25.6 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Mencongkel Wajah

Wajah itu datang padaku. Rupa karut marut yang ingin aku congkel. Tampang berkerut yang ingin aku ukir dengan belati. Jangan sebut aku keji, karena wajah congkelan itu adalah wajah orang bodoh yang merasa dirinya pintar.

Cerpen  Tova Zen

P roteus itu datang bermuka ular.       Mendesis. Menggeliat. Siap me   matukku dengan suntikan bisa. Lidahnya beracun. Racun otak yang selalu mempengaruiku dengan penuh kelicikan. Aku tahu! Otaknya bodoh luar biasa, tapi lidahnya yang mendesis itu selalu bisa meracuni pikiran warga. O, tidak denganku! Aku punya penawar bisa dan otakku tak pernah aku biarkan terbius oleh lidah beracunnya.

Pada persimpangan jalan inilah aku berniat menghadangnya. Belati setajam silet siap membeset wajah itu. Hatiku bergemuruh sebelum melakukan pencongkelan wajah. Belum! Aku belum mencongkel wajah itu. Aku masih saja merasa takut. Niat pencongkelan ini selalu aku kipas-kipas di atas bara hatiku yang memanas dengan asap putih ketakutan, membumbung di dalam jiwaku.

Akhirnya dia datang dengan menunggang kuda sembrani. Aku hafal betul dengan rute perjalanan saat dia pulang. Selalu! Dia selalu pulang berkuda melewati jalan persimpangan ini.  “Proteus! Aku akan mencongkel wajahmu malam ini”. Bisikku lirih dalam redup sinar rembulan.

Deru kaki kuda kian membahana. Aku pun terkesiap. Aku genggam gagang belati erat. Kakiku berpijak di pinggir jalan di balik pohon akasia dalam posisi kuda-kuda yang kokoh, dan dengan satu hentakan siap meloncat menghadangnya.  Aku melesat. Kuda mengikik lantang, serta-merta memecah hening. Aku bisa melihat wajah ularnya yang lugu. Kapan saja bisa mematukku, lalu membiuskan racun bisanya.
“Apa yang sedang kau lakukan malam-malam begini, Joyosuro?. Menghadangku sambil mengacungkan belati”.
“Aku ingin mencongkel wajah bodohmu”.
“Kenapa kau ingin mencongkel wajahku?”. Wajahnya berkerut. Alisnya bertaut. Beragam tanya bergelayut di benaknya.

“Kau seorang pemimpin yang bodoh. Harusnya kau tahu kebodohanmu”.

“Maksudmu aku pemimpin yang bodoh dan tak menyadari kebodohanku?”. Mulutnya mendesis.
“Ya! Kau Proteus yang selalu bisa merubah bentuk wajahmu. Dalam kampanye ini pun kau merubah wajahmu menjadi ular berbisa. Geliat prilakumu selalu menjaga jarak untuk meracuni otak warga dengan bisa beracun yang kau semburkan dalam setiap orasimu”.

“Aku mencoba menawarkan kesejahteraan bagi warga desa ini’.

“Kau bodoh! Dan aku tak ingin orang bodoh memimpin desa ini!” Hardikku keras.
“Mengapa kau mengatakan aku bodoh? Di mana letak kebodohanku?”. Dia gemetar sambil memegang tali kekang kuda sembraninya.

“Lihat! Kau menunggang kuda, dan itulah kebodohanmu”.

“Kuda? Hanya karena aku menunggang kuda kau mengatakan aku bodoh. Di mana letak kebodohanku?”.
Aku tercenung. Aku bisa merasakan dia mulai menyemburkan pengaruhnya padaku. “Apa kau tak melihat para pejabat di desa sebelah yang berangkat dinas dengan menunggangi mobil keluaran terbaru. Motor teranyar ditunggangi para pegawai sipilnya. Eh, kau malah naik kuda. Apa kau ingin mencontohkan nilai udik pada warga? Atau kau ingin menarik simpati hati warga dengan kesederhanaan  macam koboi dusun”.

Dia terkekeh. Lagi-lagi aku terpanggang oleh letupan emosi yang terus bergemuruh.   “Joyo! Joyo!. Pikiranmu itulah yang kolot. Kaulah yang bodoh, Joyo. Aku tahu kau pun ingin ikut pemilihan kepala desa, tapi tak satu pun partai, sesepuh desa, dan warga mendukungmu. Orang bodoh yang merasa dirinya pintar itu adalah kau.  Kau sering kali keras kepala dengan kebodohanmu. Bahkan orang pintar kau nilai bodoh, karena kebodohannya tak memberikan kepintaran bagi orang lain”.

