Cerpen oleh: Ester Pandiangan
Aku benci aroma pemakaman. Karena baunya begitu hening dan nelangsa. Membawa orang pada kesepian mendalam begitu menyiksa. Pemakaman memang selalu menerjunkan orang yang ditinggalkan ke jurang kehampaan tanpa tepi. Menjerumuskan pada perasaan kosong yang tiada mendasar.
Makanya aku benar-benar tak suka pemakaman. Seakan udara disedot paksa oleh batu-batu dingin kasar yang berjejer tegak memenuhi sepanjang mata memandang. Bahkan satu dua pepohonan hijau yang menghembuskan kehidupan tiada dapat mengalahkan aroma kematian yang begitu menyengat.
Meski terus didera gelombang sesak aku tetap menyusuri satu persatu batu-batu kaku ini. Agak tertatih memang. Antara lesakan sepi dan janin tujuh bulan yang memperlambat langkahku.
Pelan-pelan aku merambati lahan pekuburan ini sambil mengamati nama-nama yang terukir di badannya. Akhirnya aku sampai pada satu nama yang kucari. Tanahnya masih merah dan basah. Pada salib yang terpancang kuat terpahat namanya, ‘Daniel’.
Meski begitu orang lebih mengenalnya dengan nama Dan. Teman-teman, para dosen biasa memanggil dia dengan Dan. Seperti pengarang favoritnya Dan Brown atau mencoba lari dari takdirnya sebagai Daniel —laki-laki yang selamat dari mulut singa karena ketekunannya berdoa.
Dan memang tidak percaya Tuhan. Aku menyebut dia atheis, tapi dia menyanggah kalau dia realistis. “Siapa Tuhan? Sewaktu kau menginginkan sesuatu yang buruk lalu menutup mata kemudian berdoa. Tuhan adalah sosok yang akan menolak doamu. Jadi siapa Tuhan? Tuhan hanyalah jawaban segala pertanyaan yang belum terjawab!” lantangnya.
Aku berharap semoga malaikat yang kebetulan lewat tak menganggap serius ucapannya sehingga marah dan mencabut nyawanya. Syukur, harapanku terkabul. Karena Dan masih hidup beberapa tahun lagi setelah dia meneriakkan kata-kata itu di mukaku. Yah, walau pada akhirnya raganya harus rata juga dengan tanah. Sekarang.
Bukankah memang semua seperti itu? Dari tanah kembali ke tanah? Ah, kenapa pula aku mengutip ayat injil? Dan kan tidak percaya kehidupan setelah kematian. Kembali ke tanah ya berarti selesai sudah.
“Sia-sia kan ? Hampa kan ? Ya, memang tidak ada yang spesial. Setelah mati tidak ada apa-apa lagi. Ibarat buku. Halaman terakhir sudah dilewati berarti the end. Memang hidup ini tidak ada yang istimewa. Surga neraka hanya manisan dalam hidup. Berbuat baik atau tidak hanya masalah moral saja!”
Kini, aku malah mengingat kalimat-kalimat filosofi dia. Ah, wajar saja! Kematian sering membuat orang merenung apa arti hidup. Rentetan kejadian yang sudah dilaluinya. Mungkin aku terlalu terbawa perasaan melankolis. Karena aku merasa telah menitikkan air mata. Meneteskannya ke pipi, turun ke dagu dan jatuh ke tangan. Atau ini berasal dari langit yang tak mampu menampung kesedihan awan? Sehingga, mengoyak katup mata, menumpahkan butiran-butiran air yang membanjiri bumi.
Kenapa aku jadi lembek seperti ini? Apa kematian Dan begitu memengaruhi aku? Siapa rupanya Dan? Hanya seorang teman di organisasi mahasiswa. Parasnya biasa saja. Bukan seperti pemain sinetron Dude Herlino yang enak dilihat. Dan berwajah kucel dengan lubang-lubang bekas jerawat yang menyebar di pipinya.
Penampilannya tak kalah berantakan dengan wajahnya. Kalau bisa dibilang, secara fisik tak ada yang istimewa dari dia atau dibanggakan dari seorang Dan yang buat perempuan mengembang-kempiskan hidung bila berjalan di sampingnya.
Namun, harus kuakui, sejak jumpa dengannya di kampus, Dan sudah mencuri perhatianku. Aku juga terheran-heran apa yang menarik dari Dan sehingga dia senantiasa menjadi objek perhatianku. Mungkin aku sudah gila, mataku yang rusak atau seleraku yang memang parah. Entahlah.
Aku hanya tahu Dan sudah mencumbui mataku sedari awal melihatnya. Bukan fisiknya yang mengikat aku. Menemali aku sehingga terpaut padanya. Kepribadiannya yang terbuka buat aku tersungkur dalam lembah kekaguman.
Dibalik kemiskinan tampangnya, Dan adalah sosok bersahaja apa adanya. Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa bertampang klimis yang tak ubahnya iklan berjalan–berkat atribut bermerk yang dikenakan mereka.
