31 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Purnama Ketujuh

Cerpen :  Afriyanti

Kubiarkan malam yang pucat gelisah. Lolongan anjing menambah semarak misteriusnya kelam. Kepada malam buta yang menciptakan gerimis. Kepada tangis yang tidak akan merubah keadaan. Di tempat ini, tak ada yang dapat dilakukan selain menunggu kedalaman waktu yang beku. Angin laut menemani gadis itu. Dingin. Wajah yang ditunggu gadis itu, belum juga naik kepermukaan. Bibirnya masih bergetar sambil meniup kedua telapak tangan.

 

Matahari mulai menyembul malu-malu. “Abah pasti kembali,” bisik gadis itu. Ia  masih berjalan mondar-mandir dan sesekali menjengah kepalanya ke arah lautan lepas itu.

Kota yang terkenal dengan kota ikan terubuk itu, tak lagi dapat merasakan nikmatnya daging terubuk yang enak. Dulu sewaktu Datok Laksamana Raja Dilaut masih hidup, daging ikan terubuk berjejer di pasaran. Sekarang, untuk melihat rupa ikan terubuk itu saja sudah susah, apalagi untuk membelinya.   Datok cukup memasukan kakinya ke dalam air, dan ikan-ikan terubuk akan menyerbu kakinya.

Waktu berganti. Hari demi hari bergulir. Sudah tiga kelam, gadis itu menunggu Abahnya. Ia selalu menunggu sampai saat itu tiba. Saat di mana abahnya pulang dengan genggaman ikan terubuk di tangannya. Bukankah cinta perempuan itu cinta yang menunggu?

Desir ombak pantai memukul, tapi hati gadis itu tak pernah terpukul. Ia akan selalu menunggu hingga purnama kembali membawa abahnya.

Hari itu, wajah gadis berparas molek itu lesu. Termenung karena baru saja dapat kabar dari teman abahnya. Tetapi, gadis itu tak pernah mengalah dengan sang waktu. “Abahmu ditelan ombak yang ganas.” Dengus kalimat yang keluar dari mulut teman Abahnya.

“Aku akan tetap menunggumu, Abah!” ia membibirkan kata hatinya. Disertai kicauan burung camar yang menikmati senja. Ia menunggu Abahnya pada sebilah petang. Pagi harinya ia bekerja demi seorang keriput tua yang terbaring lesu di kasur.

Petang hingga rembulan datang, ia menunggu abahnya. Di tangan kanannya ia membawa jahitan baju untuk abahnya. Ia ingin menunjukkan betapa rapinya jahitan baju yang ia rangkai dengan hati dan air matanya.

“Abaaah! Pulanglah!” Dengan air mata ia menatap rembulan di atas lautan itu. Saat renyai hujan mulai turun, ia mendengar bisikan dari arah laut.

Aku heran. Begitu cintanya gadis itu kepada abahnya. Padahal abahnya bukan seorang yang baik. Ia selalu disiksa, terkadang ia ditendang hingga babak-belur. Ia tak pernah memberontak apalagi meneteskan air matanya. Yang ia tahu, abah sangat sayang kepadanya. Ia dipukul bahkan dicaci-maki, mungkin karena ia membuat abah kesal dan kecewa.

Malam kian meninggi dan sunyi. Renyai hujan masih saja membasahi wajah molek gadis itu. Aku mengepakkan sayap hitam meninggalkan gadis itu. Ia pun meninggalkan purnama dan kembali ke gubuk reot milik ia dan abah.
Purnama kelima, ia kembali lagi. Kini ia datang dengan membawa payung biru. Malam ini hujan begitu deras hingga merenggut purnama untuk keluar menemaninya. Di atas pelabuhan kayu, ia tegak menengok lautan lepas. “Begitu bahagiakah di negeri terubuk itu, Abah? Sehingga tidak ingat untuk balik?”

Abahnya seorang nelayan. Sebelum ia pergi, ia bercerita tentang mimpinya melihat negeri ikan terubuk di lautan seberang. Ia nekat untuk pergi walupun angin laut tidak bersahabat malam itu. Ikan terubuk paling mahal saat ini. Ia ingin menangkapnya supaya dapat membelikan bunga untuk isteri tercintanya. Ia ingin menjenguk isterinya sambil membawa bunga lili kuning. Walaupun ia sudah berbeda dunia dengan kekasih hatinya itu.

