33 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Kursi Plastik Pasar Tradisional

Orang Medan sebut pasar itu dengan nama pajak. Maka, lantun kali ini, meski saya beri judul dengan kata pasar, maksud saya adalah pajak. Kenapa? Karena saya di Medan dan saat ini sedang duduk di kursi plastik yang berada di Pasar Simpanglimun.  

INI tentang hari Kamis lalu. Ketika matahari sedang menuju atas kepala, saya ‘dibajak’ istri untuk belanja.

Atas nama suami yang baik (he he he) saya turuti saja maunya.

Paling tidak butuh waktu yang lama bukan? Ayolah, hanya ke Pasar Simpanglimun saja.

Tapi, beginilah saya saat ini.

Duduk di kursi plastik yang disediakan penjual pakaian di pusat Pasar Simpanglimun. Sementara istri saya sibuk ‘bertengkar’ dengan penjual. Ya apalagi kalau bukan tawar menawar.

Istri saya tampaknya ngotot dengan harga sebuah taplak meja yang menurutnya kemahalan. Sebuah taplak meja berbahan karet bercorak jaring-jaring tidak mungkin harganya sembilan puluh ribu bukan? “Ya sudah kak, lima puluh ribu aja,” kata sang penjual.

“Ah, gak betul itu. Lima belas ribulah,” balas istri saya pula.

Saya geleng-geleng kepala saja.

Kaki terasa pegal. Saya perhatikan dua plastik besar di sisi kursi. Tampak di salah satu plastik daun pakis mengintip. Sementara plastik satunya lagi terkesan basah. Hm, ikan gembung yang kami beli tadilah penyebabnya.

Tiba-tiba, istri saya beri kode.

Saya pun bangkit dan langsung menyambar dua plastik besar tadi.

Hm, tak cocok harga, cari pedagang lain.

Saya jalan terseok menjelajahi gang yang tak lebar; malah sangat sempit. Beberapa kali saya harus bersenggolan dengan pengunjung lain. Ah, seandainya bagian data polisi lalu lintas hadir di pasar ini, pasti dia akan merilis kalau di Pasar Simpanglimun lah kasus tabrakan paling banyak di Medan. He he he.

“Cari apa Kak?” bunyi pedagang yang kami lintasi.

“Taplak meja ada?” balas istri saya.

“Seprei mau?” Istri saya geleng-geleng kepala.

“Cari taplak meja kok ditawari seprei. Bilang gak ada aja kan selesai,” istri saya merepet.

Gantian saya yang geleng-geleng kepala. “Sudahlah. Namanya juga dia usaha,” tegur saya.

Kami terus berjalan. Kaki saya makin pegal. Kalau tak salah hitung, sudah hampir dua jam kami di Pasar Simpanglimun itu. “Oh istriku, berhentilah di salah satu kios biar aku bisa duduk di kursi plastik,” berulang kali saya teriak dalam hati. Ha ha ha.

Dan, doa saya terkabul. Seorang pedagang menyatakan dia punya taplak meja yang diinginkan istri saya.

“Yang karet ada, mau warna apa?” katanya.

“Lihat dululah,” balas istri saya.

Sang pedagang bukannya mempersilahkan istri saya masuk kiosnya.

Sang pedagang bukan pula memberikan kursi plastiknya pada saya. Dia malah mengajak kami berjalan. “Di sana, di kios saya satu lagi,” begitu katanya sambil berjalan.

Tak pelak, saya dan istri mengikuti langkah pedagang itu yang cepat.

Dua blok kami lintasi. Hingga ke kios yang dekat dengan penjual sayur di sisi dalam pasar, dia baru berhenti.

Tanpa basa-basi, dia langsung mengeluarkan setumpuk taplak meja seperti keinginan istri saya.

Mata istri saya berbinar. Ada taplak meja beraneka warna di sana, tidak seperti pedagang sebelumnya yang hanya menyediakan satu warna saja. Istri saya pun makin sumringah ketika sang pedagang menyebut harga 30 ribu per satu taplak meja. Masih ingat dengan harga 90 ribu yang ditawarkan pedagang pertama tadi? “15 ribu ya?” tawar istri saya.

