“Dik Sunaryono, barusan tadi saya kontak telpon Suhaili, antara lain dia bilang bhw Irfantelah meninggal pd tgl 7 April yg lalu pd usia 73 thn. Dik Sunaryono sendiri sehat-sehat saja ya Dik. Salam sejahtera unk sekeluarga di sini. Tetap saja dr ST &J.”
Aku terhenyak dari berbaringku sore itu. Innalilahi wa Inailaihi rojiun, bisikku. Jadi Mas Irfan telah meninggal dunia. Ini berita tentang seseorang yang tinggal di Banyuwangi, datangnya melalui SMS dari Jerman. Walau aku tahu SMS ke Jerman lebih mahal tarifnya dari tarif SMS di dalam negeri, aku jawab pula SMS itu dengan “Innalilahi”. SMS datang dari Sas Soeprijadi Tomodihardjo yang dulu sering menelepon dari Jerman.
Cerpen Sunaryono Basuki Ks
Hanya dua orang yang pernah meneleponku dari luar negeri, yang seorang lagi adalah Made Widana dari Paris. Bekas mahasiswaku itu sekarang sudah kaya-raya, dan selalu bercerita mengenai sukses bisnisnya. Celakanya, kalau dia menelepon bisa setengah jam lebih, padahal aku lekas merasa capek bila harus duduk menerima telpon selama itu. Kata Widana, dia membeli kartu telepon delapan puluh Euro. Entah berapa rupiahnya dan walaupun andaikata di Indonesia ada kartu “murah” semacam itu, aku takkan mampu membelinya apalagi aku tidak punya telepon yang bisa aku hubungi. Walau Widana dan Pak Soeprijadi menelpon, aku tidak tahu berapa nomor telpon rumahnya. Tetapi sayangnya, setiap saat Widana menelepon bukan menanyakan keadaanku tetapi malah menyarankan aku berbisnis buku lewat internet.
“Bisnis konvensional sudah ketinggalan jaman.”
Tetapi dia tidak mau tahu bahwa ongkos kirim buku per pos sangat mahal di Indonesia, bisa-bisa harga per-eks buku lebih mahal dari harga di toko buku. Padahal kalau aku harus menjual buku-bukuku, aku harus membeli lebih dulu dari penerbit, dan hal itu perlu modal besar.
Jadi aku sudah tua. Aku tidak tahu kalau Irfan ternyata lebih tua dariku. Usiaku hampir tujuh puluh tahun, dan Irfan ternyata sudah berusia tujuh puluh tiga tahun. Kami bertiga teman akrab: Hermanadi, Irfan dan diriku. Kebetulan Hermanadi tinggal di Jalan Kaliurang Barat di rumah pakdenya, dan aku di Jalan Lebaksari yang hanya selangkah dari Kaliurang. Sedangkan Irfan mondok di Jalan Nongkojajar Gang III. Jalan Nongkojajar merupakan cabang dari Jalan Lebaksari. Karena pondokannya paling dekat dengan rumahku, maka aku pun paling sering berkunjung ke pondokannya.
Pondokannya terletak di ujung gang dengan sebatang pohon besar, kalau tidak salah pohon mangga. Dan bila malam tiba, pohon mangga itu berbuah ayam. Ayam-ayam peliharaan induk semang Irfan tidak dikandangkan tetapi secara “tahu diri” menempatkan dirinya di cabang-cabang pohon mangga itu.
“Banyak ayamnya, Fan?” pernah aku tanya.
“Wah. Ibu saja tidak tahu.”
