26 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Keluarga Baru Keluarga Seru

Punya anak adalah cita-cita setiap keluarga baru bukan? Tapi, repot menjaga anak bukanlah keinginan utama. Apalagi, namanya keluarga baru masih disibukkan dengan urusan tetekbengek; membangun kekuatan untuk masa depan. Jadi, bisa bayangkan seperti apa serunya keluarga baru mengurus itu semua?

MAKA, atas nama masa depan, keluarga baru ini cenderung memanfaatkan bantuan keluarga. Mulai dari adik, sepupu, hingga orangtua dikerahkan untuk terlibat. Bukan sesuatu yang aneh ketika anak dititipkan pada neneknya ketika sang ibu dan ayah bekerja kan? Nah, keluarga baru yang saya maksud adalah keluarga yang suami istrinya bekerja dan anaknya masih balita.

Dan keluarga baru itu seperti saya, rekan kantor saya dan rekan kantor istri saya.

“Gawat bah, pulang pula nenek anakku,” kata rekan kerja saya.

“Maaf ya, anakku ‘gak ada yang jaga,” ujar rekan kerja istri saya.

“Waduh, gak bisa keluar aku. Istriku lagi kerja,” begitu kata saya ketika ada yang mendadak ajak berjumpa.

Pernyataan-pernyataan di atas pasti tak asing ketika Anda berurusan dengan keluarga baru bukan? Ya, harus ada pemakluman untuk hal itu. Dan, Anda pasti pernah dan akan merasakannya, jadi jangan marah ketika menghadapi seorang rekan yang menolak bertemu karena alasan seperti di atas.

Seperti saya, si Raya anak saya masih berusia delapan bulan; lagi lincah-lincahnya. Nah, saya bekerja dan istri saya bekerja. Beruntungnya, kerja kami di jam yang berbeda. Saya sore hingga dini hari, istri saya dari pagi hingga sore.

Artinya, ketika istri saya kerja, maka saya yang jaga anak, begitu juga sebaliknya.

Dengan kata lain, jangan ganggu saya di pagi hari.

Masalahnya, kerja saya tidak selalu sore. Ada rapat-rapat penting yang digelar pagi hari dan saya wajib hadir. Jika begitu bagaimana? Nah, seperti yang saya kemukakan di awal tadi: kerahkanlah adik, sepupu, hingga orangtua. Tapi, hal itu juga tak seratus persen berhasil.

Pasalnya, mereka pasti punya kehidupan juga. Repot bukan? Mungkin itulah sebab tercipta jasa penitipan anak. Usaha yang sejatinya sangat membantu ini konon tercipta oleh sebuah proses panjang. Untuk proses ini, seorang kawan punya cerita.

Dikisahkannya, hiduplah sepasang suami istri yang supersibuk: dua-duanya bekerja sebagai buruh di pabrik. Namanya buruh, kehadiran dalam kerja sangat penting.

Alasan sakit saja sulit diterima, apalagi alasan jaga anak. Dan, keduanya memiliki jam kerja yang sama. Satu-satunya jalan adalah berhenti kerja. Namun, jika mengandalkan satu pendapatan saja, mereka belum kuat.

Parahnya lagi, mereka tinggal di sebuah kota baru. Di kota itu tak ada saudara mereka. Praktis mereka hampir gila menghadapi hidup.

Tapi kata orang, setiap kesusahan pasti ada pemecahan. Kebetulan tetangga mereka adalah pasangan yang tak punya anak. Sang istri tetangga itu pun tak kerja. Jadi, ketika si buruh cuti melahirkan, sang tetangga ini sudah sering menemani.

Saat itulah mereka berdua terlibat perbincangan. “Ya sudah, nanti kalau kamu kembali kerja, anakmu aku yang jaga saja,” begitu kata si tetangga.

Singkat cerita, si anak setiap pukul enam pagi pindah rumah.

Dia baru balik ke rumah setelah sang ibu pulang kerja sekira pukul enam sore. Dan, itu terus berlangsung cukup lama.

Saking lamanya, sang ibu mulai menyadari kalau anaknya terlalu dekat dengan tetangga itu. Bahkan, ketika dijemput pulang, anaknya malah meronta; beruntung anaknya tak memanggil dia dengan sebutan tante. Tentu saja keluarga buruh ini resah. Mereka membayangkan anak mereka bisa menjadi bukan anak mereka lagi. Satu-satunya jalan, anak itu harus mereka rawat langsung.

Tapi, mereka berdua bekerja.

Dalam kesuntukan suasana itu, sang ibu tiba-tiba berpikir: bukankah dia bisa bekerja sambil merawat anaknya? Ya, mencari uang kan bukan hanya sebagai buruh? Dia menyadari, setiap hari kecuali Sabtu, selain menitipkan anak, dia juga memberikan sepuluh ribu rupiah pada tetangga. Susu untuk si anak pun dia sediakan. Artinya, tetangganya mendapatkan 260 ribu setiap bulan.

