25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Lebaran, Hari yang Membingungkan di Medan

Seumur hidup saya tidak pernah menikmati Lebaran di Kota Medan. Jadi, Lebaran tahun ini saya berkesempatan menikmati hal itu. Sayangnya, yang saya dapati adalah ketidaknikmatan. Lebaran pertama di Medan pun menjadi tidak terlupakan. Fiuh.

Biasanya, saya Lebaran di rumah orangtua saya di Langsa, Aceh. Begitu pun ketika saya kuliah, jika tidak pulang kampung, saya Lebaran di Jogjakarta. Setelah menikah, selain di Langsa, saya berlebaran di Sibolga atau Padangsidimpuan; kampung keluarga istri.

Dengan latar belakang seperti itu, kesempatan berlebaran di Medan sejatinya menjadi sesuatu yang saya tunggu. Apalagi, tahun ini memang saya tidak bisa mudik (maaf, saya tidak bisa mengungkapkan alasannya). Maka, bersemangatlah saya menerima kenyataan tersebut.

Sayang, kami – saya dan istri – cenderung mengalami ketidaknyamanan. Atas dasar ingin santai, kami memang memilih merayakan Lebaran di hotel. Maklumlah, di rumah kami hanya tinggal berdua, jadi persiapan Lebaran layaknya keluarga lain sulit kami penuhi. Ayolah, bagaimana kami mau mengecat rumah jika rumah itu hanya rumah kontrakan. Bagaimana mau masak lontong dan kue-kue, kami kan kurang mahir. Jadi ya sudah, hotel menjadi pilihan. Tinggal di hotel selama dua hari bukankah menyenangkan? Ya, kami tak harus memikirkan makanan dan bisa ‘terbebas’ dari suara berisik tetangga. He he he he.

Sejatinya, saya sempat ragu untuk berlebaran di hotel. Saya ingat, ketika masih di Jogja, masa Lebaran adalah waktu paling sulit untuk mencari hotel. Ya, pernah saya diminta mencarikan hotel oleh saudara yang ingin Lebaran di Jogja. Ampun, tiga hari lamanya saya mencarikan hotel yang kosong, hasilnya nihil.

Maka, pada 16 Agustus lalu, saya sudah menelpon hotel yang akan kami inapi. Eit, rupanya sangat di luar dugaan. Hotel itu sepi. Kami bebas dan boleh masuk kapan saja. Fiuh.

Dan, cerita baru dimulai. Di hotel yang sepi itulah ketidaknikmatan Lebaran menjadi nyata. Kami masuk ke hotel yang berada di wilayah hukum Polsekta Medan Baru tersebut pada 18 Agustus dan keluar pada 20 Agustus. Sejatinya tidak ada masalah dengan pelayanan hotel di hari pertama. Di resepsionis kami disambut dengan hangat. Pun, kamar yang disediakan cukup menyenangkan.

Tapi, setelah selesai salat Idul Fitri, kami sarapan di restoran hotel itu. Nasi goreng dan ikan sambal menjadi menunya (kenapa bukan lontong, kan Lebaran, he he he). Jujur, saya dan istri kurang selera dengan menu itu. Jadi, kami pun minta menu tambahan dan kami mau membayarnya (sarapannya gratis). Eh, sang pelayan tersenyum. “Maaf Bu, kokinya sedang libur,” begitu katanya.

Sial. Tambah sial lagi ketika siangnya kami kelaparan. Mengharapkan makanan hotel adalah sangat tidak mungkin; kokinya kan libur. Apalagi jika berharap makanan diantar ke kamar, jangan mimpilah! Akhirnya, kami pun bergerak ke luar. Mengendarai Lena (sepeda motor saya yang setia), kami berkeliling, mencari rumah makan yang buka. Jalan Sei Batanghari, Jalan Setiabudi, Jalan dr Mansyur, Jalan Djamin Ginting, Jalan Mongonsidi, Jalan Juanda, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Halat, Jalan HM Jhoni, hingga kembali lagi ke Jalan Gajah Mada dan Iskandar Muda, tetap saja tak ada rumah makan yang buka.

Bingung saat lapar membuat emosi tak stabil bukan? Sempat juga berpikir untuk makan di restoran cepat saji bermerek luar negeri, tapi kami tak minat. Kami ingin makanan ala Indonesia. Praktis, ada sekitar satu jam lebih kami mencari makanan. Hingga akhirnya kami berpikir untuk membeli mie instan, di hotel kan ada fasilitas teko untuk memasak air panas. Beruntung hal itu tidak jadi kami lakukan. Bayangkan saja, Lebaran kok makan mie instan. Kata Naga Bonar: apa kata dunia!

