26 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Apa Salah Monyet yang Pergi ke Pasar

Ramadhan Batubara

Praktis tak kurang dari delapan lantun yang tak tertulis. Badan ini terasa begitu lapuk hingga kepala tak lagi bisa menyuarakan kata, kalimat, hingga menjadi tulisan yang seperti biasa Anda baca. Kini, setelah kepala mulai segar dan badan mulai bisa bergerak leluasa, adakah dia bisa menjadi lantun seperti sedia kala?

Entahlah…, yang jelas ada semangat ketika kembali ke kantor. Semacam mahasiswa yang libur semester; ada kerinduan pada kursi di kelas, dosen yang tersenyum genit tanpa sengaja, tumpukan tugas, hingga suasana kantin kampus yang begitu khas. Ya, meski seminggu kemudian sang mahasiswa sudah kembali menatap jendela. “Lama kali pun libur semester lagi’” rintihnya.

Begitulah, kini saya menatap monitor dan mulai menekan keyboard dengan rindu yang mendalam. Tentu ini tentang semangat. Ya sama dengan semangat para siswa sekolah internasional Jakarta International School (JIS) dan Gandhi’s School yang menentang keberadaan topeng monyet. Siswa yang semuanya warga asing itu tampaknya terganggu dengan eksploitasi monyet. Mereka menganggap topeng monyet bukanlah hasil budaya Nusantara melainkan hanya trik dalam mencari uang alias mengemis. Pun mereka berasumsi, monyet yang dijadikan aktor utama dalam kesenian rakyat itu mengalami penyiksaan sebelum tampil di ‘pentas’.

Perbedaan dari semangat saya ke kantor dengan pendemo topeng monyet mungkin lebih pada latar belakangnya; kalau saya karena kewajiban sementara mereka karena pilihan. Tapi sudahlah, saya kini memang sedang semangat kembali ke kantor dan sedang semangat menulis tentang mereka yang semangat mendemo topeng monyet. Bukankah begitu? He he he he.

Terus terang aksi warga asing itu menggelitik otak saya. Muncul sebuah pertanyaan, benarkah topeng monyet adalah aksi untuk sekadar mengemis? Menurut Wikipedia.com topeng monyet adalah kesenian tradisional yang dikenal di berbagai daerah di Indonesia. Topeng monyet juga dapat dijumpai di India, Pakistan, Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Korea. Dijelaskan juga kalau kesenian ini melibatkan seorang pawang yang melatih monyetnya untuk melakukan berbagai aktivitas yang meniru tingkah laku manusia, misalnya mengenakan pakaian, berdandan dan pergi belanja.

Penjelasan di atas seakan membantah asumsi sekelompok warga asing tersebut bukan? Perhatikan kata ‘dilatih’ pada penjelasan di atas. Dilatih berarti sang monyet semacam mendapat pendidikan sebelum aksi. Masalahnya di sini adalah metode latihan yang dilakukan pawang mengandung kekerasan atau tidak? Ya, mungkinkan sang monyet dipukul atau disiksa hingga mau menuruti kemauan sang pawang? Nah, metode inilah yang dimasalahkan pendemo hingga mereka merasa monyet telah digunakan untuk keuntungan pawang semata.

Saya jadi teringat dengan kelompok sirkus yang menggunakan binatang sebagai bintangnya. Adakah metode pelatihan bintang di sirkus itu juga pernah dipermasalahkan? Ayolah, sirkus dan topeng monyet kan sama-sama untuk mencari uang. Dan, kedua pun muncul melalui proses yang panjang hingga menjadi sebuah hasil budaya bukan? Perbedaannya kan hanya pada kelas! Ya, topeng monyet pentas di jalanan, dari kampung ke kampung tanpa memakai ruang penonton dan karcis masuk. Bayaran untuk topeng monyet pun suka rela tidak seperti sirkus yang bertarif.
Saya menjadi berpikir, apakah karena ketidakberdayaan topeng monyet itu maka dia didemo? Bagaimana jika topeng monyet digelar di hall sebuah hotel bintang lima dan penontonnya harus membayar karcis dengan harga selangit, mungkinkah monyet masih dianggap dieksploitasi? Dan, apakah pertunjukkan itu dianggap ajang mengemis?