Fiuh. Saya geleng-geleng kepala.

Makin menggeleng kepala saya begitu menyadari tak ada kursi plastik di kios itu. Sial. Saya harus berdiri dengan memegang dua plastik besar.

Sial dan makin sial ketika istri saya malah ngotot dengan harga 15 ribu. Ah, kenapa tak langsung diambil saja, pikir saya.

“Memangnya kakak ambil berapa?” tanya sang pedagang.

“Ambil dua.” “50 aja kak” “30 puluh.” “Tambahlah Kak” “Mau gak?” “Ya dahlah, warna apa aja Kak?” Selesai. Tawar menawar selesai.

Beruntunglah, saya tak harus berdiri lebih lama. Saatnya pulang.

Terbayang kasur, tubuh ini nikmatnya direbahkan.

Sayang, jangan pergi ke pasar tradisional kalau buru-buru. Mungkin kalimat itu yang dipegang istri saya.

Pasalnya, jika diurut dari awal, setelah belanja ikan, istri saya menuju tempat sayur. Untuk tempat ikan dan sayur, bukan satu pedagang saja yang dituju. Kami harus berkeliling.

Setelah itu, taplak meja. Nah, sekarang istri saya menuju tempat buah, yang letaknya dekat parkiran.

Bah, tidak satu kios saja. Kami juga harus berputar-putar. Tidak sampai di situ, setelah beli alpukat untuk anak, istri saya menuju kios yang menjual kue tradisional.

“Aku mau beli wajik,” begitu katanya.

“Lalu?” “Cari daster dulu baru pulang ya,” balas istri saya.

Bah, bukankah saat mencari taplak meja, banyak kios daster yang dilewati. Kenapa tidak sekalian beli! Ah, ampun. Dari kios yang jual taplak meja terakhir, kios buah, hingga kios wajik, tak ada yang menyediakan kursi plastik! Saya butuh duduk! (*)

Orang Medan sebut pasar itu dengan nama pajak. Maka, lantun kali ini, meski saya beri judul dengan kata pasar, maksud saya adalah pajak. Kenapa? Karena saya di Medan dan saat ini sedang duduk di kursi plastik yang berada di Pasar Simpanglimun.  

INI tentang hari Kamis lalu. Ketika matahari sedang menuju atas kepala, saya ‘dibajak’ istri untuk belanja.

Atas nama suami yang baik (he he he) saya turuti saja maunya.

Paling tidak butuh waktu yang lama bukan? Ayolah, hanya ke Pasar Simpanglimun saja.

Tapi, beginilah saya saat ini.

Duduk di kursi plastik yang disediakan penjual pakaian di pusat Pasar Simpanglimun. Sementara istri saya sibuk ‘bertengkar’ dengan penjual. Ya apalagi kalau bukan tawar menawar.

Istri saya tampaknya ngotot dengan harga sebuah taplak meja yang menurutnya kemahalan. Sebuah taplak meja berbahan karet bercorak jaring-jaring tidak mungkin harganya sembilan puluh ribu bukan? “Ya sudah kak, lima puluh ribu aja,” kata sang penjual.

“Ah, gak betul itu. Lima belas ribulah,” balas istri saya pula.

Saya geleng-geleng kepala saja.

Kaki terasa pegal. Saya perhatikan dua plastik besar di sisi kursi. Tampak di salah satu plastik daun pakis mengintip. Sementara plastik satunya lagi terkesan basah. Hm, ikan gembung yang kami beli tadilah penyebabnya.

Tiba-tiba, istri saya beri kode.

Saya pun bangkit dan langsung menyambar dua plastik besar tadi.

Hm, tak cocok harga, cari pedagang lain.

Saya jalan terseok menjelajahi gang yang tak lebar; malah sangat sempit. Beberapa kali saya harus bersenggolan dengan pengunjung lain. Ah, seandainya bagian data polisi lalu lintas hadir di pasar ini, pasti dia akan merilis kalau di Pasar Simpanglimun lah kasus tabrakan paling banyak di Medan. He he he.