Tapi, Tuhan selalu menolong umatnya yang kesusahan bukan? Apalagi saat Lebaran, tidak boleh orang bersusah bukan? Begitulah, setelah emosi dan capek berkeliling Kota Medan, kami menemukan sebuah warung yang buka. Letaknya malah di jalan yang sebelumnya kami lewati: Jalan Sei Batanghari. Rumah Makan itu ternyata baru buka, terlihat dari kepanikan pelayannya ketika kami datang. Bangku-bangkunya baru dibersihkan. Arang untuk membakar ikan pun belum begitu nyala.

Rumah makan itu menawarkan menu pedesaan. Bentuk bangunannya pun didominasi bambu dan kayu. Dengan kata lain, konsep desa begitu ketara. Nyaman. Kenyang. Ya, bagaimana tidak, makan siang harus dinikmati ketika hari mulai petang, siapa yang tidak lapar?

Tujuh puluh empat ribu rupiah berpindah tangan ke pemilik rumah makan. Tidak masalah. Kami puas. Kami pulang ke hotel sambil tersenyum. Di hotel pelayan menyambut kami dengan senyum yang menawan. Kami tersenyum juga. Sumpah, saya bisa pastikan wajah istri saya pasti tidak akan semanis itu jika kami tidak menemukan rumah makan. Di dalam lift kebingungan kembali mengemuka. “Nanti malam, kita makan di mana?” pertanyaan istri itulah penyebabnya.

Dengan percaya diri saya katakan makan di tempat tadi. “Malas, bosen. Cari yang lain yuk…” balasnya.

Saya tak menjawab ajakkannya. Saya diam saja. Begitupun ketika kami sampai di lantai tiga hingga menuju kamar 308 tempat kami menginap. Ya, saya bingung mau menjawab apa. Lebaran di Medan memang telah membuat saya bingung. Haruskah kami mengunjungi teman kantor yang tidak mudik agar bisa menikmati menu yang lain? Tampaknya ide yang menarik. He he he he he   (*)

Seumur hidup saya tidak pernah menikmati Lebaran di Kota Medan. Jadi, Lebaran tahun ini saya berkesempatan menikmati hal itu. Sayangnya, yang saya dapati adalah ketidaknikmatan. Lebaran pertama di Medan pun menjadi tidak terlupakan. Fiuh.

Biasanya, saya Lebaran di rumah orangtua saya di Langsa, Aceh. Begitu pun ketika saya kuliah, jika tidak pulang kampung, saya Lebaran di Jogjakarta. Setelah menikah, selain di Langsa, saya berlebaran di Sibolga atau Padangsidimpuan; kampung keluarga istri.

Dengan latar belakang seperti itu, kesempatan berlebaran di Medan sejatinya menjadi sesuatu yang saya tunggu. Apalagi, tahun ini memang saya tidak bisa mudik (maaf, saya tidak bisa mengungkapkan alasannya). Maka, bersemangatlah saya menerima kenyataan tersebut.

Sayang, kami – saya dan istri – cenderung mengalami ketidaknyamanan. Atas dasar ingin santai, kami memang memilih merayakan Lebaran di hotel. Maklumlah, di rumah kami hanya tinggal berdua, jadi persiapan Lebaran layaknya keluarga lain sulit kami penuhi. Ayolah, bagaimana kami mau mengecat rumah jika rumah itu hanya rumah kontrakan. Bagaimana mau masak lontong dan kue-kue, kami kan kurang mahir. Jadi ya sudah, hotel menjadi pilihan. Tinggal di hotel selama dua hari bukankah menyenangkan? Ya, kami tak harus memikirkan makanan dan bisa ‘terbebas’ dari suara berisik tetangga. He he he he.

Sejatinya, saya sempat ragu untuk berlebaran di hotel. Saya ingat, ketika masih di Jogja, masa Lebaran adalah waktu paling sulit untuk mencari hotel. Ya, pernah saya diminta mencarikan hotel oleh saudara yang ingin Lebaran di Jogja. Ampun, tiga hari lamanya saya mencarikan hotel yang kosong, hasilnya nihil.