“Jangan pengarui aku ular beracun!”.

“Aku tak mempengaruimu. Aku malas berdebat denganmu yang merasa dirimu itu pintar. Untung saja kau menjadi orang biasa, karena efeknya cuma membuat jengkel. Bahkan aku merasa kasihan padamu. Kau tak mau menerima kritik. Parahnya lagi, jika tabiatmu dikritik oleh kritikus pintar pun kau tetap menilai kritikusnya yang bodoh”.
Sial! Kenapa justru aku yang di bodoh-bodohkan oleh koboi ular ini.

“Diam kau orang bermuka ular! Kau yang bodoh. Lihat! Di zaman modern seperti sekarang ini kau masih saja menunggang kuda. Harusnya kau mencontohkan kemoderenan. Buat jalan beraspal, beri warga penerangan listrik, dan canangkan sistem pemerintahan yang berbasis pembangunan”.

“Itu pasti aku lakukan, Joyo!. Asal kau tahu saja, aku hanya ingin menunjukkan kesederhanaan pada warga dengan berpenampilan sederhana seperti ini. Tentu saja aku ingin merebut simpati warga dengan meleburkan diriku dalam komunitas mereka. Kalau aku terpilih menjadi kepala desa, maka aku akan terus merangkak naik untuk merebut kursi camat, lalu bupati. Kuda ini akan aku sembelih dan dagingnya aku akan bagikan ke warga untuk perayaan kemenanganku. Aku akan naik mobil seperti aparatur desa sebelah. Seperti di televisi, aku akan terkenal dengan kebaikanku dalam bersedekah. Warga akan mengemis sambil membawa kupon guna mendapatkan sekantong daging kuda di halaman rumahku”.

“Sebelum itu terjadi, aku akan mencongkel wajah bodohmu”.
“Kuda sembrani ini akan menginjak-injak tubuhmu sebelum kau berhasil mencongkel wajahku”.
Aku terkesiap. Belati dalam genggamanku aku acungkan padanya. Dia dengan cekatan menarik tali kekang kuda. Kuda sembrani itu melesat ke angkasa malam. Berputar sambil melintasi bayangan rembulan. Lalu secepat busur, kuda sembrani itu menukik ke arahku. Aku pun melompat sambil menyambar sayap kuda sembrani. Aku berhasil memotong salah satu sayapnya dan kuda sembrani terbang itu oleng. Ambruk tersuruk di jalan berdebu. Segera aku melesat menghampiri calon pemimpin berwajah ular. Aku congkel wajahnya. Aku tinggalkan dia dengan menggeliat sambil menutupi wajahnya yang tak lagi berwajah ular berbisa.

Aku pulang sambil membawa congkelan wajah calon kepala desa yang bersaing merebut kursi.
“Mas! Apa yang kau bawa malam ini?”, pekik istriku saat aku membuka buntalan sarung berisi congkelan wajah.
“Ini wajah Proteus bermuka ular, diajeng. Wajah ini amat berbahaya jika mendapatkan kekuasaan. Wajah ini siap menyembur dengan omong kosongnya saat berkampanye, lalu meracuni otak warga dengan janji-janji palsu yang melumpuhkan”.

“Mas Joyo. Mas Joyo! Sampai kapan kau mencongkeli wajah para kandidat pemimpin desa ini?”.
“Sampai aku melihat wajah orang pintar yang tak menyadari kepintarannya”.
“Apakah selama ini kau belum menemukan wajah itu? Lalu, wajah siapa saja yang ada dalam toples bening yang kau simpan di kamar kita, mas?”.

Aku terdiam. Aku bergerak memasukkan wajah ular yang baru aku congkel ke dalam toples bening. Aku bergerak ke kamar dan istriku mengekor di belakangku. Aku letakkan wajah congkelan baru itu berdampingan dengan dua toples yang berisi wajah congkelan yang lain. Dengan tersenyum aku memandangi ketiga toples berisi wajah congkelan calon pemimpin. Wajah dalam toples-toples itu saling berdebat. Saling mencerca. Saling merayu. Dan terlihat begitu sengit mengobral janji-janji. Seperti di acara televisi.
“Aku belum menemukan wajah itu, diajeng. Aku hanya mencongkel wajah kebusukan untuk memeriahkan koleksiku. Aku senang memajangnya di kamar. Saat kita menutup kelambu sambil bercinta, aku masih bisa mendengar perdebatan mereka”.
“Kau nakal sekali, mas”.

