalan memasuki halaman rumah Ribka.
Di depan pintu, Ribka terlihat sumringah menyambut kedatangan kami. Dia terlihat anggun dan begitu memesona dengan gaun putih yang dikenakannya. Kalung yang menggantung di jenjang lehernya menambah kesan dewasa. Padahal usianya baru menyentuh remaja. Pelan kurasakan aliran darahku maju-mundur.
Hatiku seakan terbentur rasa kagum padanya. Ini kali pertama aku melihat Ribka di luar sekolah, di rumahnya.
“Bagus kemeja batik kamu, Zam.
Serasi sekali dengan celana kamu.” Ribka menyenggol kekagumanku.
“Ee…ee…, terima kasih. Kamu juga sangat cantik dengan gaun itu.” Aku membalas pujiannya.
“Ah, kamu bisa saja, Zam.” Sekarang ak upula yang salah tingkah melihat bahasa tubuhnya.
Ia mengulurkan tangan, mengajakku berjalan ke tengah pesta. Aku berjalan menunduk.
Sesekali ekor mataku mengamati sekeliling. Mata-mata sinis memandangiku dengan cibiran yang sesekali jelas terdengar ditelingaku.
“Aneh, ya, si Ribka, pakaian kuno begitu kok dibilang bagus.” Celetuk salah seorang tamu. Ternyata mereka ada yang mendengar Ribka memujiku.
Lalu yang lain pula menyambar celetukan itu, seolah tak sabar ingin menyuarakan pendapatnya. “Iya, kok bisa, ya, orang udik seperti dia hadir di pesta seperti ini. Merusak suasana saja.” Aku mengelus dada sambil terus berjalan di samping Ribka dengan pikiran yang berkecamuk dan detak jantung yang tak normal.
Rasa-rasanya aku tak sanggup melanjutkan langkah. Di tengah pikiranku yang berkecamuk, tiba-tiba saja Ribka menghentikan ayunan langkahnya yang teratur bak puteri raja itu.
Pelan wajah Ribka menyusup di antara pundak dan telingaku. Seketika aroma blueberry yang memancar dari tubuhnya pecah di lubang hidungku.
Ia berbisik, “Kamu kelihatan makin tampan kalau pakai baju batik itu, Zam. O, ya, sudah berapa kali kamu mengundangku dalam mimpimu?” Tanyanya polos.
Gila! Aku mau pingsan rasanya.
Bagaimana dia bisa tahu kalau aku hampir setiap malam memimpikannya.
Aku berkeringat. Betul-betul berkeringat, kawan! Ternyata benar apa yang dikatakan Ibu sebelum aku ke pesta Ribka.
“Nizam, kamu tampan sekali malam ini, Nak. Kamu mirip sekali dengan Ayahmu. Dulu Ayahmu juga memakai kemeja batik saat pertama kali datang ke rumah orang tua Ibu.” Ibu mengusap-usap pundakku.
Kurasakan kehangatan cintanya menyebar ke sekujur tubuhku. Cinta yang tak terukur dalamnya. Cinta yang terus mengalir seperti mata air zam-zam.
“Pasti nanti Ribka terkagum-kagum melihatmu,” sambung Ibu menggodaku.
“Jelas itu, Bu. Siapa yang tak kagum nanti dengan permaisuriku.” Jawabku bangga. Cepat kuraih tangan Ibu, menciumnya, kemudian pamit pergi.
“Nizam…Nizam…Zam!? Lho, kenapa kamu diam?” Ribka merubuhkan lamunanku pada Ibu.
“Ee…e…tidak. O, ya, kamu tidak mengajakku makan?” Aku berkelit.
Ribka tertawa kecil.
Kami pun menuju meja makan.
Medan, 2010- 2011 (*)