Oleh: Ramadhan Batubara
Hari ini 99 tahun yang lalu, tepatnya 10 April 1912, sebuah kapal berlayar dari Southampton, Inggris, menuju New York, Amerika Serikat. Tergambar keceriaan penumpang, mereka memang berlayar bersama kapal raksasa, Titanic. Benar-benar hebat.
Bayangkan saja, ketika Titanic bergerak meninggalkan tempat berlabuhnya, ombak yang dihasilkan oleh kapal tersebut menyebabkan kapal penumpang New York, yang berlabuh di dekatnya, putus tali tambatnya.
Ya, Titanic merupakan kapal uap penumpang terbesar di dunia pada masa peluncurannya. Belum lagi, kapal tersebut memiliki fasilitas kolam renang, ruang olahraga, pemandian Turki, perpustakaan dan gelanggang squash. Ruang kelas utama dihiasi seluruhnya dengan panel kayu, perabotan mewah dan perhiasan yang indah lainnya.
Tak pelak, Titanic dianggap sebagai puncak arsitektur laut dan pencapaian teknologi.
Sayang, empat hari kemudian, 1500 dari 2.223 kehilangan nyawa. Kapal yang dianggap oleh majalah Ship Builders sebagai kapal yang “hampir tidak mungkin tenggelam” itu karam setelah menabrak gunung es di selatan Grand Banks di Newfoundland.
Membaca sejarah di atas saya terpikirkan soal Medan. Tentu, ini soal banjir. Bukan maksud saya untuk menyarankan Walikota Medan Rahudman Harahap agar menggalang dana untuk membuat kapal semacam Titanic.
Yang ingin saya katakan, Titanic yang terbagi atas 16 ruang kedap air dengan pintu yang diberi pengunci elektrik dan akan menutup hanya dengan menekan satu tombol dari dek kapal saja bisa tenggelam. Maka, bagaimana dengan Medan? Oh, tentu, kalimat saya ini bisa dianggap terlalu mengada-ada.
Ayolah, kapal memang tak sama dengan kota. Namun, dengan apa yang dilakukan oleh White Star Line sebagai pemilik Titanic, tentunya persiapan menangkal karam sudah dipikirkan detail. Dan, tetap saja tenggelam.
Lalu, bagaimana dengan Medan yang penataannya seakan tanpa arah, bisakah bertahan jika banjir kembali datang dan datang terus di kemudian hari?
Teman saya mengatakan, Medan kebanjiran kan karena ada air kiriman dari puncak. Baiklah, saya sepakat dengan kalimatnya itu, meski selain air kiriman, debit hujan memang sedang tinggi. Namun, timbul pertanyaan saya, jika memang aliran air di Medan tidak bermasalah, bukankah air akan langsung ke laut? Ya, kalau begitu, kata teman saya, yang dipuncak saja yang dibenari biar tidak mengalir ke Medan! Jawaban teman saya ini kan mirip dengan kasus Titanic. Ya, kenapa tak dihancurkan saja gunung es di lautan agar kapal tersebut bisa sampai dengan selamat di Amerika Serikat. Bah! Lama-lama kalau berteman dengan kawan tadi bisa bahaya juga ya.
Bagaimana tidak, cara berpikirnya itu agak-agak mengerikan. Ya, semacam anaknya bodoh, eh, malah gurunya yang dimaki.
Memang, guru tugasnya untuk membuat anak pintar, tapi kalau anaknya memang bodoh dan malas, masak gurunya juga yang dimaki. Repot kan?
Parahnya lagi, teman saya yang lain. Dia malah menyarankan walikota untuk membuat program kapal induk bak Nabi Nuh. Itu, katanya, lebih hebat karena tak tenggelam kalau titanic kan karam. Fiuh.
Sumpah, ini bagi saya lebih aneh lagi. Maksudnya begini, jika saja walikota memang mampu menyelamatkan warganya dari bencana banjir dengan kapal ala Nabi Nuh tadi, apakah Kota Medan juga akan selamat? Ayolah, berbicara kota kan bukan semata soal warganya saja. Kota harus dipandang sebagai sebuah kesatuan yang utuh.
Kalau Nabi Nuh kan memang ingin menyelamatkan pengikutnya yang tidak kafir, jadi yang tidak terangkut dalam kapal itu, memang sudah seharusnya hanyut. Nah, apakah sudah seharusnya fisik Kota Medan ini dibiarkan hanyut? Bisa dibayangkan usaha para pejuang kota sejak dulu agar daerah yang bernama Medan ini menjadi metropolitan? Lalu, setelah dia mulai jadi, eh kok malah dibiarkan hanyut. Tak takut kualat?
Belum sempat saya selesaikan pikiran kawan tadi, ada pula teman lain yang menimpal. Teman ini memang tak begitu pusing dengan banjir, pasalnya dia berada di kawasan yang memang bebas banjir.
Kata dia, soal banjir itu bukan tata kota apalagi sampai berpikir soal kapal penyelamat. Banjir itu masalahnya hanya satu, yaitu air. Nah, supaya tak banjir, buang saja airnya. Caranya, tanami sejenis tanaman yang mampu menyedot air sangat banyak di pinggir Sungai Deli, Babura, dan sungai lain yang ada di Medan. Lihatlah Sungai Barumun di Padang Lawas sana, katanya lagi, debit airnya kan sudah tak banyak.
Entahlah, saya tak mau ambil pusing dengan pikiran ‘jenius’nya itu. Saya hanya bisa mengatakan padanya, kalaupun mau ditanami, pinggiran sungai mana yang masih bisa ditanami. Bukankah dia sudah berubah menjadi pohon beton?
Beruntunglah, pertanyaan saya tadi tak ada yang menjawab. Ketiga kawan saya mengerutkan dahi, sepertinya mereka berpikir. Nah, sebelum mereka menemukan pikiran lain, langsung saja saya berikan pertanyaan lain.
Hm, pada 1909 saja sudah ada orang yang berpikir untuk menciptakan kapal antikaram (meski akhirnya karam juga), kenapa di 2011 ini tak kelihatan orang yang bisa membuat air mengalir sampai laut? Bagaimana, ada yang bisa menjawab? (*)
8 April 2011