25.6 C
Medan
Thursday, May 16, 2024

Cerita Sejuta Wajah dalam Kepala

Di mana lagi bisa kita temukan tukang foto keliling? Di Masjid Al Mashun, Istana Maimun, Taman Sri Deli? Atau di mana? Mungkinkah di Tamora? Berastagi? Entahlah, yang jelas di berbagai tempat itu tidak lagi saya temukan mereka. Bisakah Anda menunjukkan pada saya!

Terus terang pertanyaan di atas mengemuka di kepala saya ketika menghadiri acara kantor pada Jumat malam (2/11) lalu. Malam itu, kantor membuat sebuah acara yang begitu meriah di sebuah hotel yang berada tepat di depan Taman Budaya Sumatera Utara. Di acara itu, terlihat lebih dari lima orang fotografer. Tiga di antaranya adalah fotografer kantor saya. Mereka menyebar. Mereka mengincar semua tamu yang datang.

Dua orang lagi (seingat saya) juga tak kalah mobile. Mereka adalah fotografer yang biasa mendokumentasikan kegiatan Wali Kota Medan dan seorang lagi saya lupa dari mana. Mereka juga menyebar. Mereka juga sibuk menjepret. Asyik memperhatikan mereka, saya tersenyum-senyum sendiri. Saya bayangkan, jika saja kamera mereka bisa langsung mencetak foto, tentunya sudah menumpuk hasil jepretan mereka. Bisa bayangkan pendapatan mereka ketika foto itu dijual ala tukang foto keliling?

Atau, jika saja kamera mereka masih menggunakan film, sudah berapa rol yang mereka habiskan. Dan, butuh waktu berapa lama bagi mereka yang membutuhkan hasil cetakan foto itu hingga bisa menertawakan ekspresi diri yang terekam. Tapi, kini era digital. Foto tidak lagi mewah sampai harus menunggu lama dan mengeluarkan biaya dalam waktu seketika. Satu kamera fotografer tentunya bisa menyimpan data hingga ribuan foto; tergantung memori yang mereka punyai.  Fotografer pun tak harus berpikir panjang untuk memotret – tidak butuh film lagi – kalau hasilnya jelek kan tinggal di-delete. Intinya, foto tidak lagi seperti dulu.

Nah, karena tidak seperti dulu lagi, perilaku manusianya pun tidak seperti dulu lagi. Teknologi tinggi telah membuat kamera semakin murah. Ya, nyaris di semua telepon seluler sudah ada kameranya bukan? Masalah hasilnya tidak maksimal kan masih bisa diedit. Intinya, foto tak lagi milik kalangan tertentu saja.

Kenyataan inilah yang menggelitik kepala saya pada malam itu. Saya perhatikan, selain para fotografer, mereka yang datang pada acara itu sibuk memfoto; memotret rekan maupun menjepret diri sendiri. Fiuh… pemandangan yang menarik. Saya, sama seperti mereka. Telepon pintar yang saya miliki cukup untuk jadi ajang narsis. Bagaimana tidak, begitu ada latar yang bagus atau objek yang menarik, telepon pintar saya langsung beraksi. Jepret! Tak lama kemudian, hasil jepretan itu langsung berpindah ke jejaring sosial tempat saya bergabung. Wow keren!

Apakah semua itu salah? Saya rasa tidak. Saya menganggap hal itu malah sangat wajar. Sisi otak saya yang lain malah mengatakan hal itu sudah menjadi keharusan. Ayolah, soal mengabadikan diri di sebuah momen tertentu adalah panggilan hati bukan? Dan, soal mengabadikan diri ini tidak mengenal usia, jabatan, atau latar belakang pendidikan seseorang. Kasarnya, ketika ada kesempatan yang menarik, ya, jepret saja langsung. Mungkin, hal inilah yang membuat pekerjaan pefoto keliling makin terpinggirkan. Ya, apalagi yang mau mereka jual di Masjid AL Mashun ketika pelancong yang ke sana sudah memiliki peralatan sendiri untuk mengabadikan diri?

“Dulu ketika dapat mata kuliah fotografi, tukang foto keliling di Masjid Al Mashun yang kami jadikan objek. Foto berita. Foto tentang tukang foto keliling,” kata kawan saya.

“Tapi sekarang di mana mereka ya?” tambahnya.

