31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Ketika Keuntungan adalah Buah Protes Orang Lain

Ramadhan Batubara

Lantun kali ini berawal dari sop dan soto. Tentu, ini tentang makanan yang berair; sesuatu yang cair. Ada yang belum pernah merasakan makanan ini?

Tapi, maaf, jika Anda mengharapkan tulisan ini akan bercerita soal resep atau rahasia sang pembuat dan penjual dua jenis makanan itu. Ini hanya soal warung sop dan soto yang tiba-tiba saja memberikan rangsangan bagi saya untuk menuliskan lantun kali ini.

Ceritanya, saya sering makan siang di warung sop dan soto yang berada di Jalan Karya Jaya, tepatnya beberapa ratus meter sebelum Pasar Baru Johor; yang berada tepat di perbatasan Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Warung ini sedikit tidak terlihat, dia berada di tingkungan dan ada beberapa pohon di depan bangunannya. Tembok warung ini tidak diplaster, dia malah menjual keindahan dari batu bata yang berbaris dan tempelan tepas. Jadi, kesannya lebih tradisional.

Nah, beberapa hari yang lalu ada perbedaan dari warung itu. Saya, tentunya bersama istri, sedikit terkejut saat hendak mencicipi makanan yang kami pesan dan telah dihidangkan. Sang pelayan datang membawa dua gelas air putih. Sungguh, selama beberapa kali kami makan di warung itu, tidak pernah kami disuguhkan air putih. Air minum untuk kami makan adalah minuman yang memang kami pesan; biasanya teh manis dan teh manis dingin.

“Tumben…,” goda istri saya. Sang pelayan tak menjawab. Dia pergi sambil meninggalkan senyuman yang manis.
“Kejutan yang menyenangkan. Tapi, kok bisa?” kali ini saya yang mendapat tanya dari istri.

“Mungkin, sebelum kita ada pembeli yang protes. Jadi, kita kebagian bagusnya,” jawab saya pula.
Fiuh. Jawaban spontan itu malah membuat saya tersadar sesuatu. Ya, keuntungan saya adalah buah dari protes orang lain kan?

Maka, dari kejadian tersebutlah lantun ini bermula. Ya, akhir-akhir ini memang saya sedikit terusik dengan kisah protes. Ayolah, soal reshuffle, tentang dana BOS, dan sebagainya yang belum jelas di negara ini kan memunculkan protes dari beberapa pihak. Baiklah, jika ada yang mengatakan hal itu bukan protes, tapi sekadar kritik membangun atau apalah itu. Yang jelas, bagi saya, protes adalah sebuah tindakan untuk menyampaikan ketidaksetujuan; terserah dengan tulisan, demonstrasi, beropini di media, dan sebagainya.

Menyadari hal itu, saya sedikit miris memandang diri saya sendiri. Bukan apa-apa, saya hanya merasa tidak bisa berdiri sendiri. Semacam ada pikiran kalau apa yang saya raih ini hanya karena orang lain. Dengan kata lain, orang lainlah yang menentukan keberuntungan saya.

Ya, bukankah untuk segelas air putih sejatinya saya tidak butuh protes orang lain kepada pelayan warung sop dan soto itu? Kenapa saya harus menunggu protes orang itu? Bukankah saya dan istri merasa beruntung ketika air putih itu datang?

Hm, mungkin, pemikiran inilah yang menjadi dasar pembentukan kata ‘wakil rakyat’ itu ya. Dengan kesadaran kalau tidak semua orang bisa menyampaikan pendapatnya secara langsung, maka dibutuhkan wakil. Nah, wakil-wakil inilah yang akhirnya menentukan nasib orang-orang.

Saya juga teringat dengan kisah saya beberapa waktu lalu. Ceritanya saat di Simpang Tritura, Jalan AH Nasution. Saat itu traffic light mati, jadi polisi mengatur lalu lintas secara manual. Polisi itu berdiri di tengah, dengan peluit dan tangan dia memberi tanda jalur mana yang boleh jalan. Saya yang berada di jalur dari Titi Kuning menuju Amplas dan mendapati ketidakadilan. Pasalnya, jalur dari Amplas ke Titi Kuning mendapat jatah jalan yang lebih lama.

