26 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Tentang Dia yang Terus Saja Menulis

Pekan ini saya mengalami kesulitan untuk memulai menulis lantun. Seperti ada yang menahan. Seperti ada ketakutan. Dan, seperti ada kebingungan.

Terlepas dari itu, saya rasa yang paling benar ada pada kemalasan.

MUNGKIN karena itulah, Pramodya Ananta Toer sempat memberi pesan pada penulis muda untuk tulis… tulis…

dan tulis kalau ingin terus menjadi penulis. Atau, Putu Wijaya berkata jangan berani tidur kalau belum tahu besok mau nulis apa. Ah…

Terus terang, masalah menulis ini sebenarnya tidak akan terlalu membingungkan jika saja tidak ada kesibukan saya yang lain. Maksudnya, kemarin saya baru memiliki perangkat baru yang katanya bisa membuat saya gampang berhubungan dengan dunia luar.

Entahlah, saya tak tahu kenapa ada yang berpikir kalau saya tidak bagus berhubungan dengan dunia luar hingga harus memiliki barang itu.

Yang jelas, kini barang itu sudah di tangan saya. Dan, karena sudah di tangan saya, konsentrasi pun jadi pecah. Sebentar-bentar pandangan saya di monitor komputer beralih ke barang mungil berwarnah putih yang katanya perangkat pintar itu. Jemari di keyboard komputer pun berulang terhenti, sibuk memainkan keyboard di barang kecil itu. Apalagi, ada suaranya yang membuat saya tergoda.

Ukh…

Mungkin karena itulah Stephen King sempat berkata, tutup semua pintu ketika menulis. Dan, ketika menulispun harus di tempat yang terasing. Maksudnya, jika menulis dengan komputer, jangan sampai ada benda lain di meja selain komputer itu saja. Pun, di dalam komputer jangan sampai ada game atau musik atau apalah yang bisa menghancurkan fokus.

Masalahnya, karena barang itu baru di tangan saya, jadi saya masih kemaruk.

Tambah masalah, lantun harus segera selesai. Akh… dilema yang seharusnya tidak tercipta seandainya saya tidak memiliki barang itu? Tapi sudahlah, apapun ceritanya lantun memang harus selesai.

Masalah gangguan barang itu, anggap saja sebagai stimulan kan? Selesai! Tunggu dulu, gejala sulit memulai menulis memang bukan hal baru yang sering dihadapi penulis kan? Ini bukan soal penulis baru atau yang sudah karatan, tapi lebih pada gangguan yang mengoyak fokus. Maka tidak berlebihan ketika ada beberapa penulis (baik tua dan muda) berhenti ketika tulisannya selesai. Marah, ketika tulisannya tak sesuai. Dan, menyerah dengan tulisan yang asal jadi.

Tapi, bukan berarti tidak ada penulis yang mampu mengatasi itu. Bagi saya, dibutuhkan suasana kemaruk menulis bagi seorang penulis. Ya, untuk menjadi penulis andal memang semangat menulis tidak boleh ditinggalkan.

Maksudnya, menulis bukan sekadar tugas. Menulis menjadi sebuah kebutuhan. Dan, bangga ketika tulisan berhasil diselesaikan.

Soal ini, saya jadi ingat seorang kawan. Dia penulis tua dan bisa dikatakan sebagai pemegang rekor kolom terbanyak di Indonesia selama 2011 (dia menulis kolom setiap hari di medianya, lalu setiap pekan menulis kolom di media lain). Ceritanya, hampir setiap hari dia narsis menunjukkan tulisannya.

Bayangkan saja, bangganya dia terhadap tulisan itu bak penulis muda yang baru saja karyanya dimuat media.

Sempat jengah juga dengan sikapnya itu. Kemaruk banget seh, bahasa anak mudanya. Namun, saya berpikir, mengapa dia yang sudah setua itu dan sudah mapan di kariernya masih saja semangat seperti itu. Tanpa mencari jawabannya, saya menebak kalau hal itu memang dipeliharanya. Bahkan, saya sering melihat dia menyembunyikan ide agar tidak saya curi untuk tulisan saya. Jadi, ketika kami bertemu, kadang-kadang kami lebih pendiam.

Masing-masing berusaha untuk menahan pembicaraan agar tak keluar yang dipikirkan. Fiuh. Bagi saya, situasi semacam itu begitu menyenangkan.

Saya dan dia adalah musuh dalam tulisan… hahahahah.

Tapi begitulah, mengingat dia, saya malah bertambah semangat untuk menulis. Bayangkan saja, umur dia itu berbeda tiga puluh tahun dengan saya, tapi semangatnya malah mengalahkan saya. Kurang ajar kan? Makin kurang ajar, sebelumnya saya juga tahu kalau dia memiliki perangkat yang mengganggu konsentrasi saya itu. Tapi, dia tidak terpengaruh.

Tetap saja dia menulis dan tetap saja karyanya dibaca orang setiap hari.

Karena itulah, kini lantun saya selesaikan.

Ya, sebuah tulisan tentang dia yang tidak pernah berhenti semangat menulis. Tentang dia yang menganggap menulis sebagai kebutuhan. Tentang dia yang masih bangga dengan satu tulisannya sementara ribuan tulisannya yang lain telah hinggap di kepala pembaca. Dan, tentang dia yang sejak tadi terus mengganggu saya hingga saya terlambat menyelesaikan lantun ini. Fiuh. (*)

Pekan ini saya mengalami kesulitan untuk memulai menulis lantun. Seperti ada yang menahan. Seperti ada ketakutan. Dan, seperti ada kebingungan.