“Wajah itu lebih nakal, diajeng. Aku yakin wajah-wajah dalam toples itu mencoba mengintip percintaan kita, lalu mempergunjingkannya. Seperti di televisi yang baru-baru ini marak. Tapi aku bukan artis”.
“Aku tak ingin ditonton wajah dalam toples itu, mas”.
“Ya, kita harus menutup rapat kelambu”.

“Masukkan saja ketiga toples berisi wajah congkelan itu ke dalam lemari”.
“Baiklah, diajeng”.   Istriku tersipu. Entahlah, malam ini istriku terlihat genit. Apa karena aku membawa wajah congkelan yang baru untuknya? Aku tak tahu. Aku memasukkan ketiga toples berisi wajah congkelan ke dalam lemari. Segera aku menutup kelambu.

“Mas! Wajah-wajah itu terdengar gaduh di dalam lemari”. Bisik istriku lirih di telingaku.
“Sudahlah, diajeng. Biarkan mereka bergosip tentang kerakusan, kebodohan dan politik”.
“Kalau mereka menggunjingkan percintaan kita bagaimana?”.
“Tak akan aku biarkan itu terjadi”.
“Mas Joyo”.

“Ya, diajeng”.
“Ceritakan tentang dua wajah yang kau congkel beberapa minggu lalu”.
“Yang mana?”.

“Yang berwajah cicak dan buaya”.
“Kenapa kau suka cerita tentang mereka?”.
“Ya, aku selalu mendengar mereka bertengkar. Si cicak terus berseteru dengan buaya. Aku jadi takut kalu wajah buaya lepas lalu menggigit si cicak”.

Aku terkekeh mendengar komentar istriku.
“Kenapa mas Joyo tertawa?”.
“Tidak, diajeng! Biarlah mereka berseteru di dalam toples dan tak mungkin bisa keluar. Apa kau ingin tahu kenapa aku mencongkel wajah-wajah mereka?”

“Ya, aku ingin tahu alasannya mas. Sebelum itu, aku ingin tahu tentang wajah ular yang kau congkel barusan. Kenapa tak kau congkel wajah kadal. Sekarang banyak pejabat yang berwajah kadal, yang selalu mengadali warga”.
“Aku belum menemukannya. Kebetulan aku hanya mencongkel ketiga wajah itu saja”.
“Ceritakan alasannya”.

“Aku melihat ada sosok pemimpin yang pintar dan dia sadar betul dengan kepintarannya. Wajah inilah yang sangat otoriter dalam kekuasaan”.

“Yang mana, mas? Cicak atau buaya?”.
“Aku lupa yang mana, yang jelas salah satu dari mereka”.
“Bagaimana watak pemimpin yang sadar dirinya pintar?”.
“Orang yang pintar akan cenderung mengumpulkan orang-orang sejenisnya dalam kelompoknya. Kalau orang ini jadi pengajar, maka wataknya kan terlihat killer. Wajah pintarnya akan sangat berbahaya. Peringainya licik dan jika memegang kekuasaan cenderung sulit digoyahkan. Dengan kesadaran yang tinggi bahwa dirinya pintar, maka dia akan bersifat otoriter”.

“Bukankah kita memerlukan sosok pemimpin yang pintar, mas?”.
“Betul, tapi orang yang pintar macam ini mudah tergoda kekuasaan dan cenderung menindas bagi kaum yang dianggapnya tak sehaluan dengannya”.

“Bagaimana kau mencongkel wajah orang pintar itu?”.
“Aku mencongkelnya dengan menutup telinga. Aku datangi rumahnya. Secara diam-diam aku mencongkel wajahnya saat dia tertidur”.

“O, sungguh mengerikan tindakanmu. Kenapa harus menutup telinga dan mencongkelnya saat dia tertidur?”.
“Aku takut terpengaruh oleh ucapannya, makanya aku menutup telinga. Meskipun demikian aku masih saja takut walaupun aku tak mendengar kata-katanya. Dia pintar sekali, hanya dengan sorot matanya yang penuh iba saja, warga bisa terpengaruh. Bahkan hanya dengan rangkulan tangannya, orang bisa dipintarinya. Lalu dia menjerumuskan dengan kepintarannya itu. Jadi aku memilih mencongkelnya saat ia terlelap dalam tidur”.
“Ya, aku bisa melihat dari ketiga wajah dalam toples itu yang paling pintar. Benar! Dia licik sekali”.
Aku membisikkan kata-kata lembut ke telinga istriku.

“Diajeng, di antara congkelan wajah itu ada wajah orang bodoh yang menyadari dirinya memang bodoh”.
“Aku tak tahu pasti yang mana dari ketiga congkelan wajah itu, mana wajah orang bodoh yang menyadari dirinya memang bodoh”.

