25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Keju di Kotak Bekalku

Aku lupa bagaimana rasanya keju, karena belakangan ini ibu memberiku sepotong tahu atau telur setiap hari. Dan belakangan itupun sudah berbulan-bulan kujalani. “Ibu, aku ingin keju,” pintaku pagi-pagi sekali, namun ibu hanya tersenyum sambil meneguk air putih.

Cerita oleh Cikie Wahab

Kapan-kapan saja. Pergilah ke     sekolah.” Ibu mendorong tubuh ku keluar pintu
“Tapi, bu. Aku malu. Teman-temanku membawa keju di kotak bekal mereka.”

“Kau juga bawa bekal, bukan? Ibu hanya punya itu. Jika nanti jualan ibu laris, kau bisa makan keju.” Ibu kemudian terbatuk-batuk dan melap mulutnya dengan punggung tangan.

“Ibu sakit?” aku melongok ke hadapan ibu. Ibu menggeleng dan meyakinkanku bahwa keju akan ada esok hari.
Harapan itulah yang setiap hari membuat semangatku bangkit. Keju! Suatu saat aku akan punya keju yang banyak, yang bisa kumakan kapan saja, hingga Vani dan Ana tahu ibuku mampu membelinya. Aku melangkah dengan penuh doa seperti yang ibu ajarkan.

“Tuhan, terima kasih atas rezekimu hari ini, jadikan aku anak yang berbakti.”
Nah, Itu Vanii!! Dengan wajah yang selalu kemerah-merahan, ia menarik lenganku setiba di depan kelas, lalu ia berteriak lantang

“Teman-teman! Hari ini kita akan lihat apa isi kotak bekal Yuji!” Vani menatapku dengan senyum menawan, lalu berbisik pelan dan menawarkan sesuatu.  “Jika kau membantuku di ulangan matematika nanti. Aku setuju membagimu keju. Apa kau mau?” tawarnya.
“Hei kenapa belum dibuka juga!?” teriak salah seorang. Vani pun menunggu jawabanku dan kupastikan kali ini aku setuju demi mencicipi sepotong keju, aku mengangguk pelan hingga Vani bersuara lagi.
“Tidak jadi!”

“Huuu…”
Vani duduk begitupun aku, dan aku mengintip bekalku dalam tas, hm…telur mata sapi buatan ibu tersenyum lagi.
***

Jalanan berdebu siang itu. Seperti hari-hari sebelumnya, saat aku pulang sekolah  aku menyusuri sepanjang jalan tepi kali. Dari dalam kali yang cukup jernih itu, kulihat cahaya matahari membayang silau ke mataku. Kugigit lagi ubi rebus, ubi yang Vani katakan sebagai keju. Aku tertawa lagi melihat kebodohanku tadi.
“Aku selalu menepati janjiku, Yuji! Terima kasih jika kau membantuku ulangan tadi. Tapi maaf, ibu hanya memberiku sepotong.”

“Tapi kau janji, Vani!”
“Aku punya ubi rebus dari Ana. Terimalah.”
“Pembohong!”

“Tidak. Besok akan kubawa dua potong seperti katamu.”
“Bagaimana aku bisa mempercayainya lagi?” aku ambil juga bungkusan dari tangan Vani dan membawanya pergi keluar kelas, namun aku masih mendengar tawa Vani bersama Ana setelah itu.
Kucuil sedikit dari bongkahan ubi yang merekah manis itu, lalu melemparnya ke dalam kali sambil berharap ikan kecil itu menangkapnya, namun tiba-tiba aku melihat seseorang yang melintas di seberang kali, sosok yang kulihat dari seberang kali itu mengingatkanku pada jaket ibu yang berwarna biru. Aku berlari melewati jembatan.
“Ibu! Ibu!”
Ibu tak mendengarkanku, dan ia masuk ke tempat dimana mesin-mesin tua itu berbunyi riuh di dalam sana. Aku mencoba masuk.
“Hei! Anak kecil. Tempat ini bahaya. Pergilah!!” seorang lelaki tua yang gendut mendorong tubuhku keluar, bau peluhnya menyakiti hidungku.
“Tempat apa ini?”
“Hoh, kau masih SD, ya? Kau tidak tahu ini apa? Ini gudang besar tempat orang-orang akan dicongkel hati dan jantungnya.” Tawanya menggelegar dan membuatku bergidik juga.
“Bohong!”

