29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Berbuat Baik juga Butuh Kesepakatan

Ramadhan Batubara

Lalu, produsen pakaian Benetton bikin heboh. Bagaimana tidak, demi kampanye ‘memerangi kebencian dalam segala bentuk’ yang mereka galakkan, perusahaan asal Italia ini malah berbuat nekat. Mereka produksi iklan bergambar tokoh dunia saling berciuman.

Masalahnya, seandainya permisi ke pihak tokoh itu, Benetton mungkin saja tidak dipermasalahkan. Ups, tunggu dulu, saya rasa masalahnya tidak hanya di situ saja. Baiklah, untuk melihat permasalahannya, coba perhatikan gambar yang direkayasa Benetton berikut ini. Pertama, gambar pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus Benediktus XVI, sedang berciuman dengan Ahmed Mohammed El-Tayed, imam masjid Al-Azhar. Lalu, Presiden AS Barack Obama berciuman dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez, Kanselir Jerman Angela Merkel berciuman dengan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, Presiden Palestina Mahmoud Abbas dengan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, Presiden China Hu Jintao dengan Barack Obama, serta Presiden Korea Utara Kim Jong-Il dengan Presiden Korea Selatan Lee Myung-Bak. Fiuh.
Mari berandai-andai, mungkinkah Benetton diperbolehkan jika minta izin pada tokoh-tokoh itu?

Terlepas dari itu, sejatinya — seperti dilansir beberapa media — yang ditekankan Benetton dalam iklan ini sebenarnya adalah rasa cinta, yang disimbolkan dengan ciuman yang sudah tersohor sebagai simbol cinta paling universal di dunia. Mereka menggabungkan gambar dua pemimpin dunia yang berseteru kemudian menyuntingnya sehingga terlihat seolah sedang berciuman. Ini dinilai sebagai bentuk perlawanan terhadap rasa benci dan menciptakan kultur toleransi.
Tapi begitulah, apapun alasannya Benetton tetap saja dianggap bersalah. Berbicara soal perdamaian dengan memerangi kebencian adalah luhur, namun memakai tokoh-tokoh yang ‘berkonflik’ sebagai model dianggap keterlaluan. Ya, dengan kata lain, untuk berbuat baik pun kita tidak bisa sembarangan.

Saya jadi teringat dengan usaha ‘perdamaian’ yang diusung oleh tetangga. Dia melakukan kampanye dengan memberikan makanan kepada kami (saya dan istrinya). Nyaris setiap dua hari sekali dia datang, berteriak memanggil istri saya, sambil menyodorkan makanan dalam sebuah piring. Awalnya tidak masalah karena hal semacam itu kan biasa dalam kehidupan bertetangga. Seperti biasa, di manapun bertetangga, kami pun menyimpan piring itu dan di kemudian hari mengembalikannya beserta makanan yang kami siapkan.

Beberapa hari kemudian, tetangga itu pun berteriak lagi. Sepiring daun ubi tumbuk masuk ke rumah kami. Tak lama kemudian, kami berikanlah gulai ikan kepada dia. Eh, sehari kemudian dia memberikan kare kambing. Fiuh. Istri saya pun terpaksa membeli sambal balado hati di warung padang. Dengan piring tetangga yang sebelumnya berisi kare kambing (setelah dicuci tentunya) sambal balado hati pun kami berikan. Tapi, setelah itu, tetatangga kami malah bertambah sering memberikan makanan. Kami menyerah, tidak mungkin kan terus-menerus seperti itu? Tak pelak, sedikitnya ada tiga piring miliknya yang kami simpan. Ujung-ujungnya, istri saya bingung. “Apalagi yang harus kita kasih ke sebelah?” curhatnya.
“Rasanya perkenalan kita dengan tetangga itu kan sudah cukup…,” tambahnya.
Saya tertawa saja.

Terus terang, saya sadar, kalau tetangga kami itu hanya ingin berteman. Mungkin salah satu cara yang dipilihnya adalah dengan saling berbagi. Tentu sama sekali tidak terpikir bagi saya kalau dia ingin membuat kami repot. Pun, sejatinya saya menduga kalau dia tidak mengharapkan pemberian kami. Jadi, pemberiannya adalah tulus. Masalahnya,  kami terbiasa dengan kalimat orang-orang tua yang mengatakan: jika tetangga memberikan sesuatu dengan piring, jangan kembalikan piring itu dalam keadaan kosong.