”Kau bisa mengetahuinya dari perdebatan mereka yang gaduh di dalam lemari”.
“Besok aku ingin melihatnya, dan menebak mana wajah itu. Aku yakin wajah bodoh itu terlihat murung, karena selalu menjadi korban penipuan oleh orang bodoh yang mengaku dirinya pintar dan orang pintar yang menyadari dirinya pintar. Aku bisa menebaknya dari beningnya toples besok”.
“Maksudmu?”.

“Ya, si bodoh memiliki  wadah yang cenderung bersih, karena dia jarang bicara, selalu pasif, pendiam, dan kerjanya hanya menurut saja. Dua toples yang lain pasti basah oleh air liur mereka, kerena mereka terlalu banyak bicara. Menyemprot sana. Menyemprot sini. Membodohi orang bodoh dan memintari orang pintar”.
“Ha..ha…! Kau pintar sekali, diajeng. Memang demikian tabiat mereka saat berdebat, berorasi, dan saling menyombongkan diri”.

“Mas, aku ngantuk”.
“Tidur lah, diajeng”.
“Mereka gaduh sekali di dalam lemari. Mengganggu lelap tidurku”.

“Tenangkan hatimu. Jangan dengarkan mereka yang ribut memperebutkan kursi. Besok aku akan congkelkan wajah orang pintar tapi tak menyadari kepintarannya, sebagai kado hadiah untukmu. Wajahnya akan menjadi penengah bagi ketiga wajah di toples itu”.
“Sungguhkah itu, mas?”.
“Tentu, diajeng”.
“Aku sayang mas Joyo”.
“Aku juga sayang diajeng”.

Keesokan paginya. Istriku terkejut luar biasa saat melihatku. Aku duduk sambil menatap kosong ketiga wajah dalam toples yang aku bawa ke ruang tamu. Seperti biasa, ketiga wajah itu masih saling berdebat. Saling mengolok-olok wajah yang ada di toples lain.

“Mas, kenapa dengan wajahmu?”.

Istriku tiba-tiba berlari menuju kamar, dan kembali sambil membawa cermin. Aku melihat wajahku. Hanya terlihat bintik hitam, terlihat rata. Ya, aku melihat wajah baruku.
“Kemana wajahmu, mas?”,

Istriku terus meronta-ronta dalam jerit tangis. Aku jadi iba melihatnya, begitu pula dengan ketiga wajah congkelan dalam toples yang diam tak berdebat. Aku segera meninggalkan istriku yang termehek-mehek di sofa. Segera aku datang kembali sambil membawa kado sebagai hadiah untuknya. Hari ini dia ulang tahun. Dengan tangis yang masih sesegukan istriku membuka kadonya. Sambil sesekali melirik wajahku dengan jijik.

Tiba-tiba istriku menjerit lengking, lalu pingsan. Ya, kado itu berisi wajah congkelanku. Tanpa mempedulikan istriku yang pingsan, aku meletakkan wajahku yang aku congkel ke dalam toples keempat. Aku jadi terheran-heran, kenapa istriku pingsan. Apa mungkin ini kejutan untuk meluapkan kebahagiaan saat melihat hadiah yang aku berikan untuknya? Bukankah dia menginginkan wajah orang pintar yang tak menyadari kepintarannya. Itu adalah wajahku. Wajah congkelanku aku tatap.

Wajah congkelanku meloncat-loncat kegirangan di dalam toples bening. Wajah congkelanku begitu polos. Seperti inilah wajah orang pintar yang tak sadar tentang kepintarannya. Seperti orang bodoh yang menyadari kebodohannya, maka wajah orang pintar yang tak menyadari kepintarannya juga menjadi korban kehidupan. Korban bagi orang yang bodoh tapi merasa dirinya pintar dan korban bagi orang pintar yang menyadari dirinya pintar. Wajah kehidupan yang akan selalu ada. Apakah kau tahu, serupa mahkluk apa wajahku? (*)

Catatan:  Proteus merupakan dewa laut dalam mitos Yunani, seperti diceritakan dalam Odyssey karangan Homerus. Dalam salah satu versinya, Proteus adalah dewa yang dapat berganti-ganti bentuk tampilan, kadang tampil sebagai singa, ular, macan tutul, babi hutan, bahkan air atau pohon besar.

Tentang penulis :
Tova Zen adalah penulis Independen yang beberapa karyanya pernah dipublikasikan di koran lokal maupun nasional, seperti : Jawa Pos, Republika, Global Medan, Joglo Semar, Padang Ekspres dan Kumpulan Cerita Pendek Seri Detektif-nya diterbitkan di e-Book Evolitera.