“Kalau tidak percaya, pergilah! Nanti bapak kau mencari.”
“Aku tidak punya bapak. Ibuku…”
Lelaki itu tidak lagi menghiraukanku, dan aku juga tak berani masuk ke dalam. Tapi benarkah tadi itu ibu. Semoga pandanganku salah kali ini. Akupun beranjak pergi dari tempat itu dengan harapan ibu di rumah menantiku datang.
***

“Apa kau masih menginginkan keju?” suara ibu pagi itu membuatku terdiam dan menggeleng. “Tenanglah, dua hari lagi kau bisa makan apapun. Kau mau pizza bertabur keju atau ice cream?”
“Ibu. Kenapa kita tidak berjualan lagi? Ibu jarang di rumah. Ibu kemana saja?”
Ibu menutup kotak bekalku dengan tumis tempe. Ia tersenyum dan  mengandeng tanganku keluar rumah. Ia tak menjawab pertanyaanku, dan bersikap seperti biasa. Tolonglah ibu, aku ingin tahu apa yang kau lakukan disana.
Ibu mendorong tubuhku ke dalam pagar sekolah “Masuklah dan belajar dengan giat, sayang.” Kecupan ibu mendarat di pipiku. Ibu melambai dan aku berdiri di balik tembok kelas. Setelah ibu benar-benar pergi, buru-buru aku mengikuti ibu dari belakang agar tidak ketahuan. Rasanya punggung ibu yang kulihat seperti bergetar dari jauh.
***
Vani mengintip bekalku pagi ini, tampak raut kecewanya timbul sesaat setelah itu. Ia duduk di samping Ana dan membisikkan sesuatu pada sahabatnya itu.
Aku masukkan kembali bekal makan siangku ke dalam tas dan mengalihkan pandanganku dari Ana yang terus-terusan menatapku. Pastilah mereka merencanakan sesuatu, tapi biar saja. Hari ini ada keju di bekalku, nanti malampun ibu berjanji membawakan pizza bertabur keju untukku. Senyum di pipiku diartikan Vani sebagai penghinaan, ia mengusulkan teman-teman sekelas untuk bertukar bekal agar bekal kejuku pindah ke tangan mereka.
“Gila!” bisikku sesaat berupaya menyembunyikan dua helai keju yang dibalut roti ke kantong plastik dalam tas.
“Belajarlah berbagi, Yuji.” Bentak ketua kelas
“Ya. Kami membawa daging asap.”
“Aku tidak suka udang!”

“Ueek..ini pasti tidak enak.”
“Bla..bla…”  Semua ribut, termasuk aku meski hanya dalam hati. Seluruh semangatku hilang seketika saat Ana menyodorkan kotak berisi nasi goreng putih tanpa telur ke hadapanku, di tangan satunya ia meraih roti keju milikku.
“Aku tahu kau masiih menyimpannya satu. Sepulang sekolah kau harus membaginya dengan kami ya.”
“Apa kau tak bisa membeli sendiri?” Balasku
“Kami ingin mencicipi kejumu, Yuji.”

Ingin kulempar kotak itu ke muka Ana dan Vani. Namun bayangan ibu yang lembut seakan mencegahku untuk melakukan itu. Ini hanya keju! Aku tak akan bodoh. Maka ketika lonceng sekolah berakhir, aku mengambil langkah seribu menghindari dua perempuan itu. Bukan karena aku takut, sebagai lelaki tak pantas bagiku melawan mereka, mereka tetap perlu dilindungi, begitu kata ibuku.

Namun mereka lebih dulu membawa anak kelas lima untuk menghadangku di tengah jalan. Aku merasa bosan terus-terusan dikerjai mereka, maka satu potong keju yang ada di kotakku kulemparkan ke tanah dan menginjaknya kuat.
“Kalian mau ini kan?? Ambillah!”

“Ha. Dengan begitu kau juga tak dapat keju.” Ucap Vani
“Ibuku akan membeli pizza.”
“Ibu? Ibu yang mana? Kupikir kau itu tidak punya ibu.”
“Kau tidak lihat ibunya yang suka mengantarnya ke tepi pagar dengan malu-malu?”
“Oh aku tidak tahu itu, Ana.”