Yang membuatku dekat dengan Irfan mungkin kegemarannya menulis puisi. Aku juga dan aku berhasil mengajaknya mengirim puisi ke ruang remaja Majalah Trio. Pengasuhnya mula-mula Mbak Surtiningsih WT, istri Pak Sukanto SA sastrawan terkenal. Namun kemudian ruang itu diasuh oleh seorang mahasiswi Fakultas Sastra UI yang bernama Edi Sedyawati. Kak Edi panggilannya.1
Dan beberapa sajaknya dimuat juga di ruang remaja itu. Aku sendiri menulis cerita pendek, yang kuingat berjudul “Jambangan Bunga Anyelir” dan juga menulis komentar pendek mengenai tukang catut karcis bioskop di Malang. Mungkin karena sama-sama menyukai dunia karang-mengarang kami akrab, lebih akrab dibanding dengan Hermanadi. Tetapi kelebihan Hermanadi, dia pemain bulutangkis yang hebat. Ini mungkin gara-gara rumah pak de-nya berhalaman luas dan tiap sore dia bisa berlatih bulutangkis bersama para sepupunya.
Tetapi kami bertiga pernah terlibat di dalam satu peristiwa sastra. Pada suatu hari libur kami bertiga melancong ke Surabaya, menginap di rumah kakak Irfan di Jalan Raya Gubeng. Bukan rumah sebenarnya, tetapi sebuah garase yang diubah menjadi tempat tinggal. Rumah kecil itu terletak di bagian belakang sebuah rumah besar yang penghuninya bermacam-macam.
“Di depan situ tinggal Pak Soeprijadi,” kata kakak Irfan.
“Oh, sastrawan terkenal itu. Saya tahu namanya,” kataku.
“Ayo ke sana saja berkenalan,” katanya.
“Malu, Mas.”
Aku kenal dengan Pak Soeprijadi melalui surat saja. Dia menjadi redaktur ruang budaya sebuah koran dan aku mengirim sajak ke ruang itu dan dimuat. Beberapa yang dimuat, walau aku menggunakan nama samaran yang kemudian ditandai oleh Dr Uriel Kratz di dalam buku bibliografi sastra yang diterbitkan oleh UGM Press. Kebetulan waktu buku itu sedang disusun, aku berkunjung ke kantor Pak Kratz di School of Oriental and African Studies, di London. Dengan menyodorkan calon buku yang tebal sampai dua jilid, Pak Kratz bertanya: “Apa Bapak menggunakan nama lain?”
Lalu aku menuliskan nama-nama samaranku di atas kertas yang disodorkan padaku dan kemudian Pak Kratz mencari di konsep bukunya dan langsung menandainya. Karena itu dalam bukunya nanti, di mana namaku muncul diberi tanda: “lihat nama ini”.
Di Surabaya aku tetap tak berani bertemu Pak Soeprijadi, namun aku berkunjung ke rumah Pak Lutfie Rachman, seniman serba bisa. Dia penyair, pelukis, dan redaktur sastra, dan bahkan kelak menjadi pemain sandiwara tv. Ternyata di rumahnya di sebuah gang, dia sedang sakit namun sangat senang akan kunjungan kami.
“Bisa minta tolong, ya?” pintanya.
“Apa, Pak?”
“Siaran di RRI.”
“Lho kan biasanya Bapak yang siaran?”
“Saya sakit begini, kepala cekot-cekot. Nanti saya kasih surat pengantar dan ini naskahnya. Pelajari dulu. Datang ke studio setengah jam sebelumnya.”
Lelaki itu dalam posisi duduk di atas tikar menyodorkan ketikan sejumlah sajak, lengkap dengan komentar kritisnya. Komentar itu tentu telah disiapkan oleh Pak Lutfie.
“Nanti Dik Bas jadi pembawa acara dan pembaca kritik, sedangkan adik membaca puisi.”
Kulihat Hermanadi senyum-senyum. Seumur-umur dia tidak pernah berhubungan dengan puisi dan malam itu dia harus berdeklamasi di radio, tidak tanggung-tanggung: di RRI Surabaya. Pendengarnya bukan saja penduduk Surabaya sebab jangkauan siarannya sangat luas.
