30 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Mengalir seperti Air

Pahala PS Napitupulu, Aktivis Buruh dan Kaum Marjinal

agi sebagian orang, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menjadi pekerjaan yang paling dicari diantara pekerjaan-pekerjaan lainnya. Selain jaminan masa depan, status sosial di masyarakat diharapkan ikut terangkat. Apalagi bila diterima di BUMN, kesejahteraan dan berbagai fasilitas penunjang lain sudah pasti didapatkan.

Tetapi bagi Pahala Napitupulu, dua pekerjaan itu bukan menjadi pilihan. Pada 1984, ia sudah tercatat sebagai honorer di Kanwil Kehutanan Sumut. Sebulan sebelum diangkat menjadi PNS, dia malah mengundurkan diri. Setahun kemudian, dia melamar pekerjaan di PTPN V. “Waktu itu, mencari kerja tidak sesulit sekarang. Apalagi bagi alumni USU, selalu ada pertimbangan khusus,” ungkap pria 53 tahun ini.

Saat lamaran diterima pihak perkebunan, seorang petinggi di PTP V memberikan nota di atas lamaran Pahala. Isinya kira-kira berbunyi demikian: “Saudara ini alumni USU. Tolong Ditempatkan sesuai keahliannya”. Tak lama kemudian Pahala diterima menjadi staf pembukuan di PTPN V dan ditempatkan di Kebun Sei Garo di Provinsi Riau.

Sebagai staf perusahaan perkebunan, Pahala yang waktu itu masih melajang, dijejali dengan berbagai fasilitas. Selain rumah dinas dan beberapa orang pembantu, upah yang diterimanya lebih dari cukup.

“Gaji saya Rp375 ribu. Bandingkan dengan gaji PNS golongan IIIA waktu itu yang cuma Rp95 ribu,” sebut Pahala menggambarkan kondisinya saat itu.
Puaskan Pahala? “Tidak. Dari awal-awal, suasana dan sistem kerja di kebun sangat feodalis, luar biasa. Bertentangan dengan batin saya. Ingin keluar, orangtua melarang dan menyarankan bertahan,” ujarnya.

Pahala bertahan dan mencoba memaklumi keadaan di kebun. Hingga pada 18 Juni 1987, ia menikahi Dra Yuliawati Maduwu, gadis pujaan yang dia kenal ketika menjadi aktivis semasa mahasiswa. Yuliawati yang kala itu mengajar di IKIP Nias di Gunung Sitoli, diboyong ke perkebunan.
Setahun kemudian, anak pertama mereka lahir. Oleh Pahala, putranya diberi nama Bani Praseto. “Bani artinya Batak Nias, perpaduan ayah dan ibunya. Kalau Praseto, putra Riau aseli Toba. Ha ha ha ha…,” Pahala tergelak.

Ternyata dia ingin agar putranya kelak tidak melupakan tanah kelahiran serta akar budayanya.
Memiliki pekerjaan dengan upah dan fasilitas yang terbilang lumayan, serta istri dan seorang anak, belum membuat Pahala tenang. Batinnya tertekan dengan sistem feodal di perkebunan. Pemimpin berbicara sesuka hati dengan menyebut si kebun binatang, sementara di depan mata, karyawan hidup dengan kemiskinan. “Tak sanggup saya lihat itu. Semua serba penzoliman,” sebutnya.

Pahala juga risau karena tidak bisa berbuat banyak untuk memperbaiki kondisi di sekitarnya. Sebagai pengurus Persatuan Karyawan perkebunan Negara (PERKAPPEN), sistem membuatnya tidak mampu berbuat banyak. “Saya terkungkung, tidak bisa menyalurkan pikiran dan menuangkan ide kreatif,” katanya berargumen.

Pada 17 Juli 1989, sebuah keputusan besar diambilnya. Perabotan dan barang-barang dijualnya. Dia dan sang istri dan anak hanya menyisakan pakaian, surat-surat dan barang-barang berharga yang bentuknya kecil. Menumpang truk Mitsubishi Colt Diesel, Pahala membawa Dra Yuliawati Maduwu dan putranya yang baru berusia setahun, dibawa pulang ke rumah orangtuanya di Medan. Mereka tiba Minggu pagi dan sangat mengagetkan orangtuanya.
“Hanya orang gila yang keluar dari pekerjaanya di PTP.” Demikian ungkapan kekecewaan ayahnya , Gr Saidin Napitupulu, kepada Pahala. Bukannya menyesal, Pahala malah membalas ucapan orangtuanya. “Hanya orang gila yang mau bekerja di PTP dengan kondisi seperti itu,” kembali Pahala tertawa menceritakan pengalamannya tersebut.