Aku mendorong tubuh Vani dan anak lelaki kelas lima tiba-tiba saja memukul kepalaku. Secepat mungkin aku meninggalkan mereka bertiga ketika Vani tampak kesakitan. Aku berlari kencang dan berhenti di depan pabrik dengan dada yang sesak dan mata yang memerah. Setelah aku yakin Vani dan dua temannya tidak mengikutiku aku berjongkok di depan pabrik sambil memperhatikan sosok yang ada di dalam pabrik dari pagar. Itu ibu! Ibu yang sedang mengangkut karung goni di pundaknya. Ia terbatuk-batuk sebentar lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.
Kulangkahkan kakiku pulang ke rumah sendiri, karena ibu belakangan ini sering pulang senja. Dimanapun aku memandang, wajah ibuku terbayang. Dan ketika aku membuka lemari dapur, kudapati sekotak pizza bertabur keju dan daging. Oh, ibuku sayang. Pentingkah ini sekarang?

Senja pun hadir. Aku duduk di depan pintu sambil menaruh kotak pizza di pahaku. Aku menunggu ibu, menunggu ia untuk bicara agar tak lagi bekerja disana. Kita kan bisa jualan, bu. Kau tak perlu bekerja sekeras itu. Aku akan rajin membantumu dan aku juga tak akan minta macam-macam lagi. Toh Vani dan Ana sudah membuatku mual dengan jenis makanan mereka. Ibu, cepatlah pulang. Kumohon…

Aku terus menungggu ibu pulang, namun tak kunjung datang. Aku pun makin gelisah saat hujan mulai turun mengguyur malam. Kuputuskan juga membawa kotak pizza itu sambil berlari menuju pabrik, cahaya lampu terlihat samar akibat hujan dan aku terus berteriak memanggil nama ibu hingga aku terpeleset dan kotak pizza itu jatuh keluar mengenai sesuatu.

“Ibu…!!!!”
Aku terpaku di tempat itu dan tidak tahu harus berbuat apa untuk membangunkan ibu. Aku menangis. Tangisan yang tak pernah ada semenjak bapakku tiada. Besok aku tak akan bawa  bekal lagi. Seluruh pizza yang jatuh berganti warna dengan sekantong keju yang di pegang ibu. Warnanya menyala dengan darah ibu yang tertimpa mesin tua di kakinya.

***
Desember2010
Cikie wahab, bergiat di sekolah menulis paragraf. Pekanbaru.
Menulis cerpen dan puisi.
em@il: cikie_wae1@yahoo.com

 

 

Aku lupa bagaimana rasanya keju, karena belakangan ini ibu memberiku sepotong tahu atau telur setiap hari. Dan belakangan itupun sudah berbulan-bulan kujalani. “Ibu, aku ingin keju,” pintaku pagi-pagi sekali, namun ibu hanya tersenyum sambil meneguk air putih.

Cerita oleh Cikie Wahab

Kapan-kapan saja. Pergilah ke     sekolah.” Ibu mendorong tubuh ku keluar pintu
“Tapi, bu. Aku malu. Teman-temanku membawa keju di kotak bekal mereka.”

“Kau juga bawa bekal, bukan? Ibu hanya punya itu. Jika nanti jualan ibu laris, kau bisa makan keju.” Ibu kemudian terbatuk-batuk dan melap mulutnya dengan punggung tangan.

“Ibu sakit?” aku melongok ke hadapan ibu. Ibu menggeleng dan meyakinkanku bahwa keju akan ada esok hari.
Harapan itulah yang setiap hari membuat semangatku bangkit. Keju! Suatu saat aku akan punya keju yang banyak, yang bisa kumakan kapan saja, hingga Vani dan Ana tahu ibuku mampu membelinya. Aku melangkah dengan penuh doa seperti yang ibu ajarkan.

“Tuhan, terima kasih atas rezekimu hari ini, jadikan aku anak yang berbakti.”
Nah, Itu Vanii!! Dengan wajah yang selalu kemerah-merahan, ia menarik lenganku setiba di depan kelas, lalu ia berteriak lantang

“Teman-teman! Hari ini kita akan lihat apa isi kotak bekal Yuji!” Vani menatapku dengan senyum menawan, lalu berbisik pelan dan menawarkan sesuatu.  “Jika kau membantuku di ulangan matematika nanti. Aku setuju membagimu keju. Apa kau mau?” tawarnya.
“Hei kenapa belum dibuka juga!?” teriak salah seorang. Vani pun menunggu jawabanku dan kupastikan kali ini aku setuju demi mencicipi sepotong keju, aku mengangguk pelan hingga Vani bersuara lagi.
“Tidak jadi!”