 

Wajah itu datang padaku. Rupa karut marut yang ingin aku congkel. Tampang berkerut yang ingin aku ukir dengan belati. Jangan sebut aku keji, karena wajah congkelan itu adalah wajah orang bodoh yang merasa dirinya pintar.

Cerpen  Tova Zen

P roteus itu datang bermuka ular.       Mendesis. Menggeliat. Siap me   matukku dengan suntikan bisa. Lidahnya beracun. Racun otak yang selalu mempengaruiku dengan penuh kelicikan. Aku tahu! Otaknya bodoh luar biasa, tapi lidahnya yang mendesis itu selalu bisa meracuni pikiran warga. O, tidak denganku! Aku punya penawar bisa dan otakku tak pernah aku biarkan terbius oleh lidah beracunnya.

Pada persimpangan jalan inilah aku berniat menghadangnya. Belati setajam silet siap membeset wajah itu. Hatiku bergemuruh sebelum melakukan pencongkelan wajah. Belum! Aku belum mencongkel wajah itu. Aku masih saja merasa takut. Niat pencongkelan ini selalu aku kipas-kipas di atas bara hatiku yang memanas dengan asap putih ketakutan, membumbung di dalam jiwaku.

Akhirnya dia datang dengan menunggang kuda sembrani. Aku hafal betul dengan rute perjalanan saat dia pulang. Selalu! Dia selalu pulang berkuda melewati jalan persimpangan ini.  “Proteus! Aku akan mencongkel wajahmu malam ini”. Bisikku lirih dalam redup sinar rembulan.

Deru kaki kuda kian membahana. Aku pun terkesiap. Aku genggam gagang belati erat. Kakiku berpijak di pinggir jalan di balik pohon akasia dalam posisi kuda-kuda yang kokoh, dan dengan satu hentakan siap meloncat menghadangnya.  Aku melesat. Kuda mengikik lantang, serta-merta memecah hening. Aku bisa melihat wajah ularnya yang lugu. Kapan saja bisa mematukku, lalu membiuskan racun bisanya.
“Apa yang sedang kau lakukan malam-malam begini, Joyosuro?. Menghadangku sambil mengacungkan belati”.
“Aku ingin mencongkel wajah bodohmu”.
“Kenapa kau ingin mencongkel wajahku?”. Wajahnya berkerut. Alisnya bertaut. Beragam tanya bergelayut di benaknya.

“Kau seorang pemimpin yang bodoh. Harusnya kau tahu kebodohanmu”.

“Maksudmu aku pemimpin yang bodoh dan tak menyadari kebodohanku?”. Mulutnya mendesis.
“Ya! Kau Proteus yang selalu bisa merubah bentuk wajahmu. Dalam kampanye ini pun kau merubah wajahmu menjadi ular berbisa. Geliat prilakumu selalu menjaga jarak untuk meracuni otak warga dengan bisa beracun yang kau semburkan dalam setiap orasimu”.

“Aku mencoba menawarkan kesejahteraan bagi warga desa ini’.

“Kau bodoh! Dan aku tak ingin orang bodoh memimpin desa ini!” Hardikku keras.
“Mengapa kau mengatakan aku bodoh? Di mana letak kebodohanku?”. Dia gemetar sambil memegang tali kekang kuda sembraninya.

“Lihat! Kau menunggang kuda, dan itulah kebodohanmu”.

“Kuda? Hanya karena aku menunggang kuda kau mengatakan aku bodoh. Di mana letak kebodohanku?”.
Aku tercenung. Aku bisa merasakan dia mulai menyemburkan pengaruhnya padaku. “Apa kau tak melihat para pejabat di desa sebelah yang berangkat dinas dengan menunggangi mobil keluaran terbaru. Motor teranyar ditunggangi para pegawai sipilnya. Eh, kau malah naik kuda. Apa kau ingin mencontohkan nilai udik pada warga? Atau kau ingin menarik simpati hati warga dengan kesederhanaan  macam koboi dusun”.

Dia terkekeh. Lagi-lagi aku terpanggang oleh letupan emosi yang terus bergemuruh.   “Joyo! Joyo!. Pikiranmu itulah yang kolot. Kaulah yang bodoh, Joyo. Aku tahu kau pun ingin ikut pemilihan kepala desa, tapi tak satu pun partai, sesepuh desa, dan warga mendukungmu. Orang bodoh yang merasa dirinya pintar itu adalah kau.  Kau sering kali keras kepala dengan kebodohanmu. Bahkan orang pintar kau nilai bodoh, karena kebodohannya tak memberikan kepintaran bagi orang lain”.