Hidup harus berlanjut. Anak dan isteri harus makan. Pahala mulai bergerilya mencari pekerjaan. Keahlian dan pengalamannya sebagai akunting di PTP V menjadi bekal berharga baginya. Mujur, hanya tiga hari setibanya di Medan, dia diterima sebagai akunting di PT Mesary Trading Co yang bergerak di bidang kontraktor dan transportasi CPO (minyak sawit). Setahun kemudian, 27 November 1990, pasangan Pahala-Yuliawati dikaruniai seorang putri dan diberi nama Melati Elisabet.

Di sisi lain, sejak kembali ke Medan, Pahala bertemu dengan rekan-rekannya sesama aktivis mahasiswa dulu. Pertemuan itu membawanya kembali ke dunia aktivis.

Sibuk memperjuangkan hak buruh dan kaum marjinal lainnya menghantarkan Pahala menjadi pengurus di sejumlah organisasi, khususnya yang memperjuangkan kaum marjinal.

Di PT Mesary, Pahala tidak bertahan lama. Di penghujung 1991, ia kembali memutuskan untuk mencari tantangan di perusahaan lain. Awal 1992, ayah dua anak ini sudah menjadi akunting di PT Healty Corporation.

Bertahan selama 3 tahun, ia membuka jasa konsultasi administrasi dan manajemen dengan bendera Pahala & Partner pada 1995. Hingga sekarang Pahala praktis hanya berkegiatan di organisasi perburuhan sebagai Ketua DPD Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992 Sumatera Utara dan menjalankan usaha jasa konsultasinya.

Tak betah menjadi PNS, pekerja BUMN dan swasta, lantas apa yang dicari? Pahala mengaku tak punya target khusus dalam menjalani hidupnya. “Saya mencari kepuasan batin. Saya puas kalau bisa menolong orang lain,” katanya dengan yakin.

Uniknya, sekitar 50 persen dari penghasilannya dialirkan kepada kaum marjinal atau untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Dan itu masih terjadi hingga saat ini.

Keyakinan dan perjuangan itu pula yang membuat Pahala sampai lebih dari 30 kali keluar masuk penjara di masa Orde Baru dan sekali di masa reformasi. Pahala dan beberapa aktivis di Medan pun pernah dikenal dan sangat dicari-cari petugas keamanan dan tercatat sebagai anggota OTB (organisasi tanpa bentuk).

Bersama sesama aktivis lain yang sering disebut OTB, Pahala juga menjadi motor gerakan 14 April 1994. Gerakan ini terjadi di 32 kota di Indonesia. “Aksi paling besar terjadi di Medan,” aku Pahala.

Gerakan ini kelak menjadi cikal bakal standarisasi upah (upah minimum regional/UMR) serta standarisasi tunjangan hari besar (tunjangan hari raya/THR).

Pahala tidak tahu sampai kapan ia mejalani hidup seperti keadaannya sekarang. “Mengalir saja, seperti air,” ujarnya berpilosofi.
Pahala kemudian teringat pesan para mentor dan pembimbingnya. “Almarhum Profesor Toga Tobing, guru besar di Fakultas Ekonomi USU pernah bilang ke saya, ‘Apa yang kamu perjuangkan hari ini belum tentu kamu nikmati. Berjuanglah untuk anak cucu kita’. Ucapan itu selalu saya ingat,” kata Pahala sambil mengenang sejumlah nama yang selama ini mempengaruhi cara perpikirnya.

Diantaranya, ia menyebut nama Jhon Tafbu Ritonga yang saat ini menjadi Dekan Fakultas Ekonomi USU serta Profesor Bahtiar Hassan Miraja. “Pandangan dan peran ketiganya sangat mempengaruhi pandangan dan jalan hidup saya,” ujarnya. (tms)

Balon Independen Pilgubsu 2008

Pahala telah mengukirkan namanya sebagai satu-satunya bakal calon independen untuk pemilihan gubernur pada 1998. Hal itu dicatatkannya saat dia diamanatkan oleh kongres buruh (SBSI 1992) se Sumut untuk menjadi calon gubernur dari jalur independen. Amanah ini diperkuat lagi dengan dukungan Buruh Bersatu, gabungan organisasi para buruh, petani dan nelayan se Sumut.

