Oleh: Ramadhan Batubara
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk bebaskan rakyat
Lagi, saya harus mengutip lirik lagu untuk lantun ini. Ya, ada sesuatu yang langsung masuk ke kepala begitu sebuah peristiwa terjadi. Yang masuk ke kepala itu tak lain adalah sebuah lagu. Persis ketika beberapa waktu lalu, saya sibuk mengutip lagunya Iwan Fals, Kla Project, dan sebagainya. Entahlah, ketika sesuatu masuk ke kepala saya, seperti peristiwa yang menyesakkan, langsung saja ada lirik lagu di kepala.
Tapi, sudahlah. Setidaknya, saat ini, lantun kembali dimulai dengan lirik lagu. Ya, lirik ‘Darah Juang’ langsung mengemuka dalam bayangan begitu saya membaca bentrokan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Manunggal di Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan dengan PTPN II-PT KIM II yang melibatkan Brimob. Perhatikanlah liriknya, pas kah?
Rangkaian kata yang mengarah hingga terkaparnya beberapa petani dalam bentrok tersebut seakan membawa saya kembali pada sekian kejadian yang memang tidak pro rakyat. Ayolah, sengketa tanah tersebut secara hukum telah dimenangkan kaum petani, namun atas nama pembangunan atau pertumbuhan ekonomi atau apalah, hak atas tanah itu menjadi sesuatu gamang.
Namanya gamang berarti tak mapan yang akhirnya membuat tak nyaman. Ujung-ujungnya, ketika kegamangan terus dihadirkan, maka yang korban mereka yang lemah juga. Masalahnya lagi, seharusnya petani adalah pihak yang kuat karena didukung oleh hukum. Tapi begitulah, seperti lirik ‘Darah Juang’ tadi (Mereka dirampas haknya), kekuatan itu bisa berarti banyak; tidak hanya hukum yang bicara bukan?
Soal ‘Darah Juang’ ini bukan lagi suatu yang asing bagi seorang aktivis pergerakan, khususnya mereka yang bergerak era akhir 1990-an. Lagu penumbuh semangat ini pertama kali dinyanyikan secara resmi dan massal saat Kongres I Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY) 1991 lalu. Sejak itu, ‘Darah Juang’ bak hymne wajib bagi aktivis, puncaknya ketika mahasiswa se-Indonesia berhasil menumbangkan rezim Soeharto.
Menariknya, ketika sibuk menghubungkan ‘Darah Juang’ dengan perjuangan Gapoktan Desa Manunggal tersebut, saya baru sadar, bukankah lagu yang bersejarah itu diciptakan oleh putera Sumatera Utara? Ya, dialah Johnsoni Marhasak Lumbantobing, atau dikenal dengan panggilan akrabnya John Tobing. Lelaki kelahiran Binjai (Sumatra Utara), 1 Desember 1965 ini adalah alumni Fakultas Filsafat UGM angkatan 1986.
Langsung saja bulu kuduk saya berdiri. Memang, saat menciptakan ‘Darah Juang’, dirinya dibantu Dadang Juliantara dan Budiman Sujatmiko untuk urusan lirik, tapi terbayang dalam otak saya tentang harapan seorang John Tobing soal negeri Indonesia yang permai. Ya, kenapa bisa menyedihkan semacam ini.
Dalam lifestyle.kompasiana.com, Odi Shalahuddin menuliskan, John Tobing beberapa tahun lalu berada di Pekanbaru bersama istri dan anak-anaknya. Ia terlibat dalam sebuah partai besar dan menjadi wakil ketua untuk kepengurusan tingkat provinsi.
“Ia memang belum berubah. Posisinya yang strategis di dalam partai tidak ia manfaatkan untuk kepentingannya sendiri. Ia justru menghindar. Sama halnya dengan gosip-gosip yang bertebaran, yang telah menjadi rahasia umum, pastilah orang-orang macam dia akan senantiasa mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, diintrik dan disingkirkan,” tulis Odi. Kini, lanjut Odi, dia telah kembali ke Yogyakarta dan terus berkarya.
Begitulah John Tobing, lagu yang diciptakannya memang lebih populer dari namanya sendiri. Namun, bagi saya karya yang baik adalah karena memang baik, jadi bukan karena dari mana dia berasal. Seperti ‘Darah Juang’ tadi, bait yang saya kutip tersebut berhasil menggambarkan penderitaan warga yang berasal dari negeri hebat ini.
Perhatikan juga bait lainnya: Di negeri permai ini//Berjuta rakyat bersimbah luka//Anak kurus tak sekolah//Pemuda desa tak kerja. Bagaimana, adakah bentrok yang terjadi baru-baru ini di Percut Sei Tuan itu tidak terasa menyedihkan?
Kalau mau jujur, soal perampasan hak, rebutan hak, pencurian hak, atau apapun itu sudah menjadi cerita basi di negeri ini. Perhatikanlah media cetak maupun elektronika, pernahkah dalam sepekan tak ada berita soal hal itu? Ya, kejadian di Percut Sei Tuan saja bukan untuk pertama kalinya, bagimana dengan Indonesia? Entahlah, seperti ada yang salah di negeri ini. Kayaknya, untuk sebuah keinginan, segala cara bisa ditempuh. Bagaimana cara mencapai keinginan tersebut menjadi urusan belakang, yang penting dapat dulu.
Ukh, jadi teringat proposal sebuah masjid yang pencairannya disunat hingga enam puluh persen. Ya, di tempat yang sama, di Sumatera Utara. Apakah tak ada lagi cerita yang tak membuat kecewa?
Tapi begitulah, ketika hukum yang diciptakan manusia bisa disalahgunakan oleh manusia, maka tunggulah Tuhan bicara. Harapan memang tinggal pada-Nya bukan? Seperti bait pertama ‘Darah Juang’ karya John Tobing: Di sini negeri kami//Tempat padi terhampar//Samuderanya.. kaya raya//Tanah kami subur Tuhan…. (*)
4 Maret 2011