25.1 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Banyak Cara Menjaga Nama

Oleh: Ramadhan Batubara

Beberapa hari lalu ada berita di media soal Ketua DPR RI Marzuki Alie yang tak puas dengan jejaring sosial. Katanya, jejaring sosial itu kejam;
dia bisa memutarbalikkan fakta dan penuh kebohongan karena akun di jejaring sosial banyak yang palsu. Fiuh. Kabar basi ya….
Tapi tunggu dulu, meski sudah basi, saya malah tertarik dengan pernyataan itu. Ayolah, yang beri pernyataan ini adalah seorang pejabat, bayangkan Ketua DPR RI! Ya, bukan barang baru juga kalau berita basi pun bisa menjadi hangat jika dikatakan oleh orang yang tepat; baik tepat secara buruk maupun tepat secara baik. Perhatikan kutipan berita yang dimuat beberapa media belum lama ini.

Ketua DPR Marzuki Alie akhirnya aktif di twitter dan facebook. Melalui jejaring sosial dia ingin memberikan informasi yang benar tentang dirinya. Karena dia tahu potensi yang dimiliki jejaring sosial. “Twitter baru beberapa bulan inilah. Waktu saya kena kasus TKW dihujat, Mentawai, saya harus buat pelurusan. Karena jejaring sosial ini luar biasa kejamnya. Di situ saya mulai buka twitter dan FB,” kata Marzuki.

Politisi Partai Demokat ini mengamini betapa dahsyatnya kekuatan jejaring sosial. Cuma yang dia sayangkan di ranah twitter misalnya, banyak yang memakai akun palsu. “Banyak yang di twitter itu namanya palsu, tidak terbuka, tidak ada keberanian. Makanya kalau saya bilang Anda pengecut tidak punya keberanian, kalau berani tampil seperti saya Marzuki Alie DPR, @MA_DPR apa adanya,” imbuhnya.

Sebenarnya apa yang dialami Marzuki banyak dialami orang lain. Melalui jejaring sosial, bukan sesuatu yang baru kalau ada orang lain yang memfitnah orang lainnya. Ayolah, di dunia nyata (bukan maya) saja soal memfitnah adalah sesuatu yang lumrah, apalagi di dunia maya bukan?

Seorang teman beberapa waktu lalu terpaksa membuang atau membatalkan pertemanannya dengan seseorang di jejaring sosial. Dia tidak suka dengan pernyataan-pernyataan mantan temannya itu. Terlalu fulgar. Terlalu ingin mencari perhatian. Terlalu menjijikkan. Kasarnya, ketika dia lagi baik, maka dia akan memuji habis-habisan, begitu juga sebaliknya. Masalahnya, tidak seperti di dunia nyata, di jejaring sosial, seluruh dunia bisa membaca. Misalnya, suatu hari mereka berdua terlibat masalah. Eh, di status mantan temannya itu langsung keluar kalimat: katanya lulusan universitas tingkat nasional kok mentalnya sarjana lokalisasi.

Perhatikan, kalimat di atas cukup menyakitkan kan? Pertama, mantan temannya itu telah mengabarkan kepada dunia tentang yang terjadi pada mereka. Hm, apa yang terjadi pada teman itu dengan orang lain dan mantan teman itu dengan orang lain kan beda, kenapa semua orang harus tahu? Lalu, gara-gara si mantan teman tidak tahu bahasa Indonesia yang benar, si teman pun mendapat cap jelek. Perhatikan kata ‘lokalisasi’, harusnya cukup lokal saja kan? Heheheh….

Tapi sudahlah, intinya lantun kali ini memang mau menyoroti soal bagaimana seseorang menjaga citra. Untuk hal ini, memang unsur media sangat penting. Karena itu, di zaman dulu raja dan kerajaannya selalu ‘memelihara’ seniman. Ini dilakukan agar seniman itu bisa menghasilkan karya adiluhung yang tak akan termakan zaman. Nah, dalam karya agung itu, tentunya sang seniman akan memasukan sang raja dan kerajaannya kan. Nah, di kemudian hari, karya itu pun menjadi saksi sejarah. Padahal, bisa saja sang raja tak sehebat aslinya bukan?

Saya teringat dengan terbitnya buku tentang Soeharto. Sebut saja Biografi Daripada Soeharto Dari Kemusuk Hingga Kudeta, terbitan Media Presindo oleh Yogaswara; Harta dan Yayasan Soeharto, terbitan Media Presindo oleh Indra Ismawan; HM. Soeharto Membangun Citra Islam, terbitan Asiamark oleh Mistah Yusuf; dan The Life and Legacy of Indonesia’s Second President oleh Retnowati. Nah, yang terbaru adalah ‘Pak Harto, The Untold Stories; buku ini berisi kesaksian 113 orang tokoh dalam dan luar negeri tentang sisi kemanusiaan Soeharto. Selain itu ada pula kisah-kisah yang dituturkan para mantan ajudan ataupun rakyat biasa.