“Jangan pengarui aku ular beracun!”.

“Aku tak mempengaruimu. Aku malas berdebat denganmu yang merasa dirimu itu pintar. Untung saja kau menjadi orang biasa, karena efeknya cuma membuat jengkel. Bahkan aku merasa kasihan padamu. Kau tak mau menerima kritik. Parahnya lagi, jika tabiatmu dikritik oleh kritikus pintar pun kau tetap menilai kritikusnya yang bodoh”.
Sial! Kenapa justru aku yang di bodoh-bodohkan oleh koboi ular ini.

“Diam kau orang bermuka ular! Kau yang bodoh. Lihat! Di zaman modern seperti sekarang ini kau masih saja menunggang kuda. Harusnya kau mencontohkan kemoderenan. Buat jalan beraspal, beri warga penerangan listrik, dan canangkan sistem pemerintahan yang berbasis pembangunan”.

“Itu pasti aku lakukan, Joyo!. Asal kau tahu saja, aku hanya ingin menunjukkan kesederhanaan pada warga dengan berpenampilan sederhana seperti ini. Tentu saja aku ingin merebut simpati warga dengan meleburkan diriku dalam komunitas mereka. Kalau aku terpilih menjadi kepala desa, maka aku akan terus merangkak naik untuk merebut kursi camat, lalu bupati. Kuda ini akan aku sembelih dan dagingnya aku akan bagikan ke warga untuk perayaan kemenanganku. Aku akan naik mobil seperti aparatur desa sebelah. Seperti di televisi, aku akan terkenal dengan kebaikanku dalam bersedekah. Warga akan mengemis sambil membawa kupon guna mendapatkan sekantong daging kuda di halaman rumahku”.

“Sebelum itu terjadi, aku akan mencongkel wajah bodohmu”.
“Kuda sembrani ini akan menginjak-injak tubuhmu sebelum kau berhasil mencongkel wajahku”.
Aku terkesiap. Belati dalam genggamanku aku acungkan padanya. Dia dengan cekatan menarik tali kekang kuda. Kuda sembrani itu melesat ke angkasa malam. Berputar sambil melintasi bayangan rembulan. Lalu secepat busur, kuda sembrani itu menukik ke arahku. Aku pun melompat sambil menyambar sayap kuda sembrani. Aku berhasil memotong salah satu sayapnya dan kuda sembrani terbang itu oleng. Ambruk tersuruk di jalan berdebu. Segera aku melesat menghampiri calon pemimpin berwajah ular. Aku congkel wajahnya. Aku tinggalkan dia dengan menggeliat sambil menutupi wajahnya yang tak lagi berwajah ular berbisa.

Aku pulang sambil membawa congkelan wajah calon kepala desa yang bersaing merebut kursi.
“Mas! Apa yang kau bawa malam ini?”, pekik istriku saat aku membuka buntalan sarung berisi congkelan wajah.
“Ini wajah Proteus bermuka ular, diajeng. Wajah ini amat berbahaya jika mendapatkan kekuasaan. Wajah ini siap menyembur dengan omong kosongnya saat berkampanye, lalu meracuni otak warga dengan janji-janji palsu yang melumpuhkan”.

“Mas Joyo. Mas Joyo! Sampai kapan kau mencongkeli wajah para kandidat pemimpin desa ini?”.
“Sampai aku melihat wajah orang pintar yang tak menyadari kepintarannya”.
“Apakah selama ini kau belum menemukan wajah itu? Lalu, wajah siapa saja yang ada dalam toples bening yang kau simpan di kamar kita, mas?”.

Aku terdiam. Aku bergerak memasukkan wajah ular yang baru aku congkel ke dalam toples bening. Aku bergerak ke kamar dan istriku mengekor di belakangku. Aku letakkan wajah congkelan baru itu berdampingan dengan dua toples yang berisi wajah congkelan yang lain. Dengan tersenyum aku memandangi ketiga toples berisi wajah congkelan calon pemimpin. Wajah dalam toples-toples itu saling berdebat. Saling mencerca. Saling merayu. Dan terlihat begitu sengit mengobral janji-janji. Seperti di acara televisi.
“Aku belum menemukan wajah itu, diajeng. Aku hanya mencongkel wajah kebusukan untuk memeriahkan koleksiku. Aku senang memajangnya di kamar. Saat kita menutup kelambu sambil bercinta, aku masih bisa mendengar perdebatan mereka”.
“Kau nakal sekali, mas”.