“Huuu…”
Vani duduk begitupun aku, dan aku mengintip bekalku dalam tas, hm…telur mata sapi buatan ibu tersenyum lagi.
***

Jalanan berdebu siang itu. Seperti hari-hari sebelumnya, saat aku pulang sekolah  aku menyusuri sepanjang jalan tepi kali. Dari dalam kali yang cukup jernih itu, kulihat cahaya matahari membayang silau ke mataku. Kugigit lagi ubi rebus, ubi yang Vani katakan sebagai keju. Aku tertawa lagi melihat kebodohanku tadi.
“Aku selalu menepati janjiku, Yuji! Terima kasih jika kau membantuku ulangan tadi. Tapi maaf, ibu hanya memberiku sepotong.”

“Tapi kau janji, Vani!”
“Aku punya ubi rebus dari Ana. Terimalah.”
“Pembohong!”

“Tidak. Besok akan kubawa dua potong seperti katamu.”
“Bagaimana aku bisa mempercayainya lagi?” aku ambil juga bungkusan dari tangan Vani dan membawanya pergi keluar kelas, namun aku masih mendengar tawa Vani bersama Ana setelah itu.
Kucuil sedikit dari bongkahan ubi yang merekah manis itu, lalu melemparnya ke dalam kali sambil berharap ikan kecil itu menangkapnya, namun tiba-tiba aku melihat seseorang yang melintas di seberang kali, sosok yang kulihat dari seberang kali itu mengingatkanku pada jaket ibu yang berwarna biru. Aku berlari melewati jembatan.
“Ibu! Ibu!”
Ibu tak mendengarkanku, dan ia masuk ke tempat dimana mesin-mesin tua itu berbunyi riuh di dalam sana. Aku mencoba masuk.
“Hei! Anak kecil. Tempat ini bahaya. Pergilah!!” seorang lelaki tua yang gendut mendorong tubuhku keluar, bau peluhnya menyakiti hidungku.
“Tempat apa ini?”
“Hoh, kau masih SD, ya? Kau tidak tahu ini apa? Ini gudang besar tempat orang-orang akan dicongkel hati dan jantungnya.” Tawanya menggelegar dan membuatku bergidik juga.
“Bohong!”

“Kalau tidak percaya, pergilah! Nanti bapak kau mencari.”
“Aku tidak punya bapak. Ibuku…”
Lelaki itu tidak lagi menghiraukanku, dan aku juga tak berani masuk ke dalam. Tapi benarkah tadi itu ibu. Semoga pandanganku salah kali ini. Akupun beranjak pergi dari tempat itu dengan harapan ibu di rumah menantiku datang.
***

“Apa kau masih menginginkan keju?” suara ibu pagi itu membuatku terdiam dan menggeleng. “Tenanglah, dua hari lagi kau bisa makan apapun. Kau mau pizza bertabur keju atau ice cream?”
“Ibu. Kenapa kita tidak berjualan lagi? Ibu jarang di rumah. Ibu kemana saja?”
Ibu menutup kotak bekalku dengan tumis tempe. Ia tersenyum dan  mengandeng tanganku keluar rumah. Ia tak menjawab pertanyaanku, dan bersikap seperti biasa. Tolonglah ibu, aku ingin tahu apa yang kau lakukan disana.
Ibu mendorong tubuhku ke dalam pagar sekolah “Masuklah dan belajar dengan giat, sayang.” Kecupan ibu mendarat di pipiku. Ibu melambai dan aku berdiri di balik tembok kelas. Setelah ibu benar-benar pergi, buru-buru aku mengikuti ibu dari belakang agar tidak ketahuan. Rasanya punggung ibu yang kulihat seperti bergetar dari jauh.
***
Vani mengintip bekalku pagi ini, tampak raut kecewanya timbul sesaat setelah itu. Ia duduk di samping Ana dan membisikkan sesuatu pada sahabatnya itu.
Aku masukkan kembali bekal makan siangku ke dalam tas dan mengalihkan pandanganku dari Ana yang terus-terusan menatapku. Pastilah mereka merencanakan sesuatu, tapi biar saja. Hari ini ada keju di bekalku, nanti malampun ibu berjanji membawakan pizza bertabur keju untukku. Senyum di pipiku diartikan Vani sebagai penghinaan, ia mengusulkan teman-teman sekelas untuk bertukar bekal agar bekal kejuku pindah ke tangan mereka.
“Gila!” bisikku sesaat berupaya menyembunyikan dua helai keju yang dibalut roti ke kantong plastik dalam tas.
“Belajarlah berbagi, Yuji.” Bentak ketua kelas
“Ya. Kami membawa daging asap.”
“Aku tidak suka udang!”

