Ramadhan Batubara
Pada sebuah warung kopi, seorang kawan saya tergelak menceritakan kisah adiknya. Dia ceritakan, adiknya yang tahun ini masuk ke sekolah dasar ternyata sudah hebat menipu demi keuntungan pribadi. Dan, korbannya siapa lagi kalau bukan kawan saya tadi.
KISAH ini terungkap, tentunya versi pengakuan kawan saya itu, setelah orangtua mereka memasukan sang adik ke sekolah yang diinginkannya tersebut. Sang kawan sedikit terkejut, pasalnya sekolah yang dimaksud adalah sekolah mahal. “Kan kau yang menyuruh dia masuk ke situ,” jawab sang orangtua ketika si kawan menanyakan hal itu. Langsung saja kawan saya membantah.
“Apanya kau ini, dia bilang kekgitu kok,” balas sang orangtua pula.
Tak mau berdebat, kawan saya langsung menjumpai adiknya. Dengan cengengesan, si adik menjawab, “Aku maunya sekolah di situ, Bang.”
“Ya, tapi aku kan gak ada nyuruh kau sekolah di situ, kenapa kau jual namaku sama Mamak,” balas kawan saya.
“Aku maunya sekolah di situ, Bang.”
Ya sudah, daripada sang adek menangis, kawan saya tadi pun langsung menggaruk-garuk kepala. Bagaimana tidak, perjanjiannya, untuk biaya sekolah sang adik, adalah tanggungannya. Dan, si adek kini sudah tersenyum karena resmi menjadi murid sekolah yang diinginkannya itu.
Terus terang, kisah di atas bukan rekaan. Sengaja saya kutip cerita kawan itu di lantun ini karena beberapa hari belakangan memang lagi trend kasus menjual nama demi keunutngan pribadi. Sebut saja nama SBY yang kabarnya telah bolak-balik dicatut alias dijual oknum tertentu. Yang terdekat adalah soal Universitas Sumatera Utara. Nah, saking maraknya kasus pencatutan nama SBY, Mendagri pun segera membuat daftar para pencatut itu.
Baiklah, harus saya katakan salut dengan para pencatut itu. Bukan maksud untuk mendukung mereka, namun yang saya bayangkan adalah mental mereka. Saya yakin, hal semacam itu tidak diajarkan di bangku sekolah, nah, dari mana mereka mendapat ilmu itu. Bayangkan, yang namanya mereka catut tidak tangung-tanggung: presiden!
Tapi, sudahlah, apapun itu semuanya telah terjadi. Pertanyaannya adalah kenapa orang bisa diperdaya oleh mereka. Ya, bukankah modal mereka hanya omongan saja. Mungkinkah seorang SBY merelakan namanya dijual semacam itu? Ayolah, itu kan namanya pencemaran nama baik; bisa dituntut dan dipenjarakan. Atau, jangan-jangan SBY telah merestui hal itu? Tapi, apa buktinya?
Sejatinya jika SBY memberi restu, bukankah harus ada tanda pastinya. Maksudnya begini, untuk melakukan tugas, tentunya dibutuhkan surat tugas kan? Bah, muncul pula pertanyaan lain,
bagaimana jika tugas khusus yang tidak boleh meninggalkan jejak. Hm, tampaknya pertanyaan inilah yang menjadi jawaban. Sang pencatut pasti berlindung dari kata ‘tugas khusus’ tadi. Dia cukup menjual kedekatannya dengan SBY saja, padahal bisa saja itu di luar kendali SBY. Nah, pemikiran terakhir inilah yang tampaknya sering terjadi di negeri tercinta ini.
Saya jadi teringat seorang kenalan menawarkan ‘job’ kepada saya saat penerimaan CPNS beberapa waktu lalu. Ya, dia mengajak saya untuk berbisnis ringan tapi beruntung besar.
“Kau kan wartawan banyak kenal pejabat. Apalagi pas kau kawin, orang bisa melihat papan bunga dari pejabat-pejabat itu. Nah, bilang saja kalau kau bisa memasukan orang untuk menjadi PNS. Terima uangnya setengah, setelah lulus setengahnya lagi. Nah, kalau tak lulus, uangnya kau kembalikan. Biarkan saja mereka ujian, kau pura-pura mengurus gitu. Kalau mereka menuntut, kan tinggal bilang kalau jatahnya diambil anak atau saudara pejabat dari pusat. Dan, untuk hal semacam ini tak perlu kuitansi? Gampangkan?”
Fiuh. Perhatikan, soal menjual nama bisa menjadi begitu gampang. Seperti tawaran kenalan tadi, yang siap memberikan korban, adalah bukan kerja berat bagi saya. Siapa yang tidak percaya dengan saya ketika mengetahui kalau ada papan bunga dari gubernur, wakil gubernur, wali kota, beberapa bupati dan pejabat lainnya di pernikahan saya. Padahal, jika korban bisa lebih cermat, dengan adanya papan bunga itu bukan berarti hubungan saya dengan para pejabat itu akrab kan? Ya, bukankah para pejabat itu memiliki staf yang mengurusi hal semacam itu. Dengan kata lain, ketika ada undangan masuk ke kantor mereka, maka papan bunga pun hadir di rumah pengundang.
Tapi begitulah, kadang kita memang cenderung tidak bijak ketika terdesak. Semacam korban pencatutan nama SBY tadi, jika saja korban mau lebih cermat, tentunya dia tidak akan gampang meluluskan permintaan sang pencatut itu. Masalahnya, kadang sang korban sudah ketakutan begitu mendengar nama yang dicatut. Ditambah lagi, ada bukti kedekatan antara si pencatut dengan yang namanya dicatut. Jika sudah begitu, ya mau apa dibilang, sukseslah program tersebut.
Sejatinya untuk menangkal hal itu, sang korban wajib meminta bukti otentik dari sang pencatut. Misalnya bukti yang berbentuk surat atau apalah, hingga jika dikemudian hari menjadi masalah, sang korban bisa membela diri. Dan ingat, bukti yang dimaksud adalah langsung dari yang namanya dicatut. Kasarnya, sang korban harus menjadikan si pencatut sebagai kurir semata.
Hm, idealnya, perlu konfirmasi langsung pada oknum yang namanya dicatut. Seperti kawan saya tadi yang mengkonfirmasi langsung pada adiknya. Ya, kalaupun ternyata benar, ya sudah berikan saja jika sesuai kesepakatan dan tidak merugikan secara pribadi. Bukankah begitu? (*)