Nah, dalam keadaan terpedaya semacam itu, tiba-tiba, beberapa pengendara sepeda motor membunyikan klakson. Lalu, seakan dikomando, pengendara lain juga mengikuti. Suara klakson pun membahana. Polisi yang mengatur lalu lintas langsung melihat ke arah kami. Dan, dia seketika menghentikan jalur Amplas ke Titi Kuning. Saya dan pengendara lainpun melaju nyaman. Fiuh, saya ingat, saat itu saya tak membunyikan klakson! Tapi, saat itu bukan saya tak mau, klakson saya sedang rusak. Loh!

Wah, kalau soal klakson rusak, saya malah diingatkan dengan nasib seorang kawan yang sial terus. Begini, karena sering mengalami kebanjiran di kawasan Jalan Brigjen Katamso dia membeli rumah di daerah Namorambe. Logikanya, ke kawasan yang lebih tinggi, maka banjir tak akan mereka alami lagi. Dia pun bergabung di sebuah komplek perumahan yang jumlahnya sampai puluhan ribu unit. Tidak tanggung-tanggung, dia mengubah rumah asli komplek perumahan itu. Dia jadikan rumah itu dua lantai. Dia begitu bangga karena banjir bukan lagi momok. Hm, sebuah usaha yang menarik.

Apa lacur, tampaknya nasib belum berpihak. Beberapa hari yang lalu saat Medan dilanda hujan deras dan angin kencang, rumahnya malah dibobol air. Ceritanya, komplek perumahan itu baru membangun ratusan rumah dari puluhan ribu unit yang direncanakan, jadi masih begitu banyak lahan kosong. Pohon-pohon di kawasan itpun sudah diratakan dengan tanah. Jadi, rumah dua lantai kawan itu menjadi sesuatu yang menonjol. Tak pelak, angin menghajar atap rumah kawan itu. Tiga seng terbang. Air dari langit langsung menyerbu ke dalam rumahnya.
Hm, mau protes kemana? Atau, haruskah dia menunggu protes orang lain agar dia beruntung?
“Ternyata banjir tidak hanya di lembah saja, t**k!” makinya.

Tentu, makian dia tidak membuat saya marah. Saya malah ngakak dengan gigi terkatup. Ya, saya hanya terenyuh dengan ketidakadaan wakil bagi nasibnya. Sedang saya, telah terwakili oleh pembeli di warung sop dan soto atau dengan pengendara di Simpang Tritura kan? (*)

Ramadhan Batubara

Lantun kali ini berawal dari sop dan soto. Tentu, ini tentang makanan yang berair; sesuatu yang cair. Ada yang belum pernah merasakan makanan ini?

Tapi, maaf, jika Anda mengharapkan tulisan ini akan bercerita soal resep atau rahasia sang pembuat dan penjual dua jenis makanan itu. Ini hanya soal warung sop dan soto yang tiba-tiba saja memberikan rangsangan bagi saya untuk menuliskan lantun kali ini.

Ceritanya, saya sering makan siang di warung sop dan soto yang berada di Jalan Karya Jaya, tepatnya beberapa ratus meter sebelum Pasar Baru Johor; yang berada tepat di perbatasan Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Warung ini sedikit tidak terlihat, dia berada di tingkungan dan ada beberapa pohon di depan bangunannya. Tembok warung ini tidak diplaster, dia malah menjual keindahan dari batu bata yang berbaris dan tempelan tepas. Jadi, kesannya lebih tradisional.

Nah, beberapa hari yang lalu ada perbedaan dari warung itu. Saya, tentunya bersama istri, sedikit terkejut saat hendak mencicipi makanan yang kami pesan dan telah dihidangkan. Sang pelayan datang membawa dua gelas air putih. Sungguh, selama beberapa kali kami makan di warung itu, tidak pernah kami disuguhkan air putih. Air minum untuk kami makan adalah minuman yang memang kami pesan; biasanya teh manis dan teh manis dingin.

“Tumben…,” goda istri saya. Sang pelayan tak menjawab. Dia pergi sambil meninggalkan senyuman yang manis.
“Kejutan yang menyenangkan. Tapi, kok bisa?” kali ini saya yang mendapat tanya dari istri.

“Mungkin, sebelum kita ada pembeli yang protes. Jadi, kita kebagian bagusnya,” jawab saya pula.
Fiuh. Jawaban spontan itu malah membuat saya tersadar sesuatu. Ya, keuntungan saya adalah buah dari protes orang lain kan?