Kejadian yang menimpa kami ini kan mirip dengan Benetton. Ya, atas nama cinta damai, mereka menggunakan tokoh yang ‘berkonflik’ sebagai ikon. Tentu kampanye ini akan sangat cepat mencuri perhatian. Sosok paus dan imam adalah wakil dari masing-masing kepercayaan yang dalam sudut pandang Benetton sebagai tokoh yang berseberangan.

Tak pelak, hal ini langsung menuai kecaman. “Peristiwa ini benar-benar menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap Paus, penghinaan terhadap perasaan umat beragama, dan contoh yang jelas tentang bagaimana iklan bisa melanggar aturan dasar untuk menghormati orang melalui cara yang provokatif,” kecam juru bicara Thata Suci Frederico Lombardi.

Mungkin, sebagai sosok dari kepercayaan yang dianggap ‘berseberangan’ masih bisa dimaklumi, tapi bagaimana dengan ciuman antarlelaki? Apakah Benetton memikirkan itu? Entahlah.
Benetton dan tetangga saya tampaknya terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Benetton sibuk mengkampanyekan damai tanpa melihat sisi lain dari tokoh yang dijadikannya ikon. Pun, tetangga saya yang sibuk berusaha mengakrabkan diri tanpa peduli pusingnya kami memikirkan apa lagi yang bisa kami berikan padanya.

Tapi, apapun itu, sekali lagi saya katakan untuk berbuat baik itu ternyata tidak gampang. Contohnya seorang dosen saya saat masih kuliah dulu. Dia bercerita pernah dimaki seorang perempuan di Amerika Serikat sana. Ceritanya, saat itu dia naik semacam bus kota, dia duduk dekat jendela. Selang beberapa menit naiklah seorang perempuan. Dasar orang yang kenal tata krama ala Timur, dosen tadi langsung berdiri dan mempersilahkan si perempuan duduk. “Kamu pikir saya tidak mampu berdiri! Kamu pikir saya sudah tua! Kamu pikir saya perempuan manja!” begitulah kata perempuan itu (tentunya dalam bahasa Inggris). Tak pelak, dengan muka malu, dosen tadi pun duduk kembali.
Begitulah, berbuat baik memang harus diartikan baik oleh si penerima perbuatan itu bukan? Jika tidak, ya, berarti kejahatan. Bukankah begitu? (*)

Ramadhan Batubara

Lalu, produsen pakaian Benetton bikin heboh. Bagaimana tidak, demi kampanye ‘memerangi kebencian dalam segala bentuk’ yang mereka galakkan, perusahaan asal Italia ini malah berbuat nekat. Mereka produksi iklan bergambar tokoh dunia saling berciuman.

Masalahnya, seandainya permisi ke pihak tokoh itu, Benetton mungkin saja tidak dipermasalahkan. Ups, tunggu dulu, saya rasa masalahnya tidak hanya di situ saja. Baiklah, untuk melihat permasalahannya, coba perhatikan gambar yang direkayasa Benetton berikut ini. Pertama, gambar pemimpin tertinggi umat Katolik, Paus Benediktus XVI, sedang berciuman dengan Ahmed Mohammed El-Tayed, imam masjid Al-Azhar. Lalu, Presiden AS Barack Obama berciuman dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez, Kanselir Jerman Angela Merkel berciuman dengan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, Presiden Palestina Mahmoud Abbas dengan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, Presiden China Hu Jintao dengan Barack Obama, serta Presiden Korea Utara Kim Jong-Il dengan Presiden Korea Selatan Lee Myung-Bak. Fiuh.
Mari berandai-andai, mungkinkah Benetton diperbolehkan jika minta izin pada tokoh-tokoh itu?

Terlepas dari itu, sejatinya — seperti dilansir beberapa media — yang ditekankan Benetton dalam iklan ini sebenarnya adalah rasa cinta, yang disimbolkan dengan ciuman yang sudah tersohor sebagai simbol cinta paling universal di dunia. Mereka menggabungkan gambar dua pemimpin dunia yang berseteru kemudian menyuntingnya sehingga terlihat seolah sedang berciuman. Ini dinilai sebagai bentuk perlawanan terhadap rasa benci dan menciptakan kultur toleransi.
Tapi begitulah, apapun alasannya Benetton tetap saja dianggap bersalah. Berbicara soal perdamaian dengan memerangi kebencian adalah luhur, namun memakai tokoh-tokoh yang ‘berkonflik’ sebagai model dianggap keterlaluan. Ya, dengan kata lain, untuk berbuat baik pun kita tidak bisa sembarangan.