Dan lebih sering kulihat mengenakan kemeja longgar yang warnanya sudah pudar yang dipasangkan dengan jeans yang tak kalah pudarnya. Dia selalu berjalan di lorong-lorong kampus dengan seringai khasnya. Tertawa lebar kepada teman-teman atau pun mahasiswa/wi baru. Bukan dalam arti berlebihan. Dia melakoninya karena memang ingin. Tidak dalam rangka mencari perhatian. Semua yang dilakukannya sangat alami. Lagi-lagi bukan semuanya itu yang membuatku mematri padanya.
Suatu masa, dia menemukan aku sedang menorah-noreh lenganku dengan pecahan beling. Hening sejenak, sebelum akhirnya Dan mengajak aku ke kosannya. Tidak bertanya apa-apa. Tidak berkata apa-apa. Dan hanya membersihkan luka yang kubuat lalu memberinya obat merah. Goresan yang tadi kubuat menimpa luka yang seminggu sebelumnya, membuat lenganku berbaret-baret.
Setelah duduk terdiam dalam kebisuan Dan membelah kesenyapan antara kami, “Selama ini aku hanya tahu keanehan manusia dari buku dan televisi, tapi sekarang aku melihatnya langsung.”
Aku hendak menumpahkan semua kata-kata yang kutahan selama enam tahun belakangan ini. Sudah sangat lama, kata-kata itu menunggu untuk dihamburkan.
Masih sampai di kerongkongan belum menyentuh pangkal lidah Dan sudah menyambung perkataannya, “Jangan biarkan pengalaman buruk menjadi alasan untuk berbuat buruk juga. Apalagi menjadikannya sebagai pelarian.”
Seumpama tinjuan, ucapan Dan menghantam ulu hatiku. Mataku jadi terbuka. Apa karena Dan yang bicara atau memang kalimat ini mengandung kebenaran, yang kutahu sejak saat itu aku meninggalkan hobi menggambari garis di lenganku.
Kami mulai sering bertemu. Kadang di base camp organisasi, mengobrol hingga dini hari. Sering juga di warkop yang menjamur di kawasan kampus. Dalam setiap pertemuan Dan lebih banyak berperan sebagai pembicara dan aku pendengar yang budiman. Sesekali menimpali kemudian menjadi pendengar budiman lagi.
Dari pertemuan-pertemuan inilah aku lebih mengenal Dan. Siapa sosok Dan dibalik topeng yang dikenakannya. “Sebenarnya semua kita yang hidup ini tak pernah menampilkan diri kita yang sesungguhnya. Kita semua bersembunyi di balik topeng. Karena takut menunjukkan jati diri atau tuntutan lingkungan yang membuat kita membelenggu diri sendiri,” kata Dan di hari-hari yang lalu.
Seperti seseorang yang berperan ganda menjadi laki-laki dan perempuan, ayah berwajah ulama yang ternyata memburiti anaknya, ibu yang seyogianya melindungi anak malah menjadi mami untuk darah dagingnya sendiri sampai laki-laki yang alih-alih mengucapkan syaloom memilih berkata, ‘Salam damai!’
“Aku bosan harus selalu berpura-pura berdoa sebelum makan saat pulang kampung. Aku juga sudah kehabisan alasan untuk menolak ajakan ke gereja. Dan paling kesal melihat teman yang sudah kenal aku tapi masih saja mengakhiri sms dengan GBUS,” cerita Dan saat malam kami merokok bersama.
Ia terus menelurkan kata-kata, menjahit kalimat demi kalimat yang kalau disatukan bisa menjadi biografi.”Biografi seorang atheis,” candaku padanya. “Hei! Bukan, ingat realistis,” cengirnya.
Tidak percaya tuhan atau yang dia sebut realistis, Dan juga senang mengukur dirinya dengan hal-hal yang ekstrem. “Aku sudah pernah mencoba rokok, membuat tato, bungge jumping dan backpacking. Suatu saat aku juga mau merasakan bagaimana bercinta dan menghisap mariyuana. Bukan untuk menjadi pemadat, hanya ingin melihat sampai di mana limitku!”
Sungguh pemikiran yang aneh. Tapi, abnormal akan menjadi normal setelah tahu kepribadian Dan sesungguhnya. Makanya aku tak heran ketika tiga bulan tak bertemu dia menyampaikan kabar kalau dia melabuhkan hati dengan seorang gadis berparas aisyah.
Aku tidak terkejut. Sungguh sekali lagi kutegaskan aku tiada terkejut. Tapi aku tak kuasa menyangkal pengakuannya membuat hatiku memar. Begitu membiru sampai-sampai aku memilih untuk menghilang dari dia bersama kenangan yang sempat ditanamnya untukku. Kenangan yang tidak akan mati justru terus bertumbuh dalam hitungan waktu.
Di sinilah aku. Usai mendengar kabar Dan telah menamatkan bab terakhir dari bukunya. Mungkin seperti yang pernah dikatakannya padaku, dia ingin menguji sampai di mana limitnya. Sayang, saat melakukannya dia kelewat menjadikan sebagai pelarian karena ditinggal sungai nilnya. Orang-orang memang sering keciprat ludahnya sendiri.
Sedang aku sendiri apa yang harus kulakukan? Selain mengakui sebuah kenyataan di depan nisan beku. Walau aku tahu sia-sia. Setidaknya aku ingin mengatakan kepada penghuninya, “Selamat, kau berhasil menjadi ayah.” Maret-Juni 2010