“Cari apa Kak?” bunyi pedagang yang kami lintasi.

“Taplak meja ada?” balas istri saya.

“Seprei mau?” Istri saya geleng-geleng kepala.

“Cari taplak meja kok ditawari seprei. Bilang gak ada aja kan selesai,” istri saya merepet.

Gantian saya yang geleng-geleng kepala. “Sudahlah. Namanya juga dia usaha,” tegur saya.

Kami terus berjalan. Kaki saya makin pegal. Kalau tak salah hitung, sudah hampir dua jam kami di Pasar Simpanglimun itu. “Oh istriku, berhentilah di salah satu kios biar aku bisa duduk di kursi plastik,” berulang kali saya teriak dalam hati. Ha ha ha.

Dan, doa saya terkabul. Seorang pedagang menyatakan dia punya taplak meja yang diinginkan istri saya.

“Yang karet ada, mau warna apa?” katanya.

“Lihat dululah,” balas istri saya.

Sang pedagang bukannya mempersilahkan istri saya masuk kiosnya.

Sang pedagang bukan pula memberikan kursi plastiknya pada saya. Dia malah mengajak kami berjalan. “Di sana, di kios saya satu lagi,” begitu katanya sambil berjalan.

Tak pelak, saya dan istri mengikuti langkah pedagang itu yang cepat.

Dua blok kami lintasi. Hingga ke kios yang dekat dengan penjual sayur di sisi dalam pasar, dia baru berhenti.

Tanpa basa-basi, dia langsung mengeluarkan setumpuk taplak meja seperti keinginan istri saya.

Mata istri saya berbinar. Ada taplak meja beraneka warna di sana, tidak seperti pedagang sebelumnya yang hanya menyediakan satu warna saja. Istri saya pun makin sumringah ketika sang pedagang menyebut harga 30 ribu per satu taplak meja. Masih ingat dengan harga 90 ribu yang ditawarkan pedagang pertama tadi? “15 ribu ya?” tawar istri saya.

Fiuh. Saya geleng-geleng kepala.

Makin menggeleng kepala saya begitu menyadari tak ada kursi plastik di kios itu. Sial. Saya harus berdiri dengan memegang dua plastik besar.

Sial dan makin sial ketika istri saya malah ngotot dengan harga 15 ribu. Ah, kenapa tak langsung diambil saja, pikir saya.

“Memangnya kakak ambil berapa?” tanya sang pedagang.

“Ambil dua.” “50 aja kak” “30 puluh.” “Tambahlah Kak” “Mau gak?” “Ya dahlah, warna apa aja Kak?” Selesai. Tawar menawar selesai.

Beruntunglah, saya tak harus berdiri lebih lama. Saatnya pulang.

Terbayang kasur, tubuh ini nikmatnya direbahkan.

Sayang, jangan pergi ke pasar tradisional kalau buru-buru. Mungkin kalimat itu yang dipegang istri saya.

Pasalnya, jika diurut dari awal, setelah belanja ikan, istri saya menuju tempat sayur. Untuk tempat ikan dan sayur, bukan satu pedagang saja yang dituju. Kami harus berkeliling.

Setelah itu, taplak meja. Nah, sekarang istri saya menuju tempat buah, yang letaknya dekat parkiran.

Bah, tidak satu kios saja. Kami juga harus berputar-putar. Tidak sampai di situ, setelah beli alpukat untuk anak, istri saya menuju kios yang menjual kue tradisional.

“Aku mau beli wajik,” begitu katanya.

“Lalu?” “Cari daster dulu baru pulang ya,” balas istri saya.

Bah, bukankah saat mencari taplak meja, banyak kios daster yang dilewati. Kenapa tidak sekalian beli! Ah, ampun. Dari kios yang jual taplak meja terakhir, kios buah, hingga kios wajik, tak ada yang menyediakan kursi plastik! Saya butuh duduk! (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/