Saya jadi teringat dengan usaha ‘perdamaian’ yang diusung oleh tetangga. Dia melakukan kampanye dengan memberikan makanan kepada kami (saya dan istrinya). Nyaris setiap dua hari sekali dia datang, berteriak memanggil istri saya, sambil menyodorkan makanan dalam sebuah piring. Awalnya tidak masalah karena hal semacam itu kan biasa dalam kehidupan bertetangga. Seperti biasa, di manapun bertetangga, kami pun menyimpan piring itu dan di kemudian hari mengembalikannya beserta makanan yang kami siapkan.

Beberapa hari kemudian, tetangga itu pun berteriak lagi. Sepiring daun ubi tumbuk masuk ke rumah kami. Tak lama kemudian, kami berikanlah gulai ikan kepada dia. Eh, sehari kemudian dia memberikan kare kambing. Fiuh. Istri saya pun terpaksa membeli sambal balado hati di warung padang. Dengan piring tetangga yang sebelumnya berisi kare kambing (setelah dicuci tentunya) sambal balado hati pun kami berikan. Tapi, setelah itu, tetatangga kami malah bertambah sering memberikan makanan. Kami menyerah, tidak mungkin kan terus-menerus seperti itu? Tak pelak, sedikitnya ada tiga piring miliknya yang kami simpan. Ujung-ujungnya, istri saya bingung. “Apalagi yang harus kita kasih ke sebelah?” curhatnya.
“Rasanya perkenalan kita dengan tetangga itu kan sudah cukup…,” tambahnya.
Saya tertawa saja.

Terus terang, saya sadar, kalau tetangga kami itu hanya ingin berteman. Mungkin salah satu cara yang dipilihnya adalah dengan saling berbagi. Tentu sama sekali tidak terpikir bagi saya kalau dia ingin membuat kami repot. Pun, sejatinya saya menduga kalau dia tidak mengharapkan pemberian kami. Jadi, pemberiannya adalah tulus. Masalahnya,  kami terbiasa dengan kalimat orang-orang tua yang mengatakan: jika tetangga memberikan sesuatu dengan piring, jangan kembalikan piring itu dalam keadaan kosong.

Kejadian yang menimpa kami ini kan mirip dengan Benetton. Ya, atas nama cinta damai, mereka menggunakan tokoh yang ‘berkonflik’ sebagai ikon. Tentu kampanye ini akan sangat cepat mencuri perhatian. Sosok paus dan imam adalah wakil dari masing-masing kepercayaan yang dalam sudut pandang Benetton sebagai tokoh yang berseberangan.

Tak pelak, hal ini langsung menuai kecaman. “Peristiwa ini benar-benar menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap Paus, penghinaan terhadap perasaan umat beragama, dan contoh yang jelas tentang bagaimana iklan bisa melanggar aturan dasar untuk menghormati orang melalui cara yang provokatif,” kecam juru bicara Thata Suci Frederico Lombardi.

Mungkin, sebagai sosok dari kepercayaan yang dianggap ‘berseberangan’ masih bisa dimaklumi, tapi bagaimana dengan ciuman antarlelaki? Apakah Benetton memikirkan itu? Entahlah.
Benetton dan tetangga saya tampaknya terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Benetton sibuk mengkampanyekan damai tanpa melihat sisi lain dari tokoh yang dijadikannya ikon. Pun, tetangga saya yang sibuk berusaha mengakrabkan diri tanpa peduli pusingnya kami memikirkan apa lagi yang bisa kami berikan padanya.

Tapi, apapun itu, sekali lagi saya katakan untuk berbuat baik itu ternyata tidak gampang. Contohnya seorang dosen saya saat masih kuliah dulu. Dia bercerita pernah dimaki seorang perempuan di Amerika Serikat sana. Ceritanya, saat itu dia naik semacam bus kota, dia duduk dekat jendela. Selang beberapa menit naiklah seorang perempuan. Dasar orang yang kenal tata krama ala Timur, dosen tadi langsung berdiri dan mempersilahkan si perempuan duduk. “Kamu pikir saya tidak mampu berdiri! Kamu pikir saya sudah tua! Kamu pikir saya perempuan manja!” begitulah kata perempuan itu (tentunya dalam bahasa Inggris). Tak pelak, dengan muka malu, dosen tadi pun duduk kembali.
Begitulah, berbuat baik memang harus diartikan baik oleh si penerima perbuatan itu bukan? Jika tidak, ya, berarti kejahatan. Bukankah begitu? (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/