Maka, pada 16 Agustus lalu, saya sudah menelpon hotel yang akan kami inapi. Eit, rupanya sangat di luar dugaan. Hotel itu sepi. Kami bebas dan boleh masuk kapan saja. Fiuh.

Dan, cerita baru dimulai. Di hotel yang sepi itulah ketidaknikmatan Lebaran menjadi nyata. Kami masuk ke hotel yang berada di wilayah hukum Polsekta Medan Baru tersebut pada 18 Agustus dan keluar pada 20 Agustus. Sejatinya tidak ada masalah dengan pelayanan hotel di hari pertama. Di resepsionis kami disambut dengan hangat. Pun, kamar yang disediakan cukup menyenangkan.

Tapi, setelah selesai salat Idul Fitri, kami sarapan di restoran hotel itu. Nasi goreng dan ikan sambal menjadi menunya (kenapa bukan lontong, kan Lebaran, he he he). Jujur, saya dan istri kurang selera dengan menu itu. Jadi, kami pun minta menu tambahan dan kami mau membayarnya (sarapannya gratis). Eh, sang pelayan tersenyum. “Maaf Bu, kokinya sedang libur,” begitu katanya.

Sial. Tambah sial lagi ketika siangnya kami kelaparan. Mengharapkan makanan hotel adalah sangat tidak mungkin; kokinya kan libur. Apalagi jika berharap makanan diantar ke kamar, jangan mimpilah! Akhirnya, kami pun bergerak ke luar. Mengendarai Lena (sepeda motor saya yang setia), kami berkeliling, mencari rumah makan yang buka. Jalan Sei Batanghari, Jalan Setiabudi, Jalan dr Mansyur, Jalan Djamin Ginting, Jalan Mongonsidi, Jalan Juanda, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Halat, Jalan HM Jhoni, hingga kembali lagi ke Jalan Gajah Mada dan Iskandar Muda, tetap saja tak ada rumah makan yang buka.

Bingung saat lapar membuat emosi tak stabil bukan? Sempat juga berpikir untuk makan di restoran cepat saji bermerek luar negeri, tapi kami tak minat. Kami ingin makanan ala Indonesia. Praktis, ada sekitar satu jam lebih kami mencari makanan. Hingga akhirnya kami berpikir untuk membeli mie instan, di hotel kan ada fasilitas teko untuk memasak air panas. Beruntung hal itu tidak jadi kami lakukan. Bayangkan saja, Lebaran kok makan mie instan. Kata Naga Bonar: apa kata dunia!

Tapi, Tuhan selalu menolong umatnya yang kesusahan bukan? Apalagi saat Lebaran, tidak boleh orang bersusah bukan? Begitulah, setelah emosi dan capek berkeliling Kota Medan, kami menemukan sebuah warung yang buka. Letaknya malah di jalan yang sebelumnya kami lewati: Jalan Sei Batanghari. Rumah Makan itu ternyata baru buka, terlihat dari kepanikan pelayannya ketika kami datang. Bangku-bangkunya baru dibersihkan. Arang untuk membakar ikan pun belum begitu nyala.

Rumah makan itu menawarkan menu pedesaan. Bentuk bangunannya pun didominasi bambu dan kayu. Dengan kata lain, konsep desa begitu ketara. Nyaman. Kenyang. Ya, bagaimana tidak, makan siang harus dinikmati ketika hari mulai petang, siapa yang tidak lapar?

Tujuh puluh empat ribu rupiah berpindah tangan ke pemilik rumah makan. Tidak masalah. Kami puas. Kami pulang ke hotel sambil tersenyum. Di hotel pelayan menyambut kami dengan senyum yang menawan. Kami tersenyum juga. Sumpah, saya bisa pastikan wajah istri saya pasti tidak akan semanis itu jika kami tidak menemukan rumah makan. Di dalam lift kebingungan kembali mengemuka. “Nanti malam, kita makan di mana?” pertanyaan istri itulah penyebabnya.

Dengan percaya diri saya katakan makan di tempat tadi. “Malas, bosen. Cari yang lain yuk…” balasnya.

Saya tak menjawab ajakkannya. Saya diam saja. Begitupun ketika kami sampai di lantai tiga hingga menuju kamar 308 tempat kami menginap. Ya, saya bingung mau menjawab apa. Lebaran di Medan memang telah membuat saya bingung. Haruskah kami mengunjungi teman kantor yang tidak mudik agar bisa menikmati menu yang lain? Tampaknya ide yang menarik. He he he he he   (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/