Ketukan hujan begitu menyayat relung. Kayu-kayu bakau juga merintih melihatnya. Gadis itu mendendangkan lagu sumbang tarian ta bale-bale. Sambil menarikan gerakan-gerakan pemanggil ikan terubuk itu. Berharap ikan terubuk akan datang menemuinya pada purnama ini. Dan membawa Abahnya kembali. Mungkin, ia belum mendengar lagu-lagu sumbang gadis itu. Ia pun pulang dalam bisu.

“Kemarilah,” ungkap seorang perempuan tua yang sudah uzur ditelan waktu.
Gadis itu mendekatinya.

“Ambillah ajimat ini. Jika sudah tujuh purnama engkau menunggu abah, dayunglah sampan hingga ke tengah lautan. Dendangkanlah lagu-lagu ini. Iringi dengan biola tua milik kakekmu itu.” Sambil menunjuk ke arah biola tua yang tersangkut di dinding rapuh rumahnya itu.

Gadis itu menuruti tanpa ada kalimatpun keluar dari bibir tipisnya.

Hari ini, purnama ketujuh. Seperti biasa ia ke pelabuhan kayu tempat berlabuhnya sampan-sampan nelayan usai menjaring ikan. Ia turun ke sampan dan perlahan-lahan mendayung hingga ke tengah lautan. Ia mendengar bisik laut dan angin yang bercerita tentang cinta dan sayangnya terhadap abah.

Percakapan akan kegilaannya mendayung sampan seorang diri ke tengah lautan. Semua tidak dihiraukan. Ia tahu abah sangat sayang padanya. Abah sering menyiksanya ia mafhum karena ia adalah pembunuh kekasih abah yaitu emaknya. Emaknya meninggal semenit setelah mencium kening gadis itu setelah ia dilahirkan.
Di tengah laut, pembatas lautan lepas ia berhenti mendayung. Ia menggesekkan biola pemberian neneknya. Lamat-lamat tersayat memilukan alunan sendu yang keluar dari dawai biola itu.
Dalam pekik hati ia bibirkan. “Sudah purnama ketujuh, pulanglah Abah! Tidakkah kau mendengar rerindu dari laguku?”

***

Cerpen :  Afriyanti

Kubiarkan malam yang pucat gelisah. Lolongan anjing menambah semarak misteriusnya kelam. Kepada malam buta yang menciptakan gerimis. Kepada tangis yang tidak akan merubah keadaan. Di tempat ini, tak ada yang dapat dilakukan selain menunggu kedalaman waktu yang beku. Angin laut menemani gadis itu. Dingin. Wajah yang ditunggu gadis itu, belum juga naik kepermukaan. Bibirnya masih bergetar sambil meniup kedua telapak tangan.

 

Matahari mulai menyembul malu-malu. “Abah pasti kembali,” bisik gadis itu. Ia  masih berjalan mondar-mandir dan sesekali menjengah kepalanya ke arah lautan lepas itu.

Kota yang terkenal dengan kota ikan terubuk itu, tak lagi dapat merasakan nikmatnya daging terubuk yang enak. Dulu sewaktu Datok Laksamana Raja Dilaut masih hidup, daging ikan terubuk berjejer di pasaran. Sekarang, untuk melihat rupa ikan terubuk itu saja sudah susah, apalagi untuk membelinya.   Datok cukup memasukan kakinya ke dalam air, dan ikan-ikan terubuk akan menyerbu kakinya.

Waktu berganti. Hari demi hari bergulir. Sudah tiga kelam, gadis itu menunggu Abahnya. Ia selalu menunggu sampai saat itu tiba. Saat di mana abahnya pulang dengan genggaman ikan terubuk di tangannya. Bukankah cinta perempuan itu cinta yang menunggu?

Desir ombak pantai memukul, tapi hati gadis itu tak pernah terpukul. Ia akan selalu menunggu hingga purnama kembali membawa abahnya.

Hari itu, wajah gadis berparas molek itu lesu. Termenung karena baru saja dapat kabar dari teman abahnya. Tetapi, gadis itu tak pernah mengalah dengan sang waktu. “Abahmu ditelan ombak yang ganas.” Dengus kalimat yang keluar dari mulut teman Abahnya.