Saya tidak antiwarga asing, malah saat kuliah saya banyak berinteraksi dengan mereka. Dari pengalaman saya, teman-teman asing saya itu cukup ‘care’ dengan kebudayaan Indonesia. Mereka malah berebut untuk mengambil mata kuliah karawitan dan Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jadi, ketika mengetahui ada kelompok warga asing yang mendemo topeng monyet, saya lumayan kecewa. Tapi sudahlah, meski saya merasa mereka tidak ‘fair’ karena sejatinya mereka bangga dengan lumba-lumba yang bisa melompati gelang api di negara mereka sana. Padahal ada cerita miring juga tentang metode pelatihan lumba-lumba bukan? Tapi sekali, sudahlah. Saya hanya mencoba memahami semangat mereka mendemo topeng monyet tadi. Dan, saya merasa mendapat sedikit pemahaman.

Begini, mereka yang demo adalah warga asing yang hidup di Jakarta. Nah, belakangan memang marak topeng monyet yang mangkal di perempatan lampu merah. Kesuntukan mereka bertambah karena Jakarta adalah rajanya macet. Mungkin, kenyataan inilah yang mengganggu mereka. Ukh, jika memang begitu, bukankah lebih bijak jika mereka mendemo Pemerintah Jakarta untuk lebih menertibkan lalu lintas dan pertumbuhan kendaraan. Atau malah, mendemo pemerintah pusat untuk lebih serius mengatur negara. Ya, bukankah kalau pusat sudah serius maka daerah juga akan serius?

Ayolah, Indonesia terkenal ramah dengan warga asing, jadi ketika soal carut marut negara ini didemo oleh mereka, bisa jadi pemerintah akan lebih cepat tanggap? Bayangkan saja jika warga asing mendemo istana agar Presiden Susilo Bambang Yudhono segera melaksanakan reshuffle. Harapannya, warga asing bisa tenang beraktivitas karena menteri yang tidak kerja berganti dengan menteri yang hebat bekerja. Ujung-ujungnya, ketika negara ini nyaman, bukankah warga asing akan nyaman juga?

Tunggu dulu, bukankah itu termasuk intervensi asing? Wah, repot juga. Pasalnya untuk topeng monyet saja warga asing sudah demo kan? Bagaimana itu? Fiuh. (*)

Ramadhan Batubara

Praktis tak kurang dari delapan lantun yang tak tertulis. Badan ini terasa begitu lapuk hingga kepala tak lagi bisa menyuarakan kata, kalimat, hingga menjadi tulisan yang seperti biasa Anda baca. Kini, setelah kepala mulai segar dan badan mulai bisa bergerak leluasa, adakah dia bisa menjadi lantun seperti sedia kala?

Entahlah…, yang jelas ada semangat ketika kembali ke kantor. Semacam mahasiswa yang libur semester; ada kerinduan pada kursi di kelas, dosen yang tersenyum genit tanpa sengaja, tumpukan tugas, hingga suasana kantin kampus yang begitu khas. Ya, meski seminggu kemudian sang mahasiswa sudah kembali menatap jendela. “Lama kali pun libur semester lagi’” rintihnya.

Begitulah, kini saya menatap monitor dan mulai menekan keyboard dengan rindu yang mendalam. Tentu ini tentang semangat. Ya sama dengan semangat para siswa sekolah internasional Jakarta International School (JIS) dan Gandhi’s School yang menentang keberadaan topeng monyet. Siswa yang semuanya warga asing itu tampaknya terganggu dengan eksploitasi monyet. Mereka menganggap topeng monyet bukanlah hasil budaya Nusantara melainkan hanya trik dalam mencari uang alias mengemis. Pun mereka berasumsi, monyet yang dijadikan aktor utama dalam kesenian rakyat itu mengalami penyiksaan sebelum tampil di ‘pentas’.

Perbedaan dari semangat saya ke kantor dengan pendemo topeng monyet mungkin lebih pada latar belakangnya; kalau saya karena kewajiban sementara mereka karena pilihan. Tapi sudahlah, saya kini memang sedang semangat kembali ke kantor dan sedang semangat menulis tentang mereka yang semangat mendemo topeng monyet. Bukankah begitu? He he he he.