“Ueek..ini pasti tidak enak.”
“Bla..bla…”  Semua ribut, termasuk aku meski hanya dalam hati. Seluruh semangatku hilang seketika saat Ana menyodorkan kotak berisi nasi goreng putih tanpa telur ke hadapanku, di tangan satunya ia meraih roti keju milikku.
“Aku tahu kau masiih menyimpannya satu. Sepulang sekolah kau harus membaginya dengan kami ya.”
“Apa kau tak bisa membeli sendiri?” Balasku
“Kami ingin mencicipi kejumu, Yuji.”

Ingin kulempar kotak itu ke muka Ana dan Vani. Namun bayangan ibu yang lembut seakan mencegahku untuk melakukan itu. Ini hanya keju! Aku tak akan bodoh. Maka ketika lonceng sekolah berakhir, aku mengambil langkah seribu menghindari dua perempuan itu. Bukan karena aku takut, sebagai lelaki tak pantas bagiku melawan mereka, mereka tetap perlu dilindungi, begitu kata ibuku.

Namun mereka lebih dulu membawa anak kelas lima untuk menghadangku di tengah jalan. Aku merasa bosan terus-terusan dikerjai mereka, maka satu potong keju yang ada di kotakku kulemparkan ke tanah dan menginjaknya kuat.
“Kalian mau ini kan?? Ambillah!”

“Ha. Dengan begitu kau juga tak dapat keju.” Ucap Vani
“Ibuku akan membeli pizza.”
“Ibu? Ibu yang mana? Kupikir kau itu tidak punya ibu.”
“Kau tidak lihat ibunya yang suka mengantarnya ke tepi pagar dengan malu-malu?”
“Oh aku tidak tahu itu, Ana.”

Aku mendorong tubuh Vani dan anak lelaki kelas lima tiba-tiba saja memukul kepalaku. Secepat mungkin aku meninggalkan mereka bertiga ketika Vani tampak kesakitan. Aku berlari kencang dan berhenti di depan pabrik dengan dada yang sesak dan mata yang memerah. Setelah aku yakin Vani dan dua temannya tidak mengikutiku aku berjongkok di depan pabrik sambil memperhatikan sosok yang ada di dalam pabrik dari pagar. Itu ibu! Ibu yang sedang mengangkut karung goni di pundaknya. Ia terbatuk-batuk sebentar lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.
Kulangkahkan kakiku pulang ke rumah sendiri, karena ibu belakangan ini sering pulang senja. Dimanapun aku memandang, wajah ibuku terbayang. Dan ketika aku membuka lemari dapur, kudapati sekotak pizza bertabur keju dan daging. Oh, ibuku sayang. Pentingkah ini sekarang?

Senja pun hadir. Aku duduk di depan pintu sambil menaruh kotak pizza di pahaku. Aku menunggu ibu, menunggu ia untuk bicara agar tak lagi bekerja disana. Kita kan bisa jualan, bu. Kau tak perlu bekerja sekeras itu. Aku akan rajin membantumu dan aku juga tak akan minta macam-macam lagi. Toh Vani dan Ana sudah membuatku mual dengan jenis makanan mereka. Ibu, cepatlah pulang. Kumohon…

Aku terus menungggu ibu pulang, namun tak kunjung datang. Aku pun makin gelisah saat hujan mulai turun mengguyur malam. Kuputuskan juga membawa kotak pizza itu sambil berlari menuju pabrik, cahaya lampu terlihat samar akibat hujan dan aku terus berteriak memanggil nama ibu hingga aku terpeleset dan kotak pizza itu jatuh keluar mengenai sesuatu.

“Ibu…!!!!”
Aku terpaku di tempat itu dan tidak tahu harus berbuat apa untuk membangunkan ibu. Aku menangis. Tangisan yang tak pernah ada semenjak bapakku tiada. Besok aku tak akan bawa  bekal lagi. Seluruh pizza yang jatuh berganti warna dengan sekantong keju yang di pegang ibu. Warnanya menyala dengan darah ibu yang tertimpa mesin tua di kakinya.

***
Desember2010
Cikie wahab, bergiat di sekolah menulis paragraf. Pekanbaru.
Menulis cerpen dan puisi.
em@il: cikie_wae1@yahoo.com

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/