Bagi saya buku yang terakhir ini sedikit menggelitik. Pasalnya, buku ini (sayangnya saya belum baca) hadir di saat yang sedikit mencurigakan. Ada kesan buku ini sengaja dikeluarkan untuk kembali membangkitkan kenangan baik untuk tokoh yang menjadi hujatan di akhir 1990-an hingga awal 2000-an itu. Kasarnya, karakter Soeharto yang sempat jelek ingin diharumkan kembali. Ujung-ujungnya kemana? Ya, tanyakan pada rumput yang bergoyang kata Ebit G Ade.

Tapi sudahlah, soal menjaga citra memang sesuatu yang pelik. Kita harus jeli melihat suatu fenomena dari sekian banyak sudut. Bahkan, untuk melihat berita yang benar saja, kata para ahli komunikasi,  kita wajib membaca sedikitnya enam koran. Intinya, kebenaran itu kan tergantung suara yang besar, kata orang Medan pula. Hehehe.
Jika sudah seperti itu keadaannya, saya sedikit miris dengan sejarah bangsa ini. Ayolah, siapakah pahlawan yang kita miliki pada zaman pra perang kemerdekaan. Bukankah kita ketahui mereka dari buku pelajaran yang dicetak dan dibuat oleh Belanda? Siapa mereka itu, bukankah mereka adalah pejuang daerah yang berhasil dikalahkan oleh Belanda? Ya, mungkinkah Belanda menuliskan tokoh-tokoh yang tidak berhasil mereka taklukkan untuk menjadi bahan pelajaran di sekolah yang diciptakan di negara jajahan mereka? Pertanyaannya, kemana pejuang yang berhasil menang dan tidak pernah ditaklukan oleh Belanda, adakah mereka menjadi pahlawan kita?

Karena itu, Ketua DPR RI Marzuki Alie, Anda sudah benar dengan membuat akun di jejaring sosial itu. Padahal, Anda kan bisa membuat undang-undang untuk melarang jejaring sosial di Indonesia. Bukankah begitu?
Tapi, kalau tetap sewot juga karena membaca akun yang aneh-aneh tentang Anda, tak perlu marah pula kan. Biarkan sajalah. Kalau marah, nanti bisa dicurigai. Seperti kata pepatah, marah tandanya cinta. He he he. (*)
10 Juni 2011

Oleh: Ramadhan Batubara

Beberapa hari lalu ada berita di media soal Ketua DPR RI Marzuki Alie yang tak puas dengan jejaring sosial. Katanya, jejaring sosial itu kejam;
dia bisa memutarbalikkan fakta dan penuh kebohongan karena akun di jejaring sosial banyak yang palsu. Fiuh. Kabar basi ya….
Tapi tunggu dulu, meski sudah basi, saya malah tertarik dengan pernyataan itu. Ayolah, yang beri pernyataan ini adalah seorang pejabat, bayangkan Ketua DPR RI! Ya, bukan barang baru juga kalau berita basi pun bisa menjadi hangat jika dikatakan oleh orang yang tepat; baik tepat secara buruk maupun tepat secara baik. Perhatikan kutipan berita yang dimuat beberapa media belum lama ini.

Ketua DPR Marzuki Alie akhirnya aktif di twitter dan facebook. Melalui jejaring sosial dia ingin memberikan informasi yang benar tentang dirinya. Karena dia tahu potensi yang dimiliki jejaring sosial. “Twitter baru beberapa bulan inilah. Waktu saya kena kasus TKW dihujat, Mentawai, saya harus buat pelurusan. Karena jejaring sosial ini luar biasa kejamnya. Di situ saya mulai buka twitter dan FB,” kata Marzuki.

Politisi Partai Demokat ini mengamini betapa dahsyatnya kekuatan jejaring sosial. Cuma yang dia sayangkan di ranah twitter misalnya, banyak yang memakai akun palsu. “Banyak yang di twitter itu namanya palsu, tidak terbuka, tidak ada keberanian. Makanya kalau saya bilang Anda pengecut tidak punya keberanian, kalau berani tampil seperti saya Marzuki Alie DPR, @MA_DPR apa adanya,” imbuhnya.

Sebenarnya apa yang dialami Marzuki banyak dialami orang lain. Melalui jejaring sosial, bukan sesuatu yang baru kalau ada orang lain yang memfitnah orang lainnya. Ayolah, di dunia nyata (bukan maya) saja soal memfitnah adalah sesuatu yang lumrah, apalagi di dunia maya bukan?