Dukungan dituangkan dalam sebuah surat yang ditandatangani Dewan Presidium GSBBuP (Gabungan Suara Buruh Bersatu untuk Perseorangan) dan ditandatangani 9 perwakilan organisasi paling berpengaruh di Sumut ketika itu.

Pendaftaran pasangan Pahala Napitupulu dan Job Rahmad Purba pada Pilgub dari jalur independen ini dianggap sebagai kebangkitan kaum buruh. Sejumlah media massa nasional menurunkan laporan khusus tentang pencalonan ini. Kepada sebuah media nasional, Pahala menuturkan apa yang menjadi tujuannya serta kaum buruh, hingga mau dicalonkan.

“Tujuan utama kami sebenarnya bukan kemenangan, tetapi kami ingin menunjukkan jika buruh mempunyai kekuatan politik. Buruh bisa juga mencalonkan diri sebagai gubernur. Apalagi peluang itu sekarang terbuka lebar,” ujarnya ketika deklarasi tokoh buruh sebagai calon gubernur dari jalur independen pada Agustus 2008.

Ketika itu, pasangan Pahala-Job didukung para buruh se Sumut, petani dan nelayan serta kaum marjinal lainnya. “Bayangkan, suara yang mendukung kami,” sebut Pahala.

Nama mereka memang dicoret dari pendaftaran dengan alasan pencalonan tidak dapat diproses KPU Provinsi karena belum ada petunjuk dari pusat.
Tidak jera berjuang lewat jalur politik? “Tidak. Supaya efektif, memang harus ada orang yang berjuang dari jalur politik Siapapun itu, kalau memperjuangkan hak buruh dan kaum marjinal, pasti kita dukung,” ujar Pahala.

Ketika ditanya niatnya untuk meramaikan Pilgubsu 2013, Pahala hanya tersenyum. “Butuh dana besar untuk kampanye. Sebagai gambaran, pada 2008 lalu, dana kampanye kami yang didukung buruh mencapai Rp900 juta lebih,” ujarnya berdiplomasi. (tms)

Pahala PS Napitupulu, Aktivis Buruh dan Kaum Marjinal

agi sebagian orang, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), menjadi pekerjaan yang paling dicari diantara pekerjaan-pekerjaan lainnya. Selain jaminan masa depan, status sosial di masyarakat diharapkan ikut terangkat. Apalagi bila diterima di BUMN, kesejahteraan dan berbagai fasilitas penunjang lain sudah pasti didapatkan.

Tetapi bagi Pahala Napitupulu, dua pekerjaan itu bukan menjadi pilihan. Pada 1984, ia sudah tercatat sebagai honorer di Kanwil Kehutanan Sumut. Sebulan sebelum diangkat menjadi PNS, dia malah mengundurkan diri. Setahun kemudian, dia melamar pekerjaan di PTPN V. “Waktu itu, mencari kerja tidak sesulit sekarang. Apalagi bagi alumni USU, selalu ada pertimbangan khusus,” ungkap pria 53 tahun ini.

Saat lamaran diterima pihak perkebunan, seorang petinggi di PTP V memberikan nota di atas lamaran Pahala. Isinya kira-kira berbunyi demikian: “Saudara ini alumni USU. Tolong Ditempatkan sesuai keahliannya”. Tak lama kemudian Pahala diterima menjadi staf pembukuan di PTPN V dan ditempatkan di Kebun Sei Garo di Provinsi Riau.

Sebagai staf perusahaan perkebunan, Pahala yang waktu itu masih melajang, dijejali dengan berbagai fasilitas. Selain rumah dinas dan beberapa orang pembantu, upah yang diterimanya lebih dari cukup.

“Gaji saya Rp375 ribu. Bandingkan dengan gaji PNS golongan IIIA waktu itu yang cuma Rp95 ribu,” sebut Pahala menggambarkan kondisinya saat itu.
Puaskan Pahala? “Tidak. Dari awal-awal, suasana dan sistem kerja di kebun sangat feodalis, luar biasa. Bertentangan dengan batin saya. Ingin keluar, orangtua melarang dan menyarankan bertahan,” ujarnya.

