30 C
Medan
Saturday, June 15, 2024

Mengalah adalah Perlawanan yang Tertunda

Ramadhan Batubara

Kata bijak memang mengatakan mengalah untuk menang, tapi bagi saya saat ini tidak seperti itu. Bagi saya, mengalah adalah perlawanan yang tertunda. Kenapa? Ya, karena saya tidak ada kesempatan untuk menang dan menyimpan sekian dendam!

ITULAH sebab Chairil Anwar menulis Kalau sampai waktuku//’Ku mau tak seorang kan merayu//Tidak juga kau dalam sajaknya yang berjudul Aku. Ya, di masa depan nanti, saya akan melakukan sesuatu yang kini belum bisa dilakukan. Saat ini saya hanya bisa mengalah; pada ruang dan kesempatan yang terasa ditutup oleh orang-orang seperti mereka. Ya, ini yang saya sebut perlawanan yang tertunda.

Begitulah, saya awali lantun ini memang dengan sesuatu yang penuh emosi. Bukan karena saya sedang merasa tak nyaman atau apapun itu, tapi siang kemarin saya menemukan kejadian tidak menyenangkan. Saya dibangunkan oleh teriakan orang-orang: Maling! Maling! Maling! Tak pelak, dengan mata sembab karena tidur tak lengkap, saya bergegas keluar rumah. Di depan sana, seorang anak remaja dipukuli massa.

Dia tidak melawan. Dia Pasrah. Begitu pun ketika tubuhnya dilempari bensin, siap untuk dibakar.

“Ada apa, Bang?” tanya saya pada seorang tetangga yang berada di sudut kejadian, jauh dari lokasi ‘pembataian’.

“Anak itu, ketahuan lagi mau mencuri sepeda motor bapak itu,” jawabnya sambil menunjuk lelaki yang paling garang memukul dan berteriak.

“Biar tahu rasa, sudah sering kali di daerah ini kecurian…” timpal tetangga lainnya.

“Tapi, apa anak itu juga yang mencuri tempo hari?” pertanyaan ini keluar dari mulut saya tanpa sadar.

Tetangga yang bicara ‘biar tahu rasa’ tadi melirik saya dengan tatapan heran.

Tak lama kemudian dia tersenyum, mungkin dia tahu kalau saya berbicara spontan tanpa maksud membela anak itu. “Gak tahu, tapi ini namanya peringatan bagi maling yang nekat beroperasi di kawasan kita,” ucapnya.

Saya pun tersenyum, tentu bukan karena dia tersenyum, tapi karena jawaban dia tadi. Ayolah, pelajaran? Kenapa dia tetap dipinggir, kenapa tidak ikut memukuli remaja itu! Tapi sudahlah, mungkin dia tidak suka melakukan kekerasan atau tidak mau dilibatkan ketika kasus itu nanti berbuntut panjang, atau dia memang tak mau repot kan sudah ada yang menghakimi.

Tak puas dengan kenyataan di pinggir lokasi kejadian, saya mencoba masuk ke tempat ‘pembantaian’ itu. Sayang, usaha saya tidak sesuai harapan.

Barisan massa yang mengantre memberikan pukulan terlalu rapat.

Saya berbalik, memilih tepat di pinggir, tentunya bukan tempat dua tetangga tadi.

Saya lalu berpikir, mengapa saya harus masuk ke tempat itu, apakah saya ingin menolong sang remaja atau ikut memukuli? Belum lagi saya temukan jawabannya, saya malah berpikir, apa yang ada dalam otak remaja itu; adakah dia menyesal karena sudah membuat salah hingga dia pasrah menerima hukuman atau malah dia menyimpan dendam. Ukh, saya perhatikan mata anak itu tajam memandang sekian orang meski tubuhnya terkesan pasrah menerima pukulan.

“Bakar! Bakar!” terdengar lagi teriakan itu, entah siapa yang teriak. Aneh, setahu saya bensin sudah disiramkan sejak tadi, kenapa belum ada yang menyulut api? “Banyak cakap,” tanpa sadar saya membisikan kalimat itu. Sumpah, entah sisi diri saya yang mana berujar.

Entahlah, saya merasa ada yang membingungkan saja, otak saya seperti tidak menerima, kenapa pembakaran itu belum terlaksana. Kan, katanya tadi untuk pembelajaran bagi kaum maling. Bukan maksud mendukung hal anarkis itu, tapi saya merasa seperti ada yang menggantung dengan kejadian itu.