Kawan saya ini mengungkapkan hal itu ketika saya dan dia berada di sebuah sudut hotel malam itu. Kami sedang rehat dari keramaian acara tersebut. Saat itulah saya sampaikan pikiran saya: seandainya ada tukang foto keliling malam itu pasti lucu. Terserahlah, yang jelas, malam itu saya senang.

Maksud saya bukan karena terbebas dari ‘teror’ tukang foto keliling, tapi pada kesadaran masing-masing orang soal foto. Ketika sesorang sudah mulai memfoto, tentunya dia memikirkan hasil yang baik. Mereka mulai berpikir soal latar. Mereka sudah mulai berpikir soal komposisi. Mereka sudah berpikir soal warna dan efeknya. Mereka sudah berpikir soal ekspresi. Mereka sudah mulai berpikir soal sudut pandang alias angle foto, dan sebagainya. Ya, pasti mereka pikirkan itu meski yang mereka miliki hanyalah kamera di ponsel. Artinya, kesadaran foto telah begitu berkembang. Dan, saya iri juga dengan itu. Pasalnya, sebagai orang yang bergerak di dunia prosa, saya tidak menemukan kesadaran semacam itu pada orang-orang. Ayolah, masih adakah yang menulis buku harian begitu sampai rumah dan setelah mengikuti acara malam itu? Atau menuliskan catatan ketika asyik dalam acara. Sulit ditemukan orang seperti itu selain repoter bukan? Hm, padahal di telepon pintar juga tersedia menu note!
“Terlalu banyak yang harus dikerjakan untuk menulis itu, kalau foto kan tinggal jepret, selesai. Sedangkan menulis, butuh berapa kali kita menekan papan ketik di ponsel,” jawab sisi otak saya yang lain.

“Untuk menggambarkan sejuta wajah yang terekam dalam kepala, kita butuh berapa huruf coba?” tambahnya.
“Kalau foto kan tinggal bidik dan jepret!” tambahnya lagi dan lagi.

Ya, saya memilih sepakat dengan pikiran itu. Pasalnya, setiap yang memfoto pada acara malam itu kan bukan berarti ingin menjadi fotografer. Mereka hanya memfoto. Mereka hanya ingin mengekspresikan diri. Dan, mereka hanya ingin mengabadikan diri. Itu saja. (*)

Di mana lagi bisa kita temukan tukang foto keliling? Di Masjid Al Mashun, Istana Maimun, Taman Sri Deli? Atau di mana? Mungkinkah di Tamora? Berastagi? Entahlah, yang jelas di berbagai tempat itu tidak lagi saya temukan mereka. Bisakah Anda menunjukkan pada saya!

Terus terang pertanyaan di atas mengemuka di kepala saya ketika menghadiri acara kantor pada Jumat malam (2/11) lalu. Malam itu, kantor membuat sebuah acara yang begitu meriah di sebuah hotel yang berada tepat di depan Taman Budaya Sumatera Utara. Di acara itu, terlihat lebih dari lima orang fotografer. Tiga di antaranya adalah fotografer kantor saya. Mereka menyebar. Mereka mengincar semua tamu yang datang.

Dua orang lagi (seingat saya) juga tak kalah mobile. Mereka adalah fotografer yang biasa mendokumentasikan kegiatan Wali Kota Medan dan seorang lagi saya lupa dari mana. Mereka juga menyebar. Mereka juga sibuk menjepret. Asyik memperhatikan mereka, saya tersenyum-senyum sendiri. Saya bayangkan, jika saja kamera mereka bisa langsung mencetak foto, tentunya sudah menumpuk hasil jepretan mereka. Bisa bayangkan pendapatan mereka ketika foto itu dijual ala tukang foto keliling?

Atau, jika saja kamera mereka masih menggunakan film, sudah berapa rol yang mereka habiskan. Dan, butuh waktu berapa lama bagi mereka yang membutuhkan hasil cetakan foto itu hingga bisa menertawakan ekspresi diri yang terekam. Tapi, kini era digital. Foto tidak lagi mewah sampai harus menunggu lama dan mengeluarkan biaya dalam waktu seketika. Satu kamera fotografer tentunya bisa menyimpan data hingga ribuan foto; tergantung memori yang mereka punyai.  Fotografer pun tak harus berpikir panjang untuk memotret – tidak butuh film lagi – kalau hasilnya jelek kan tinggal di-delete. Intinya, foto tidak lagi seperti dulu.