Pahala bertahan dan mencoba memaklumi keadaan di kebun. Hingga pada 18 Juni 1987, ia menikahi Dra Yuliawati Maduwu, gadis pujaan yang dia kenal ketika menjadi aktivis semasa mahasiswa. Yuliawati yang kala itu mengajar di IKIP Nias di Gunung Sitoli, diboyong ke perkebunan.
Setahun kemudian, anak pertama mereka lahir. Oleh Pahala, putranya diberi nama Bani Praseto. “Bani artinya Batak Nias, perpaduan ayah dan ibunya. Kalau Praseto, putra Riau aseli Toba. Ha ha ha ha…,” Pahala tergelak.

Ternyata dia ingin agar putranya kelak tidak melupakan tanah kelahiran serta akar budayanya.
Memiliki pekerjaan dengan upah dan fasilitas yang terbilang lumayan, serta istri dan seorang anak, belum membuat Pahala tenang. Batinnya tertekan dengan sistem feodal di perkebunan. Pemimpin berbicara sesuka hati dengan menyebut si kebun binatang, sementara di depan mata, karyawan hidup dengan kemiskinan. “Tak sanggup saya lihat itu. Semua serba penzoliman,” sebutnya.

Pahala juga risau karena tidak bisa berbuat banyak untuk memperbaiki kondisi di sekitarnya. Sebagai pengurus Persatuan Karyawan perkebunan Negara (PERKAPPEN), sistem membuatnya tidak mampu berbuat banyak. “Saya terkungkung, tidak bisa menyalurkan pikiran dan menuangkan ide kreatif,” katanya berargumen.

Pada 17 Juli 1989, sebuah keputusan besar diambilnya. Perabotan dan barang-barang dijualnya. Dia dan sang istri dan anak hanya menyisakan pakaian, surat-surat dan barang-barang berharga yang bentuknya kecil. Menumpang truk Mitsubishi Colt Diesel, Pahala membawa Dra Yuliawati Maduwu dan putranya yang baru berusia setahun, dibawa pulang ke rumah orangtuanya di Medan. Mereka tiba Minggu pagi dan sangat mengagetkan orangtuanya.
“Hanya orang gila yang keluar dari pekerjaanya di PTP.” Demikian ungkapan kekecewaan ayahnya , Gr Saidin Napitupulu, kepada Pahala. Bukannya menyesal, Pahala malah membalas ucapan orangtuanya. “Hanya orang gila yang mau bekerja di PTP dengan kondisi seperti itu,” kembali Pahala tertawa menceritakan pengalamannya tersebut.

Hidup harus berlanjut. Anak dan isteri harus makan. Pahala mulai bergerilya mencari pekerjaan. Keahlian dan pengalamannya sebagai akunting di PTP V menjadi bekal berharga baginya. Mujur, hanya tiga hari setibanya di Medan, dia diterima sebagai akunting di PT Mesary Trading Co yang bergerak di bidang kontraktor dan transportasi CPO (minyak sawit). Setahun kemudian, 27 November 1990, pasangan Pahala-Yuliawati dikaruniai seorang putri dan diberi nama Melati Elisabet.

Di sisi lain, sejak kembali ke Medan, Pahala bertemu dengan rekan-rekannya sesama aktivis mahasiswa dulu. Pertemuan itu membawanya kembali ke dunia aktivis.

Sibuk memperjuangkan hak buruh dan kaum marjinal lainnya menghantarkan Pahala menjadi pengurus di sejumlah organisasi, khususnya yang memperjuangkan kaum marjinal.

Di PT Mesary, Pahala tidak bertahan lama. Di penghujung 1991, ia kembali memutuskan untuk mencari tantangan di perusahaan lain. Awal 1992, ayah dua anak ini sudah menjadi akunting di PT Healty Corporation.

Bertahan selama 3 tahun, ia membuka jasa konsultasi administrasi dan manajemen dengan bendera Pahala & Partner pada 1995. Hingga sekarang Pahala praktis hanya berkegiatan di organisasi perburuhan sebagai Ketua DPD Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992 Sumatera Utara dan menjalankan usaha jasa konsultasinya.

Tak betah menjadi PNS, pekerja BUMN dan swasta, lantas apa yang dicari? Pahala mengaku tak punya target khusus dalam menjalani hidupnya. “Saya mencari kepuasan batin. Saya puas kalau bisa menolong orang lain,” katanya dengan yakin.