Siang itu di tempat tinggal kakak Irfan kami tidak tidur tetapi berlatih menjadi pembaca puisi dan aku menjadi pembaca acara. Aku mengisap rokok Bantoel biru yang baru saja kubeli di Malang. Aku bukan perokok, tetapi ingin merasakan sendiri apa enaknya merokok. Irfan dan Hermanadi ikut-ikutan menghisap rokok. Malam itu kami serasa menjadi bintang. Entah siapa di antara teman-teman kami yang mendengar siaran itu. Pasti mereka gempar.
Celakanya, sesaat sebelum sajak habis dibacakan, teryata masih ada sisa sepuluh menit. Aku pada akhir acara menambahkan sajakku sendiri (sajakku memang sering disiarkan dalam siaran ini oleh Pak Lutfie. Tentu saja operator yang memegang naskah bingung. Lagu penutup sudah disiapkan hendak diputar tetapi masih ada suara pembawa acara. Begitu kami keluar dari studio, kami disambut dampratan. Kami hanya diam saja karena merasa bersalah namun di dalam hati bangga sebab sudah berhasil mengudara lewat RRI Surabaya. Saat melintas di jembatan di atas Kali Mas, aku menghisap rokokku dalam-dalam. Tak tanggung-tangung, rokok cap Bentoel yang selalu dikejar pecandu rokok. Mulutku hanya mampu merasakan pahit. Tidak ada secuil kenikmatan pun. Lalu, rokok yang masih menyala itu aku lempar ke sungai. Bungkus rokok yang masih berisi juga kulempar.
“Selamat tinggal rokok!” dengan gaya seorang deklamator. Dan semenjak saat itu aku tidak lagi merokok. Kalau temanku menawariku rokok, aku hanya mengambil kotaknya dan mencium baunya. Cukup begitu.
Sejak kami berpisah, aku menempuh kuliah di Jakarta, kami tak pernah bersurat. Aku benar-benar kehilangan jejak Irfan. Apakah dia pulang kampung atau masih tinggal di Malang dan mungkin menempuh kuliah, aku tak tahu. Sampai aku sudah menjadi sarjana dan bekerja di Bali. Pada suatu hari bus siang yang kutumpangi dari Surabaya-Singaraja berhenti mengisi bensin di sebuah pompa bensin sebelum bus masuk ke terminal feri Ketapang. Aku kebetulan duduk di dekat pintu depan kiri. Kulihat lelaki yang melayani mengisi bensin mirip Irfan. Aku tidak yakin itu dia, dan aku juga tidak turun menanyainya apa dia Irfan. Peristiwa tersebut berlalu dan sejak itu dengan dibukanya trayek bus malam Jayakatwang aku tidak lagi tahu di mana bus berhenti mengisi bensin. Rasanya di pompa bensin yang jauh sebelum bus masuk ke wilayah Banyuwangi.
Lalu aku bisa berhubungan dengan mas Soeprijadi yang alamat e-mail-nya kuminta dari redaktur sebuah koran yang memuat cerpennya. Dari alamat e-mail itu dia mendapatkan nomor telpon rumahku. Dan dari hubungannya dengan Suhaili Cordiaz, kakak Irfan, akupun mendapatkan nomor telpon Irfan di Banyuwangi. Ketika kutelpon dia, kudengar suara kegembiraan yang luar biasa karena bertemu dengan teman lama. Aku juga bertanya apakah dia pernah bekerja di pompa bensin dekat terminal feri Ketapang. Ternyata memang demikian. Aku merasa sangat menyesal kenapa saat itu aku tidak turun dari bus dan menyapanya. Kalau begitu, pasti kami bisa bertemu lebih lama, apalagi ketika aku sering pulang ke Malang membawa mobil sendiri, pasti aku bisa menengoknya di Banyuwangi. Konon, dia juga menjadi mubaligh.
Sekarang, kami sudah benar-benr berpisah dan aku hanya mampu mendoakan agar arwahnya diterima di tempat sebaik-baiknya di sisi Allah. Amin.***
Singaraja, 25 Mei 2011
(Kado ulang tahun ke-68 untuk istriku: I Gusti Ayu Made Darika, tepat pada 5 Juni 2011)