Terus terang aksi warga asing itu menggelitik otak saya. Muncul sebuah pertanyaan, benarkah topeng monyet adalah aksi untuk sekadar mengemis? Menurut Wikipedia.com topeng monyet adalah kesenian tradisional yang dikenal di berbagai daerah di Indonesia. Topeng monyet juga dapat dijumpai di India, Pakistan, Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Korea. Dijelaskan juga kalau kesenian ini melibatkan seorang pawang yang melatih monyetnya untuk melakukan berbagai aktivitas yang meniru tingkah laku manusia, misalnya mengenakan pakaian, berdandan dan pergi belanja.

Penjelasan di atas seakan membantah asumsi sekelompok warga asing tersebut bukan? Perhatikan kata ‘dilatih’ pada penjelasan di atas. Dilatih berarti sang monyet semacam mendapat pendidikan sebelum aksi. Masalahnya di sini adalah metode latihan yang dilakukan pawang mengandung kekerasan atau tidak? Ya, mungkinkan sang monyet dipukul atau disiksa hingga mau menuruti kemauan sang pawang? Nah, metode inilah yang dimasalahkan pendemo hingga mereka merasa monyet telah digunakan untuk keuntungan pawang semata.

Saya jadi teringat dengan kelompok sirkus yang menggunakan binatang sebagai bintangnya. Adakah metode pelatihan bintang di sirkus itu juga pernah dipermasalahkan? Ayolah, sirkus dan topeng monyet kan sama-sama untuk mencari uang. Dan, kedua pun muncul melalui proses yang panjang hingga menjadi sebuah hasil budaya bukan? Perbedaannya kan hanya pada kelas! Ya, topeng monyet pentas di jalanan, dari kampung ke kampung tanpa memakai ruang penonton dan karcis masuk. Bayaran untuk topeng monyet pun suka rela tidak seperti sirkus yang bertarif.
Saya menjadi berpikir, apakah karena ketidakberdayaan topeng monyet itu maka dia didemo? Bagaimana jika topeng monyet digelar di hall sebuah hotel bintang lima dan penontonnya harus membayar karcis dengan harga selangit, mungkinkah monyet masih dianggap dieksploitasi? Dan, apakah pertunjukkan itu dianggap ajang mengemis?

Saya tidak antiwarga asing, malah saat kuliah saya banyak berinteraksi dengan mereka. Dari pengalaman saya, teman-teman asing saya itu cukup ‘care’ dengan kebudayaan Indonesia. Mereka malah berebut untuk mengambil mata kuliah karawitan dan Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jadi, ketika mengetahui ada kelompok warga asing yang mendemo topeng monyet, saya lumayan kecewa. Tapi sudahlah, meski saya merasa mereka tidak ‘fair’ karena sejatinya mereka bangga dengan lumba-lumba yang bisa melompati gelang api di negara mereka sana. Padahal ada cerita miring juga tentang metode pelatihan lumba-lumba bukan? Tapi sekali, sudahlah. Saya hanya mencoba memahami semangat mereka mendemo topeng monyet tadi. Dan, saya merasa mendapat sedikit pemahaman.

Begini, mereka yang demo adalah warga asing yang hidup di Jakarta. Nah, belakangan memang marak topeng monyet yang mangkal di perempatan lampu merah. Kesuntukan mereka bertambah karena Jakarta adalah rajanya macet. Mungkin, kenyataan inilah yang mengganggu mereka. Ukh, jika memang begitu, bukankah lebih bijak jika mereka mendemo Pemerintah Jakarta untuk lebih menertibkan lalu lintas dan pertumbuhan kendaraan. Atau malah, mendemo pemerintah pusat untuk lebih serius mengatur negara. Ya, bukankah kalau pusat sudah serius maka daerah juga akan serius?

Ayolah, Indonesia terkenal ramah dengan warga asing, jadi ketika soal carut marut negara ini didemo oleh mereka, bisa jadi pemerintah akan lebih cepat tanggap? Bayangkan saja jika warga asing mendemo istana agar Presiden Susilo Bambang Yudhono segera melaksanakan reshuffle. Harapannya, warga asing bisa tenang beraktivitas karena menteri yang tidak kerja berganti dengan menteri yang hebat bekerja. Ujung-ujungnya, ketika negara ini nyaman, bukankah warga asing akan nyaman juga?

Tunggu dulu, bukankah itu termasuk intervensi asing? Wah, repot juga. Pasalnya untuk topeng monyet saja warga asing sudah demo kan? Bagaimana itu? Fiuh. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/