“Wajah itu lebih nakal, diajeng. Aku yakin wajah-wajah dalam toples itu mencoba mengintip percintaan kita, lalu mempergunjingkannya. Seperti di televisi yang baru-baru ini marak. Tapi aku bukan artis”.
“Aku tak ingin ditonton wajah dalam toples itu, mas”.
“Ya, kita harus menutup rapat kelambu”.

“Masukkan saja ketiga toples berisi wajah congkelan itu ke dalam lemari”.
“Baiklah, diajeng”.   Istriku tersipu. Entahlah, malam ini istriku terlihat genit. Apa karena aku membawa wajah congkelan yang baru untuknya? Aku tak tahu. Aku memasukkan ketiga toples berisi wajah congkelan ke dalam lemari. Segera aku menutup kelambu.

“Mas! Wajah-wajah itu terdengar gaduh di dalam lemari”. Bisik istriku lirih di telingaku.
“Sudahlah, diajeng. Biarkan mereka bergosip tentang kerakusan, kebodohan dan politik”.
“Kalau mereka menggunjingkan percintaan kita bagaimana?”.
“Tak akan aku biarkan itu terjadi”.
“Mas Joyo”.

“Ya, diajeng”.
“Ceritakan tentang dua wajah yang kau congkel beberapa minggu lalu”.
“Yang mana?”.

“Yang berwajah cicak dan buaya”.
“Kenapa kau suka cerita tentang mereka?”.
“Ya, aku selalu mendengar mereka bertengkar. Si cicak terus berseteru dengan buaya. Aku jadi takut kalu wajah buaya lepas lalu menggigit si cicak”.

Aku terkekeh mendengar komentar istriku.
“Kenapa mas Joyo tertawa?”.
“Tidak, diajeng! Biarlah mereka berseteru di dalam toples dan tak mungkin bisa keluar. Apa kau ingin tahu kenapa aku mencongkel wajah-wajah mereka?”

“Ya, aku ingin tahu alasannya mas. Sebelum itu, aku ingin tahu tentang wajah ular yang kau congkel barusan. Kenapa tak kau congkel wajah kadal. Sekarang banyak pejabat yang berwajah kadal, yang selalu mengadali warga”.
“Aku belum menemukannya. Kebetulan aku hanya mencongkel ketiga wajah itu saja”.
“Ceritakan alasannya”.

“Aku melihat ada sosok pemimpin yang pintar dan dia sadar betul dengan kepintarannya. Wajah inilah yang sangat otoriter dalam kekuasaan”.

“Yang mana, mas? Cicak atau buaya?”.
“Aku lupa yang mana, yang jelas salah satu dari mereka”.
“Bagaimana watak pemimpin yang sadar dirinya pintar?”.
“Orang yang pintar akan cenderung mengumpulkan orang-orang sejenisnya dalam kelompoknya. Kalau orang ini jadi pengajar, maka wataknya kan terlihat killer. Wajah pintarnya akan sangat berbahaya. Peringainya licik dan jika memegang kekuasaan cenderung sulit digoyahkan. Dengan kesadaran yang tinggi bahwa dirinya pintar, maka dia akan bersifat otoriter”.

“Bukankah kita memerlukan sosok pemimpin yang pintar, mas?”.
“Betul, tapi orang yang pintar macam ini mudah tergoda kekuasaan dan cenderung menindas bagi kaum yang dianggapnya tak sehaluan dengannya”.

“Bagaimana kau mencongkel wajah orang pintar itu?”.
“Aku mencongkelnya dengan menutup telinga. Aku datangi rumahnya. Secara diam-diam aku mencongkel wajahnya saat dia tertidur”.

“O, sungguh mengerikan tindakanmu. Kenapa harus menutup telinga dan mencongkelnya saat dia tertidur?”.
“Aku takut terpengaruh oleh ucapannya, makanya aku menutup telinga. Meskipun demikian aku masih saja takut walaupun aku tak mendengar kata-katanya. Dia pintar sekali, hanya dengan sorot matanya yang penuh iba saja, warga bisa terpengaruh. Bahkan hanya dengan rangkulan tangannya, orang bisa dipintarinya. Lalu dia menjerumuskan dengan kepintarannya itu. Jadi aku memilih mencongkelnya saat ia terlelap dalam tidur”.
“Ya, aku bisa melihat dari ketiga wajah dalam toples itu yang paling pintar. Benar! Dia licik sekali”.
Aku membisikkan kata-kata lembut ke telinga istriku.

“Diajeng, di antara congkelan wajah itu ada wajah orang bodoh yang menyadari dirinya memang bodoh”.
“Aku tak tahu pasti yang mana dari ketiga congkelan wajah itu, mana wajah orang bodoh yang menyadari dirinya memang bodoh”.