Nah, karena tidak seperti dulu lagi, perilaku manusianya pun tidak seperti dulu lagi. Teknologi tinggi telah membuat kamera semakin murah. Ya, nyaris di semua telepon seluler sudah ada kameranya bukan? Masalah hasilnya tidak maksimal kan masih bisa diedit. Intinya, foto tak lagi milik kalangan tertentu saja.

Kenyataan inilah yang menggelitik kepala saya pada malam itu. Saya perhatikan, selain para fotografer, mereka yang datang pada acara itu sibuk memfoto; memotret rekan maupun menjepret diri sendiri. Fiuh… pemandangan yang menarik. Saya, sama seperti mereka. Telepon pintar yang saya miliki cukup untuk jadi ajang narsis. Bagaimana tidak, begitu ada latar yang bagus atau objek yang menarik, telepon pintar saya langsung beraksi. Jepret! Tak lama kemudian, hasil jepretan itu langsung berpindah ke jejaring sosial tempat saya bergabung. Wow keren!

Apakah semua itu salah? Saya rasa tidak. Saya menganggap hal itu malah sangat wajar. Sisi otak saya yang lain malah mengatakan hal itu sudah menjadi keharusan. Ayolah, soal mengabadikan diri di sebuah momen tertentu adalah panggilan hati bukan? Dan, soal mengabadikan diri ini tidak mengenal usia, jabatan, atau latar belakang pendidikan seseorang. Kasarnya, ketika ada kesempatan yang menarik, ya, jepret saja langsung. Mungkin, hal inilah yang membuat pekerjaan pefoto keliling makin terpinggirkan. Ya, apalagi yang mau mereka jual di Masjid AL Mashun ketika pelancong yang ke sana sudah memiliki peralatan sendiri untuk mengabadikan diri?

“Dulu ketika dapat mata kuliah fotografi, tukang foto keliling di Masjid Al Mashun yang kami jadikan objek. Foto berita. Foto tentang tukang foto keliling,” kata kawan saya.

“Tapi sekarang di mana mereka ya?” tambahnya.

Kawan saya ini mengungkapkan hal itu ketika saya dan dia berada di sebuah sudut hotel malam itu. Kami sedang rehat dari keramaian acara tersebut. Saat itulah saya sampaikan pikiran saya: seandainya ada tukang foto keliling malam itu pasti lucu. Terserahlah, yang jelas, malam itu saya senang.

Maksud saya bukan karena terbebas dari ‘teror’ tukang foto keliling, tapi pada kesadaran masing-masing orang soal foto. Ketika sesorang sudah mulai memfoto, tentunya dia memikirkan hasil yang baik. Mereka mulai berpikir soal latar. Mereka sudah mulai berpikir soal komposisi. Mereka sudah berpikir soal warna dan efeknya. Mereka sudah berpikir soal ekspresi. Mereka sudah mulai berpikir soal sudut pandang alias angle foto, dan sebagainya. Ya, pasti mereka pikirkan itu meski yang mereka miliki hanyalah kamera di ponsel. Artinya, kesadaran foto telah begitu berkembang. Dan, saya iri juga dengan itu. Pasalnya, sebagai orang yang bergerak di dunia prosa, saya tidak menemukan kesadaran semacam itu pada orang-orang. Ayolah, masih adakah yang menulis buku harian begitu sampai rumah dan setelah mengikuti acara malam itu? Atau menuliskan catatan ketika asyik dalam acara. Sulit ditemukan orang seperti itu selain repoter bukan? Hm, padahal di telepon pintar juga tersedia menu note!
“Terlalu banyak yang harus dikerjakan untuk menulis itu, kalau foto kan tinggal jepret, selesai. Sedangkan menulis, butuh berapa kali kita menekan papan ketik di ponsel,” jawab sisi otak saya yang lain.

“Untuk menggambarkan sejuta wajah yang terekam dalam kepala, kita butuh berapa huruf coba?” tambahnya.
“Kalau foto kan tinggal bidik dan jepret!” tambahnya lagi dan lagi.

Ya, saya memilih sepakat dengan pikiran itu. Pasalnya, setiap yang memfoto pada acara malam itu kan bukan berarti ingin menjadi fotografer. Mereka hanya memfoto. Mereka hanya ingin mengekspresikan diri. Dan, mereka hanya ingin mengabadikan diri. Itu saja. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/