Uniknya, sekitar 50 persen dari penghasilannya dialirkan kepada kaum marjinal atau untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Dan itu masih terjadi hingga saat ini.

Keyakinan dan perjuangan itu pula yang membuat Pahala sampai lebih dari 30 kali keluar masuk penjara di masa Orde Baru dan sekali di masa reformasi. Pahala dan beberapa aktivis di Medan pun pernah dikenal dan sangat dicari-cari petugas keamanan dan tercatat sebagai anggota OTB (organisasi tanpa bentuk).

Bersama sesama aktivis lain yang sering disebut OTB, Pahala juga menjadi motor gerakan 14 April 1994. Gerakan ini terjadi di 32 kota di Indonesia. “Aksi paling besar terjadi di Medan,” aku Pahala.

Gerakan ini kelak menjadi cikal bakal standarisasi upah (upah minimum regional/UMR) serta standarisasi tunjangan hari besar (tunjangan hari raya/THR).

Pahala tidak tahu sampai kapan ia mejalani hidup seperti keadaannya sekarang. “Mengalir saja, seperti air,” ujarnya berpilosofi.
Pahala kemudian teringat pesan para mentor dan pembimbingnya. “Almarhum Profesor Toga Tobing, guru besar di Fakultas Ekonomi USU pernah bilang ke saya, ‘Apa yang kamu perjuangkan hari ini belum tentu kamu nikmati. Berjuanglah untuk anak cucu kita’. Ucapan itu selalu saya ingat,” kata Pahala sambil mengenang sejumlah nama yang selama ini mempengaruhi cara perpikirnya.

Diantaranya, ia menyebut nama Jhon Tafbu Ritonga yang saat ini menjadi Dekan Fakultas Ekonomi USU serta Profesor Bahtiar Hassan Miraja. “Pandangan dan peran ketiganya sangat mempengaruhi pandangan dan jalan hidup saya,” ujarnya. (tms)

Balon Independen Pilgubsu 2008

Pahala telah mengukirkan namanya sebagai satu-satunya bakal calon independen untuk pemilihan gubernur pada 1998. Hal itu dicatatkannya saat dia diamanatkan oleh kongres buruh (SBSI 1992) se Sumut untuk menjadi calon gubernur dari jalur independen. Amanah ini diperkuat lagi dengan dukungan Buruh Bersatu, gabungan organisasi para buruh, petani dan nelayan se Sumut.

Dukungan dituangkan dalam sebuah surat yang ditandatangani Dewan Presidium GSBBuP (Gabungan Suara Buruh Bersatu untuk Perseorangan) dan ditandatangani 9 perwakilan organisasi paling berpengaruh di Sumut ketika itu.

Pendaftaran pasangan Pahala Napitupulu dan Job Rahmad Purba pada Pilgub dari jalur independen ini dianggap sebagai kebangkitan kaum buruh. Sejumlah media massa nasional menurunkan laporan khusus tentang pencalonan ini. Kepada sebuah media nasional, Pahala menuturkan apa yang menjadi tujuannya serta kaum buruh, hingga mau dicalonkan.

“Tujuan utama kami sebenarnya bukan kemenangan, tetapi kami ingin menunjukkan jika buruh mempunyai kekuatan politik. Buruh bisa juga mencalonkan diri sebagai gubernur. Apalagi peluang itu sekarang terbuka lebar,” ujarnya ketika deklarasi tokoh buruh sebagai calon gubernur dari jalur independen pada Agustus 2008.

Ketika itu, pasangan Pahala-Job didukung para buruh se Sumut, petani dan nelayan serta kaum marjinal lainnya. “Bayangkan, suara yang mendukung kami,” sebut Pahala.

Nama mereka memang dicoret dari pendaftaran dengan alasan pencalonan tidak dapat diproses KPU Provinsi karena belum ada petunjuk dari pusat.
Tidak jera berjuang lewat jalur politik? “Tidak. Supaya efektif, memang harus ada orang yang berjuang dari jalur politik Siapapun itu, kalau memperjuangkan hak buruh dan kaum marjinal, pasti kita dukung,” ujar Pahala.

Ketika ditanya niatnya untuk meramaikan Pilgubsu 2013, Pahala hanya tersenyum. “Butuh dana besar untuk kampanye. Sebagai gambaran, pada 2008 lalu, dana kampanye kami yang didukung buruh mencapai Rp900 juta lebih,” ujarnya berdiplomasi. (tms)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/