”Kau bisa mengetahuinya dari perdebatan mereka yang gaduh di dalam lemari”.
“Besok aku ingin melihatnya, dan menebak mana wajah itu. Aku yakin wajah bodoh itu terlihat murung, karena selalu menjadi korban penipuan oleh orang bodoh yang mengaku dirinya pintar dan orang pintar yang menyadari dirinya pintar. Aku bisa menebaknya dari beningnya toples besok”.
“Maksudmu?”.

“Ya, si bodoh memiliki  wadah yang cenderung bersih, karena dia jarang bicara, selalu pasif, pendiam, dan kerjanya hanya menurut saja. Dua toples yang lain pasti basah oleh air liur mereka, kerena mereka terlalu banyak bicara. Menyemprot sana. Menyemprot sini. Membodohi orang bodoh dan memintari orang pintar”.
“Ha..ha…! Kau pintar sekali, diajeng. Memang demikian tabiat mereka saat berdebat, berorasi, dan saling menyombongkan diri”.

“Mas, aku ngantuk”.
“Tidur lah, diajeng”.
“Mereka gaduh sekali di dalam lemari. Mengganggu lelap tidurku”.

“Tenangkan hatimu. Jangan dengarkan mereka yang ribut memperebutkan kursi. Besok aku akan congkelkan wajah orang pintar tapi tak menyadari kepintarannya, sebagai kado hadiah untukmu. Wajahnya akan menjadi penengah bagi ketiga wajah di toples itu”.
“Sungguhkah itu, mas?”.
“Tentu, diajeng”.
“Aku sayang mas Joyo”.
“Aku juga sayang diajeng”.

Keesokan paginya. Istriku terkejut luar biasa saat melihatku. Aku duduk sambil menatap kosong ketiga wajah dalam toples yang aku bawa ke ruang tamu. Seperti biasa, ketiga wajah itu masih saling berdebat. Saling mengolok-olok wajah yang ada di toples lain.

“Mas, kenapa dengan wajahmu?”.

Istriku tiba-tiba berlari menuju kamar, dan kembali sambil membawa cermin. Aku melihat wajahku. Hanya terlihat bintik hitam, terlihat rata. Ya, aku melihat wajah baruku.
“Kemana wajahmu, mas?”,

Istriku terus meronta-ronta dalam jerit tangis. Aku jadi iba melihatnya, begitu pula dengan ketiga wajah congkelan dalam toples yang diam tak berdebat. Aku segera meninggalkan istriku yang termehek-mehek di sofa. Segera aku datang kembali sambil membawa kado sebagai hadiah untuknya. Hari ini dia ulang tahun. Dengan tangis yang masih sesegukan istriku membuka kadonya. Sambil sesekali melirik wajahku dengan jijik.

Tiba-tiba istriku menjerit lengking, lalu pingsan. Ya, kado itu berisi wajah congkelanku. Tanpa mempedulikan istriku yang pingsan, aku meletakkan wajahku yang aku congkel ke dalam toples keempat. Aku jadi terheran-heran, kenapa istriku pingsan. Apa mungkin ini kejutan untuk meluapkan kebahagiaan saat melihat hadiah yang aku berikan untuknya? Bukankah dia menginginkan wajah orang pintar yang tak menyadari kepintarannya. Itu adalah wajahku. Wajah congkelanku aku tatap.

Wajah congkelanku meloncat-loncat kegirangan di dalam toples bening. Wajah congkelanku begitu polos. Seperti inilah wajah orang pintar yang tak sadar tentang kepintarannya. Seperti orang bodoh yang menyadari kebodohannya, maka wajah orang pintar yang tak menyadari kepintarannya juga menjadi korban kehidupan. Korban bagi orang yang bodoh tapi merasa dirinya pintar dan korban bagi orang pintar yang menyadari dirinya pintar. Wajah kehidupan yang akan selalu ada. Apakah kau tahu, serupa mahkluk apa wajahku? (*)

Catatan:  Proteus merupakan dewa laut dalam mitos Yunani, seperti diceritakan dalam Odyssey karangan Homerus. Dalam salah satu versinya, Proteus adalah dewa yang dapat berganti-ganti bentuk tampilan, kadang tampil sebagai singa, ular, macan tutul, babi hutan, bahkan air atau pohon besar.

Tentang penulis :
Tova Zen adalah penulis Independen yang beberapa karyanya pernah dipublikasikan di koran lokal maupun nasional, seperti : Jawa Pos, Republika, Global Medan, Joglo Semar, Padang Ekspres dan Kumpulan Cerita Pendek Seri Detektif-nya diterbitkan di e-Book Evolitera.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/