Terlepas dari itu, saya rasa yang paling benar ada pada kemalasan.

MUNGKIN karena itulah, Pramodya Ananta Toer sempat memberi pesan pada penulis muda untuk tulis… tulis…

dan tulis kalau ingin terus menjadi penulis. Atau, Putu Wijaya berkata jangan berani tidur kalau belum tahu besok mau nulis apa. Ah…

Terus terang, masalah menulis ini sebenarnya tidak akan terlalu membingungkan jika saja tidak ada kesibukan saya yang lain. Maksudnya, kemarin saya baru memiliki perangkat baru yang katanya bisa membuat saya gampang berhubungan dengan dunia luar.

Entahlah, saya tak tahu kenapa ada yang berpikir kalau saya tidak bagus berhubungan dengan dunia luar hingga harus memiliki barang itu.

Yang jelas, kini barang itu sudah di tangan saya. Dan, karena sudah di tangan saya, konsentrasi pun jadi pecah. Sebentar-bentar pandangan saya di monitor komputer beralih ke barang mungil berwarnah putih yang katanya perangkat pintar itu. Jemari di keyboard komputer pun berulang terhenti, sibuk memainkan keyboard di barang kecil itu. Apalagi, ada suaranya yang membuat saya tergoda.

Ukh…

Mungkin karena itulah Stephen King sempat berkata, tutup semua pintu ketika menulis. Dan, ketika menulispun harus di tempat yang terasing. Maksudnya, jika menulis dengan komputer, jangan sampai ada benda lain di meja selain komputer itu saja. Pun, di dalam komputer jangan sampai ada game atau musik atau apalah yang bisa menghancurkan fokus.

Masalahnya, karena barang itu baru di tangan saya, jadi saya masih kemaruk.

Tambah masalah, lantun harus segera selesai. Akh… dilema yang seharusnya tidak tercipta seandainya saya tidak memiliki barang itu? Tapi sudahlah, apapun ceritanya lantun memang harus selesai.

Masalah gangguan barang itu, anggap saja sebagai stimulan kan? Selesai! Tunggu dulu, gejala sulit memulai menulis memang bukan hal baru yang sering dihadapi penulis kan? Ini bukan soal penulis baru atau yang sudah karatan, tapi lebih pada gangguan yang mengoyak fokus. Maka tidak berlebihan ketika ada beberapa penulis (baik tua dan muda) berhenti ketika tulisannya selesai. Marah, ketika tulisannya tak sesuai. Dan, menyerah dengan tulisan yang asal jadi.

Tapi, bukan berarti tidak ada penulis yang mampu mengatasi itu. Bagi saya, dibutuhkan suasana kemaruk menulis bagi seorang penulis. Ya, untuk menjadi penulis andal memang semangat menulis tidak boleh ditinggalkan.

Maksudnya, menulis bukan sekadar tugas. Menulis menjadi sebuah kebutuhan. Dan, bangga ketika tulisan berhasil diselesaikan.

Soal ini, saya jadi ingat seorang kawan. Dia penulis tua dan bisa dikatakan sebagai pemegang rekor kolom terbanyak di Indonesia selama 2011 (dia menulis kolom setiap hari di medianya, lalu setiap pekan menulis kolom di media lain). Ceritanya, hampir setiap hari dia narsis menunjukkan tulisannya.

Bayangkan saja, bangganya dia terhadap tulisan itu bak penulis muda yang baru saja karyanya dimuat media.

Sempat jengah juga dengan sikapnya itu. Kemaruk banget seh, bahasa anak mudanya. Namun, saya berpikir, mengapa dia yang sudah setua itu dan sudah mapan di kariernya masih saja semangat seperti itu. Tanpa mencari jawabannya, saya menebak kalau hal itu memang dipeliharanya. Bahkan, saya sering melihat dia menyembunyikan ide agar tidak saya curi untuk tulisan saya. Jadi, ketika kami bertemu, kadang-kadang kami lebih pendiam.

Masing-masing berusaha untuk menahan pembicaraan agar tak keluar yang dipikirkan. Fiuh. Bagi saya, situasi semacam itu begitu menyenangkan.

Saya dan dia adalah musuh dalam tulisan… hahahahah.

Tapi begitulah, mengingat dia, saya malah bertambah semangat untuk menulis. Bayangkan saja, umur dia itu berbeda tiga puluh tahun dengan saya, tapi semangatnya malah mengalahkan saya. Kurang ajar kan? Makin kurang ajar, sebelumnya saya juga tahu kalau dia memiliki perangkat yang mengganggu konsentrasi saya itu. Tapi, dia tidak terpengaruh.

Tetap saja dia menulis dan tetap saja karyanya dibaca orang setiap hari.

Karena itulah, kini lantun saya selesaikan.

Ya, sebuah tulisan tentang dia yang tidak pernah berhenti semangat menulis. Tentang dia yang menganggap menulis sebagai kebutuhan. Tentang dia yang masih bangga dengan satu tulisannya sementara ribuan tulisannya yang lain telah hinggap di kepala pembaca. Dan, tentang dia yang sejak tadi terus mengganggu saya hingga saya terlambat menyelesaikan lantun ini. Fiuh. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/