Maka, dari kejadian tersebutlah lantun ini bermula. Ya, akhir-akhir ini memang saya sedikit terusik dengan kisah protes. Ayolah, soal reshuffle, tentang dana BOS, dan sebagainya yang belum jelas di negara ini kan memunculkan protes dari beberapa pihak. Baiklah, jika ada yang mengatakan hal itu bukan protes, tapi sekadar kritik membangun atau apalah itu. Yang jelas, bagi saya, protes adalah sebuah tindakan untuk menyampaikan ketidaksetujuan; terserah dengan tulisan, demonstrasi, beropini di media, dan sebagainya.

Menyadari hal itu, saya sedikit miris memandang diri saya sendiri. Bukan apa-apa, saya hanya merasa tidak bisa berdiri sendiri. Semacam ada pikiran kalau apa yang saya raih ini hanya karena orang lain. Dengan kata lain, orang lainlah yang menentukan keberuntungan saya.

Ya, bukankah untuk segelas air putih sejatinya saya tidak butuh protes orang lain kepada pelayan warung sop dan soto itu? Kenapa saya harus menunggu protes orang itu? Bukankah saya dan istri merasa beruntung ketika air putih itu datang?

Hm, mungkin, pemikiran inilah yang menjadi dasar pembentukan kata ‘wakil rakyat’ itu ya. Dengan kesadaran kalau tidak semua orang bisa menyampaikan pendapatnya secara langsung, maka dibutuhkan wakil. Nah, wakil-wakil inilah yang akhirnya menentukan nasib orang-orang.

Saya juga teringat dengan kisah saya beberapa waktu lalu. Ceritanya saat di Simpang Tritura, Jalan AH Nasution. Saat itu traffic light mati, jadi polisi mengatur lalu lintas secara manual. Polisi itu berdiri di tengah, dengan peluit dan tangan dia memberi tanda jalur mana yang boleh jalan. Saya yang berada di jalur dari Titi Kuning menuju Amplas dan mendapati ketidakadilan. Pasalnya, jalur dari Amplas ke Titi Kuning mendapat jatah jalan yang lebih lama.

Nah, dalam keadaan terpedaya semacam itu, tiba-tiba, beberapa pengendara sepeda motor membunyikan klakson. Lalu, seakan dikomando, pengendara lain juga mengikuti. Suara klakson pun membahana. Polisi yang mengatur lalu lintas langsung melihat ke arah kami. Dan, dia seketika menghentikan jalur Amplas ke Titi Kuning. Saya dan pengendara lainpun melaju nyaman. Fiuh, saya ingat, saat itu saya tak membunyikan klakson! Tapi, saat itu bukan saya tak mau, klakson saya sedang rusak. Loh!

Wah, kalau soal klakson rusak, saya malah diingatkan dengan nasib seorang kawan yang sial terus. Begini, karena sering mengalami kebanjiran di kawasan Jalan Brigjen Katamso dia membeli rumah di daerah Namorambe. Logikanya, ke kawasan yang lebih tinggi, maka banjir tak akan mereka alami lagi. Dia pun bergabung di sebuah komplek perumahan yang jumlahnya sampai puluhan ribu unit. Tidak tanggung-tanggung, dia mengubah rumah asli komplek perumahan itu. Dia jadikan rumah itu dua lantai. Dia begitu bangga karena banjir bukan lagi momok. Hm, sebuah usaha yang menarik.

Apa lacur, tampaknya nasib belum berpihak. Beberapa hari yang lalu saat Medan dilanda hujan deras dan angin kencang, rumahnya malah dibobol air. Ceritanya, komplek perumahan itu baru membangun ratusan rumah dari puluhan ribu unit yang direncanakan, jadi masih begitu banyak lahan kosong. Pohon-pohon di kawasan itpun sudah diratakan dengan tanah. Jadi, rumah dua lantai kawan itu menjadi sesuatu yang menonjol. Tak pelak, angin menghajar atap rumah kawan itu. Tiga seng terbang. Air dari langit langsung menyerbu ke dalam rumahnya.
Hm, mau protes kemana? Atau, haruskah dia menunggu protes orang lain agar dia beruntung?
“Ternyata banjir tidak hanya di lembah saja, t**k!” makinya.

Tentu, makian dia tidak membuat saya marah. Saya malah ngakak dengan gigi terkatup. Ya, saya hanya terenyuh dengan ketidakadaan wakil bagi nasibnya. Sedang saya, telah terwakili oleh pembeli di warung sop dan soto atau dengan pengendara di Simpang Tritura kan? (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/