“Aku akan tetap menunggumu, Abah!” ia membibirkan kata hatinya. Disertai kicauan burung camar yang menikmati senja. Ia menunggu Abahnya pada sebilah petang. Pagi harinya ia bekerja demi seorang keriput tua yang terbaring lesu di kasur.

Petang hingga rembulan datang, ia menunggu abahnya. Di tangan kanannya ia membawa jahitan baju untuk abahnya. Ia ingin menunjukkan betapa rapinya jahitan baju yang ia rangkai dengan hati dan air matanya.

“Abaaah! Pulanglah!” Dengan air mata ia menatap rembulan di atas lautan itu. Saat renyai hujan mulai turun, ia mendengar bisikan dari arah laut.

Aku heran. Begitu cintanya gadis itu kepada abahnya. Padahal abahnya bukan seorang yang baik. Ia selalu disiksa, terkadang ia ditendang hingga babak-belur. Ia tak pernah memberontak apalagi meneteskan air matanya. Yang ia tahu, abah sangat sayang kepadanya. Ia dipukul bahkan dicaci-maki, mungkin karena ia membuat abah kesal dan kecewa.

Malam kian meninggi dan sunyi. Renyai hujan masih saja membasahi wajah molek gadis itu. Aku mengepakkan sayap hitam meninggalkan gadis itu. Ia pun meninggalkan purnama dan kembali ke gubuk reot milik ia dan abah.
Purnama kelima, ia kembali lagi. Kini ia datang dengan membawa payung biru. Malam ini hujan begitu deras hingga merenggut purnama untuk keluar menemaninya. Di atas pelabuhan kayu, ia tegak menengok lautan lepas. “Begitu bahagiakah di negeri terubuk itu, Abah? Sehingga tidak ingat untuk balik?”

Abahnya seorang nelayan. Sebelum ia pergi, ia bercerita tentang mimpinya melihat negeri ikan terubuk di lautan seberang. Ia nekat untuk pergi walupun angin laut tidak bersahabat malam itu. Ikan terubuk paling mahal saat ini. Ia ingin menangkapnya supaya dapat membelikan bunga untuk isteri tercintanya. Ia ingin menjenguk isterinya sambil membawa bunga lili kuning. Walaupun ia sudah berbeda dunia dengan kekasih hatinya itu.

Ketukan hujan begitu menyayat relung. Kayu-kayu bakau juga merintih melihatnya. Gadis itu mendendangkan lagu sumbang tarian ta bale-bale. Sambil menarikan gerakan-gerakan pemanggil ikan terubuk itu. Berharap ikan terubuk akan datang menemuinya pada purnama ini. Dan membawa Abahnya kembali. Mungkin, ia belum mendengar lagu-lagu sumbang gadis itu. Ia pun pulang dalam bisu.

“Kemarilah,” ungkap seorang perempuan tua yang sudah uzur ditelan waktu.
Gadis itu mendekatinya.

“Ambillah ajimat ini. Jika sudah tujuh purnama engkau menunggu abah, dayunglah sampan hingga ke tengah lautan. Dendangkanlah lagu-lagu ini. Iringi dengan biola tua milik kakekmu itu.” Sambil menunjuk ke arah biola tua yang tersangkut di dinding rapuh rumahnya itu.

Gadis itu menuruti tanpa ada kalimatpun keluar dari bibir tipisnya.

Hari ini, purnama ketujuh. Seperti biasa ia ke pelabuhan kayu tempat berlabuhnya sampan-sampan nelayan usai menjaring ikan. Ia turun ke sampan dan perlahan-lahan mendayung hingga ke tengah lautan. Ia mendengar bisik laut dan angin yang bercerita tentang cinta dan sayangnya terhadap abah.

Percakapan akan kegilaannya mendayung sampan seorang diri ke tengah lautan. Semua tidak dihiraukan. Ia tahu abah sangat sayang padanya. Abah sering menyiksanya ia mafhum karena ia adalah pembunuh kekasih abah yaitu emaknya. Emaknya meninggal semenit setelah mencium kening gadis itu setelah ia dilahirkan.
Di tengah laut, pembatas lautan lepas ia berhenti mendayung. Ia menggesekkan biola pemberian neneknya. Lamat-lamat tersayat memilukan alunan sendu yang keluar dari dawai biola itu.
Dalam pekik hati ia bibirkan. “Sudah purnama ketujuh, pulanglah Abah! Tidakkah kau mendengar rerindu dari laguku?”

***

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/