Ya, jika memang sudah tak percaya dengan aparat hukum hingga warga memilih menghakimi sendiri, kenapa harus nanggung? Ya, bakar saja. Atau pukuli saja tanpa harus melempari bensin. Bukankah begitu? Lalu, jika tidak berani menghakimi semacam pembakaran tersebut, kenapa tidak menyerahkan maling itu langsung ke polisi? Entahlah…, saya jadi kurang tertarik mendiskusikan tingkah warga.

Saya perhatikan lagi remaja yang dipukuli dan yang telah disiram bensin tadi. Hm, tak ada air matanya, yang ada hanya darah. Sinar matanya pun masih lantang, memang tidak melotot, tapi lirikannya secara diamdiam itu begitu mengerikan. Ya, ada dendam di sana.

Terus terang saya membayangkan diri saya menjadi anak itu, apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya menangis hingga massa kasihan? Oh, tidak, massa yang marah malah senang kalau saya menangis. Mereka menjadi tambah beringas karena merasa menang. Lalu, haruskah saya melawan hingga massa lari. Akh, untuk yang terakhir rasanya tidak mungkin.

Tubuh remaja itu kecil, meski pun dia punya ilmu kanuragan andal, tapi melawan puluhan orang dalam ruang sempit semacam itu pastilah kalah.

Hm, apa yang dilakukan anak itu tampaknya benar. Dia pasrah. Dia mencoba menikmati semua pukulan tendangan hingga makian, tidak lupa aroma menyengat bensin yang telah ada di tubuhnya. Ya, dia juga tak lupa mencoba menghafal setiap wajah yang mengelilinginya. Jika menjadi dia, saya tentunya akan balas dendam.

Ayolah, ini manusiawi. Bagaimana tidak, saya disiksa tanpa ada kesempatan membela diri. Baiklah jika saya memang salah, namun bukankah negeri ini masih punya polisi? Ups, bagaimana jika polisi malah menyiksa saya di kantornya sana? Tapi sudahlah, menghadapi kejadian seperti itu memang sudah pas memilih tingkah pasrah. Bagaimanapun kesalahan telah dibuat kan? Jadi, ya terima saja. Masalah tubuh jadi penuh luka kan risiko. Ya, mengalah adalah perlawanan yang tertunda.

Masalah kalah atau menang di akhirnya nanti kan belum ada yang tahu. Begitu kan? (*).

Ramadhan Batubara

Kata bijak memang mengatakan mengalah untuk menang, tapi bagi saya saat ini tidak seperti itu. Bagi saya, mengalah adalah perlawanan yang tertunda. Kenapa? Ya, karena saya tidak ada kesempatan untuk menang dan menyimpan sekian dendam!

ITULAH sebab Chairil Anwar menulis Kalau sampai waktuku//’Ku mau tak seorang kan merayu//Tidak juga kau dalam sajaknya yang berjudul Aku. Ya, di masa depan nanti, saya akan melakukan sesuatu yang kini belum bisa dilakukan. Saat ini saya hanya bisa mengalah; pada ruang dan kesempatan yang terasa ditutup oleh orang-orang seperti mereka. Ya, ini yang saya sebut perlawanan yang tertunda.

Begitulah, saya awali lantun ini memang dengan sesuatu yang penuh emosi. Bukan karena saya sedang merasa tak nyaman atau apapun itu, tapi siang kemarin saya menemukan kejadian tidak menyenangkan. Saya dibangunkan oleh teriakan orang-orang: Maling! Maling! Maling! Tak pelak, dengan mata sembab karena tidur tak lengkap, saya bergegas keluar rumah. Di depan sana, seorang anak remaja dipukuli massa.

Dia tidak melawan. Dia Pasrah. Begitu pun ketika tubuhnya dilempari bensin, siap untuk dibakar.

“Ada apa, Bang?” tanya saya pada seorang tetangga yang berada di sudut kejadian, jauh dari lokasi ‘pembataian’.

“Anak itu, ketahuan lagi mau mencuri sepeda motor bapak itu,” jawabnya sambil menunjuk lelaki yang paling garang memukul dan berteriak.

“Biar tahu rasa, sudah sering kali di daerah ini kecurian…” timpal tetangga lainnya.

“Tapi, apa anak itu juga yang mencuri tempo hari?” pertanyaan ini keluar dari mulut saya tanpa sadar.

Tetangga yang bicara ‘biar tahu rasa’ tadi melirik saya dengan tatapan heran.