Nah, kebetulan, dia punya rekan kerja yang bernasib sama.

Setidaknya ada sepuluh rekan kerjanya yang memiliki nasib sama: punya anak bayi tapi tetap bekerja.

Hm, peluang yang menjanjikan.

Maka, atas restu suami, dia pun berhenti kerja. Dia menjadikan rumahnya yang sering kosong itu sebagai tempat usaha.

Ya, jasa penitipan anak. Sepuluh anak rekannya dia rawat dari jam enam pagi hingga jam enam sore.

Repot juga karena selain sepuluh balita itu, dia juga menjaga anaknya.

Namun, dua juta enam ratus ribu rupiah bukan uang yang sedikit: masih lebih satu juta dibanding gajinya sebagai buruh. Selain itu, anaknya juga banyak teman. Dengan kata lain, anaknya bisa bersosialisasi dengan anak lain.

Lucunya, jasa yang dia rintis malah tambah maju. Rumahnya tak cukup lagi. Tetangganya yang lain juga menitipkan anak mereka.

Ujung-ujungnya ada dua puluh anak plus anaknya yang harus dia jaga. Dia mulai tak sanggup. Tanpa pikir panjang, dia ajak tetangga yang mengasuh anaknya tempo hari ikut menjaga dengan bayaran satu juta per bulan.

Singkat cerita, dia pun menyewa rumah yang besar. Tercatat ada seratus lebih anak yang harus dia jaga.

Dia pun membuka lowongan pekerjaan.

Empat perawat dia gaji.

Tetangganya menjadi rekan bisnis.

Mereka berbagi saham, 70 persen untuknya dan lebihnya untuk tetangga itu. Wow! Begitulah, kisah yang sangat menginspirasi.

Masalahnya, saya dan istri bukan pasangan buruh tadi.

Kami masih kerepotan soal menjaga anak. Dan, di daerah Amplas Medan, saya pun belum menemukan jasa penitipan anak. Jika pun ada, apakah itu cocok untuk kami? Hm, entahlah.

Intinya, ketika Anda mendadak buat janji dengan saya di pagi hari, maafkan kalau saya tolak. Dan, dalam pekan lalu, cukup banyak janji yang saya tolak. Maaf ya. Maklumlah, anak saya masih kecil dan istri saya kerja. He he he he. (*)

Punya anak adalah cita-cita setiap keluarga baru bukan? Tapi, repot menjaga anak bukanlah keinginan utama. Apalagi, namanya keluarga baru masih disibukkan dengan urusan tetekbengek; membangun kekuatan untuk masa depan. Jadi, bisa bayangkan seperti apa serunya keluarga baru mengurus itu semua?

MAKA, atas nama masa depan, keluarga baru ini cenderung memanfaatkan bantuan keluarga. Mulai dari adik, sepupu, hingga orangtua dikerahkan untuk terlibat. Bukan sesuatu yang aneh ketika anak dititipkan pada neneknya ketika sang ibu dan ayah bekerja kan? Nah, keluarga baru yang saya maksud adalah keluarga yang suami istrinya bekerja dan anaknya masih balita.

Dan keluarga baru itu seperti saya, rekan kantor saya dan rekan kantor istri saya.

“Gawat bah, pulang pula nenek anakku,” kata rekan kerja saya.

“Maaf ya, anakku ‘gak ada yang jaga,” ujar rekan kerja istri saya.

“Waduh, gak bisa keluar aku. Istriku lagi kerja,” begitu kata saya ketika ada yang mendadak ajak berjumpa.

Pernyataan-pernyataan di atas pasti tak asing ketika Anda berurusan dengan keluarga baru bukan? Ya, harus ada pemakluman untuk hal itu. Dan, Anda pasti pernah dan akan merasakannya, jadi jangan marah ketika menghadapi seorang rekan yang menolak bertemu karena alasan seperti di atas.

Seperti saya, si Raya anak saya masih berusia delapan bulan; lagi lincah-lincahnya. Nah, saya bekerja dan istri saya bekerja. Beruntungnya, kerja kami di jam yang berbeda. Saya sore hingga dini hari, istri saya dari pagi hingga sore.

Artinya, ketika istri saya kerja, maka saya yang jaga anak, begitu juga sebaliknya.

Dengan kata lain, jangan ganggu saya di pagi hari.

Masalahnya, kerja saya tidak selalu sore. Ada rapat-rapat penting yang digelar pagi hari dan saya wajib hadir. Jika begitu bagaimana? Nah, seperti yang saya kemukakan di awal tadi: kerahkanlah adik, sepupu, hingga orangtua. Tapi, hal itu juga tak seratus persen berhasil.