Seorang teman beberapa waktu lalu terpaksa membuang atau membatalkan pertemanannya dengan seseorang di jejaring sosial. Dia tidak suka dengan pernyataan-pernyataan mantan temannya itu. Terlalu fulgar. Terlalu ingin mencari perhatian. Terlalu menjijikkan. Kasarnya, ketika dia lagi baik, maka dia akan memuji habis-habisan, begitu juga sebaliknya. Masalahnya, tidak seperti di dunia nyata, di jejaring sosial, seluruh dunia bisa membaca. Misalnya, suatu hari mereka berdua terlibat masalah. Eh, di status mantan temannya itu langsung keluar kalimat: katanya lulusan universitas tingkat nasional kok mentalnya sarjana lokalisasi.

Perhatikan, kalimat di atas cukup menyakitkan kan? Pertama, mantan temannya itu telah mengabarkan kepada dunia tentang yang terjadi pada mereka. Hm, apa yang terjadi pada teman itu dengan orang lain dan mantan teman itu dengan orang lain kan beda, kenapa semua orang harus tahu? Lalu, gara-gara si mantan teman tidak tahu bahasa Indonesia yang benar, si teman pun mendapat cap jelek. Perhatikan kata ‘lokalisasi’, harusnya cukup lokal saja kan? Heheheh….

Tapi sudahlah, intinya lantun kali ini memang mau menyoroti soal bagaimana seseorang menjaga citra. Untuk hal ini, memang unsur media sangat penting. Karena itu, di zaman dulu raja dan kerajaannya selalu ‘memelihara’ seniman. Ini dilakukan agar seniman itu bisa menghasilkan karya adiluhung yang tak akan termakan zaman. Nah, dalam karya agung itu, tentunya sang seniman akan memasukan sang raja dan kerajaannya kan. Nah, di kemudian hari, karya itu pun menjadi saksi sejarah. Padahal, bisa saja sang raja tak sehebat aslinya bukan?

Saya teringat dengan terbitnya buku tentang Soeharto. Sebut saja Biografi Daripada Soeharto Dari Kemusuk Hingga Kudeta, terbitan Media Presindo oleh Yogaswara; Harta dan Yayasan Soeharto, terbitan Media Presindo oleh Indra Ismawan; HM. Soeharto Membangun Citra Islam, terbitan Asiamark oleh Mistah Yusuf; dan The Life and Legacy of Indonesia’s Second President oleh Retnowati. Nah, yang terbaru adalah ‘Pak Harto, The Untold Stories; buku ini berisi kesaksian 113 orang tokoh dalam dan luar negeri tentang sisi kemanusiaan Soeharto. Selain itu ada pula kisah-kisah yang dituturkan para mantan ajudan ataupun rakyat biasa.

Bagi saya buku yang terakhir ini sedikit menggelitik. Pasalnya, buku ini (sayangnya saya belum baca) hadir di saat yang sedikit mencurigakan. Ada kesan buku ini sengaja dikeluarkan untuk kembali membangkitkan kenangan baik untuk tokoh yang menjadi hujatan di akhir 1990-an hingga awal 2000-an itu. Kasarnya, karakter Soeharto yang sempat jelek ingin diharumkan kembali. Ujung-ujungnya kemana? Ya, tanyakan pada rumput yang bergoyang kata Ebit G Ade.

Tapi sudahlah, soal menjaga citra memang sesuatu yang pelik. Kita harus jeli melihat suatu fenomena dari sekian banyak sudut. Bahkan, untuk melihat berita yang benar saja, kata para ahli komunikasi,  kita wajib membaca sedikitnya enam koran. Intinya, kebenaran itu kan tergantung suara yang besar, kata orang Medan pula. Hehehe.
Jika sudah seperti itu keadaannya, saya sedikit miris dengan sejarah bangsa ini. Ayolah, siapakah pahlawan yang kita miliki pada zaman pra perang kemerdekaan. Bukankah kita ketahui mereka dari buku pelajaran yang dicetak dan dibuat oleh Belanda? Siapa mereka itu, bukankah mereka adalah pejuang daerah yang berhasil dikalahkan oleh Belanda? Ya, mungkinkah Belanda menuliskan tokoh-tokoh yang tidak berhasil mereka taklukkan untuk menjadi bahan pelajaran di sekolah yang diciptakan di negara jajahan mereka? Pertanyaannya, kemana pejuang yang berhasil menang dan tidak pernah ditaklukan oleh Belanda, adakah mereka menjadi pahlawan kita?

Karena itu, Ketua DPR RI Marzuki Alie, Anda sudah benar dengan membuat akun di jejaring sosial itu. Padahal, Anda kan bisa membuat undang-undang untuk melarang jejaring sosial di Indonesia. Bukankah begitu?
Tapi, kalau tetap sewot juga karena membaca akun yang aneh-aneh tentang Anda, tak perlu marah pula kan. Biarkan sajalah. Kalau marah, nanti bisa dicurigai. Seperti kata pepatah, marah tandanya cinta. He he he. (*)
10 Juni 2011

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/