Tak lama kemudian dia tersenyum, mungkin dia tahu kalau saya berbicara spontan tanpa maksud membela anak itu. “Gak tahu, tapi ini namanya peringatan bagi maling yang nekat beroperasi di kawasan kita,” ucapnya.

Saya pun tersenyum, tentu bukan karena dia tersenyum, tapi karena jawaban dia tadi. Ayolah, pelajaran? Kenapa dia tetap dipinggir, kenapa tidak ikut memukuli remaja itu! Tapi sudahlah, mungkin dia tidak suka melakukan kekerasan atau tidak mau dilibatkan ketika kasus itu nanti berbuntut panjang, atau dia memang tak mau repot kan sudah ada yang menghakimi.

Tak puas dengan kenyataan di pinggir lokasi kejadian, saya mencoba masuk ke tempat ‘pembantaian’ itu. Sayang, usaha saya tidak sesuai harapan.

Barisan massa yang mengantre memberikan pukulan terlalu rapat.

Saya berbalik, memilih tepat di pinggir, tentunya bukan tempat dua tetangga tadi.

Saya lalu berpikir, mengapa saya harus masuk ke tempat itu, apakah saya ingin menolong sang remaja atau ikut memukuli? Belum lagi saya temukan jawabannya, saya malah berpikir, apa yang ada dalam otak remaja itu; adakah dia menyesal karena sudah membuat salah hingga dia pasrah menerima hukuman atau malah dia menyimpan dendam. Ukh, saya perhatikan mata anak itu tajam memandang sekian orang meski tubuhnya terkesan pasrah menerima pukulan.

“Bakar! Bakar!” terdengar lagi teriakan itu, entah siapa yang teriak. Aneh, setahu saya bensin sudah disiramkan sejak tadi, kenapa belum ada yang menyulut api? “Banyak cakap,” tanpa sadar saya membisikan kalimat itu. Sumpah, entah sisi diri saya yang mana berujar.

Entahlah, saya merasa ada yang membingungkan saja, otak saya seperti tidak menerima, kenapa pembakaran itu belum terlaksana. Kan, katanya tadi untuk pembelajaran bagi kaum maling. Bukan maksud mendukung hal anarkis itu, tapi saya merasa seperti ada yang menggantung dengan kejadian itu.

Ya, jika memang sudah tak percaya dengan aparat hukum hingga warga memilih menghakimi sendiri, kenapa harus nanggung? Ya, bakar saja. Atau pukuli saja tanpa harus melempari bensin. Bukankah begitu? Lalu, jika tidak berani menghakimi semacam pembakaran tersebut, kenapa tidak menyerahkan maling itu langsung ke polisi? Entahlah…, saya jadi kurang tertarik mendiskusikan tingkah warga.

Saya perhatikan lagi remaja yang dipukuli dan yang telah disiram bensin tadi. Hm, tak ada air matanya, yang ada hanya darah. Sinar matanya pun masih lantang, memang tidak melotot, tapi lirikannya secara diamdiam itu begitu mengerikan. Ya, ada dendam di sana.

Terus terang saya membayangkan diri saya menjadi anak itu, apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya menangis hingga massa kasihan? Oh, tidak, massa yang marah malah senang kalau saya menangis. Mereka menjadi tambah beringas karena merasa menang. Lalu, haruskah saya melawan hingga massa lari. Akh, untuk yang terakhir rasanya tidak mungkin.

Tubuh remaja itu kecil, meski pun dia punya ilmu kanuragan andal, tapi melawan puluhan orang dalam ruang sempit semacam itu pastilah kalah.

Hm, apa yang dilakukan anak itu tampaknya benar. Dia pasrah. Dia mencoba menikmati semua pukulan tendangan hingga makian, tidak lupa aroma menyengat bensin yang telah ada di tubuhnya. Ya, dia juga tak lupa mencoba menghafal setiap wajah yang mengelilinginya. Jika menjadi dia, saya tentunya akan balas dendam.

Ayolah, ini manusiawi. Bagaimana tidak, saya disiksa tanpa ada kesempatan membela diri. Baiklah jika saya memang salah, namun bukankah negeri ini masih punya polisi? Ups, bagaimana jika polisi malah menyiksa saya di kantornya sana? Tapi sudahlah, menghadapi kejadian seperti itu memang sudah pas memilih tingkah pasrah. Bagaimanapun kesalahan telah dibuat kan? Jadi, ya terima saja. Masalah tubuh jadi penuh luka kan risiko. Ya, mengalah adalah perlawanan yang tertunda.

Masalah kalah atau menang di akhirnya nanti kan belum ada yang tahu. Begitu kan? (*).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/