Pasalnya, mereka pasti punya kehidupan juga. Repot bukan? Mungkin itulah sebab tercipta jasa penitipan anak. Usaha yang sejatinya sangat membantu ini konon tercipta oleh sebuah proses panjang. Untuk proses ini, seorang kawan punya cerita.

Dikisahkannya, hiduplah sepasang suami istri yang supersibuk: dua-duanya bekerja sebagai buruh di pabrik. Namanya buruh, kehadiran dalam kerja sangat penting.

Alasan sakit saja sulit diterima, apalagi alasan jaga anak. Dan, keduanya memiliki jam kerja yang sama. Satu-satunya jalan adalah berhenti kerja. Namun, jika mengandalkan satu pendapatan saja, mereka belum kuat.

Parahnya lagi, mereka tinggal di sebuah kota baru. Di kota itu tak ada saudara mereka. Praktis mereka hampir gila menghadapi hidup.

Tapi kata orang, setiap kesusahan pasti ada pemecahan. Kebetulan tetangga mereka adalah pasangan yang tak punya anak. Sang istri tetangga itu pun tak kerja. Jadi, ketika si buruh cuti melahirkan, sang tetangga ini sudah sering menemani.

Saat itulah mereka berdua terlibat perbincangan. “Ya sudah, nanti kalau kamu kembali kerja, anakmu aku yang jaga saja,” begitu kata si tetangga.

Singkat cerita, si anak setiap pukul enam pagi pindah rumah.

Dia baru balik ke rumah setelah sang ibu pulang kerja sekira pukul enam sore. Dan, itu terus berlangsung cukup lama.

Saking lamanya, sang ibu mulai menyadari kalau anaknya terlalu dekat dengan tetangga itu. Bahkan, ketika dijemput pulang, anaknya malah meronta; beruntung anaknya tak memanggil dia dengan sebutan tante. Tentu saja keluarga buruh ini resah. Mereka membayangkan anak mereka bisa menjadi bukan anak mereka lagi. Satu-satunya jalan, anak itu harus mereka rawat langsung.

Tapi, mereka berdua bekerja.

Dalam kesuntukan suasana itu, sang ibu tiba-tiba berpikir: bukankah dia bisa bekerja sambil merawat anaknya? Ya, mencari uang kan bukan hanya sebagai buruh? Dia menyadari, setiap hari kecuali Sabtu, selain menitipkan anak, dia juga memberikan sepuluh ribu rupiah pada tetangga. Susu untuk si anak pun dia sediakan. Artinya, tetangganya mendapatkan 260 ribu setiap bulan.

Nah, kebetulan, dia punya rekan kerja yang bernasib sama.

Setidaknya ada sepuluh rekan kerjanya yang memiliki nasib sama: punya anak bayi tapi tetap bekerja.

Hm, peluang yang menjanjikan.

Maka, atas restu suami, dia pun berhenti kerja. Dia menjadikan rumahnya yang sering kosong itu sebagai tempat usaha.

Ya, jasa penitipan anak. Sepuluh anak rekannya dia rawat dari jam enam pagi hingga jam enam sore.

Repot juga karena selain sepuluh balita itu, dia juga menjaga anaknya.

Namun, dua juta enam ratus ribu rupiah bukan uang yang sedikit: masih lebih satu juta dibanding gajinya sebagai buruh. Selain itu, anaknya juga banyak teman. Dengan kata lain, anaknya bisa bersosialisasi dengan anak lain.

Lucunya, jasa yang dia rintis malah tambah maju. Rumahnya tak cukup lagi. Tetangganya yang lain juga menitipkan anak mereka.

Ujung-ujungnya ada dua puluh anak plus anaknya yang harus dia jaga. Dia mulai tak sanggup. Tanpa pikir panjang, dia ajak tetangga yang mengasuh anaknya tempo hari ikut menjaga dengan bayaran satu juta per bulan.

Singkat cerita, dia pun menyewa rumah yang besar. Tercatat ada seratus lebih anak yang harus dia jaga.

Dia pun membuka lowongan pekerjaan.

Empat perawat dia gaji.

Tetangganya menjadi rekan bisnis.

Mereka berbagi saham, 70 persen untuknya dan lebihnya untuk tetangga itu. Wow! Begitulah, kisah yang sangat menginspirasi.

Masalahnya, saya dan istri bukan pasangan buruh tadi.

Kami masih kerepotan soal menjaga anak. Dan, di daerah Amplas Medan, saya pun belum menemukan jasa penitipan anak. Jika pun ada, apakah itu cocok untuk kami? Hm, entahlah.

Intinya, ketika Anda mendadak buat janji dengan saya di pagi hari, maafkan kalau saya tolak. Dan, dalam pekan lalu, cukup banyak janji yang saya tolak. Maaf ya. Maklumlah, anak saya masih kecil dan istri saya kerja. He he he he. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

Terpopuler

Artikel Terbaru

/