25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Tak Ingin Lupa Akar

Bantu Prayitno, Komidian yang Sukses di Usaha Kontraktor

Mendapat kepercayaan dari pengusaha dan diberi modal Rp1,5 miliar, menjadi titik balik kehidupan Bantu Prayitno. Luar biasa. Dalam waktu 1 tahun, modal dikembalikan dengan keuntungan Rp1,8 miliar. Bagaimana perjalanan kehidupan pelawak seangkatan Tomblok dan Jamal ini?

Pagi itu, Batu sedang duduk lesehan di teras rumah induk. Mengenakan celana pendek tanpa baju, salah satu pelawak senior Kota Medan ini menyapa ramah. Setelah berbincang, dialog dilanjutkan dengan cerita perjalanan kisah masa lalu ayah empat anak ini. Kisahnya dimulai sejak melajang, bergabung bersama Roulli Group, band impinan Munir Khan pada 1986. setahun kemudian, Bantu belajar melawak dan mulai manggung dengan grup lawak Jamal CS dengan personel Jamal, Samplok dan dirinya, Bantu cukup senang hanya diberi rokok dan makan. Berikut petikan wawancaranya yang dilakukan, Jumat (8/6) lalu:

Saat bergabung dengan Roulli Group Pimpinan Munir Khan sekaligus melawak bersama Jamal, Anda berkeliling pulau Sumatera. Kemana saja?

Ya, kami manggung keliling kota di Aceh hingga di Palembang. Di Padang, kami sepanggung dengan almarhum Gepeng. Kadang-kadang sepanggung dengan Tomblok CS.

Bagaimana rasanya sepanggung dengan pelawak tingkat nasional?

Biasa aja, saya tidak grogi. Gugup di panggung memang pernah saya alami waktu pertama hingga ke lima naik panggung. Kalau itu, enggak ada angina enggak ada hujan, aku gemeletaran (gemetaran, Red) di panggung. (Bantu kemudian bernostalgia semasa bergabung dengan Jamal CS di band Roulli Group). Dunia lawak saya tekuni hingga 1989. Kemudian saya bekerja di PTP II (sekarang PTPN II), lalu menikah 12 Desember 1990. Tiga tahun kemudian, saya menganggur, mocok-mocok.

Selepas melawak dan keluar dari perkebunan, kabarnya, Anda punya beberapa gudang. Benarkah?

Ya, pernah. Punya beberapa gudang di Batangkuis, Tanjungmorawa dan di Penara. Itu gudang penampungan sawit. Yah, begitulah….  Tahun 1997 sampai 1999, setelah punya sedikit modal, saya jadi distributor PT Kedaung, menyalurkan barang pecah belah. Saya buka DO dan ngirim barang kemana-mana. Sayang, kinerja PT Kedaung terganggu dan saya terkena imbasnya. Saya nganggur lagi dan jadi orang pasaran. Pertengahan 2001, saya dicalonkan dan mencalonkan diri menjadi Kepala Desa Sena.

Apa tanggapan warga desa ketika itu?

Wah, orang-orang menganggap negatif. Banyak juga yang tidak peduli dan berucap, ‘’terserahlah mau dibawa kemana desa ini, mau dihancurkan si Bantu juga ya silakan….’’ Waktu itu, martabat desa ini memang dianggap rendah. Makanya saya termotivasi menjadi kepala desa, untuk membangun desa ini dan akhirnya terpilih.

Setelah terpilih, apa program kerja yang Anda lakukan untuk menaikkan derajat desa Anda?

Saya terobsesi bangun sekolah dan pengajian. Kendalanya, kami tak punya uang. Maka, saya ajaklah warga bergotong-royong dan mengumpulkan dana seadanya. Dari dana swadaya dan donatur yang tidak mengikat, kami berhasil membangun dua lokal dan satu ruang guru. Itu tahun 2002. Kami menamai sekolah itu Sekolah Hidayatullah. Di sana ada pendidikan TK dan pengajian di siang hari.

Lima tahun pertama, sekolah ini berjalan terseok-seok. Saya harus mensubsidi sekolah ini Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan. Mulai 2008, mutu sekolah TK dan pengajian ini sudah meningkat, masyarakat makin percaya dan sekolah mulai berjalan kea rah yang lebih baik. Dan kemarin (Rabu, 6 Juni lalu), kami sudah mewisuda anak TK angkatan ke-10. SD nya sekarang udah sampai kelas 5.

Setelah sekitar 10 tahun kemudian, apakah perbedaan yang terjadi di desa Anda?

Alhamdulillah, sekarang kondisi masyarakat di desa kami sudah lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Kabarnya, Anda dapat suntikan modal hingga miliaran rupiah . Menurut Anda, mengapa ada orang yang mempercayakan uang dalam jumlah besar?

Itulah rasanya yang menjadi titik balik dalam hidup saya. Ada seorang bapak angkat yang kasih saya Rp1,5 miliar dalam tiga termin. Dia minta uangnya saya jadikan modal dengan catatan, keuntungannya dibagi dua. Mungkin beliau melihat saya punya potensi dan percaya pada kemampuan saya. Saya juga tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan itu. Saya gunakan sebaik-baiknya.

Apa yang dilakukan dengan uang sebanyak itu?

Saya memborong pembangunan jembatan-jembatan kecil di Batangkuis, Percutseituan dan Tanjungmowara. Alhamdullillah, modal dan keuntungan bisa saya kembalikan dalam satu tahun. Keuntunngan Rp1,8 miliar diberikan ke saya Rp900 juta. Luar biasanya, investor itu sangat senang, hingga membawa saya ke showroom mobil miliknya dan meminta saya memilih satu unit mobil baru. Wah, luar biasa rasanya. Saya tau diri dan minta diberikan mobil bekas saja. Saya minta Daihatsu Taft, tapi beliau akhirnya memberikan saya Daihatsu Taruna.

Tau nggak, waktu itu saya merinding dikasih bonus mobil. Pulangnya, saya masih seperti mimpi. Naik mobil saja belum lancar. Waktu isi BBM, sayanggak tau bagaimana caranya. Terpaksa, sambil menahanmalu saya minta tolong petugas Pom bensin. Hahahah….

Apa yang Anda lakukan dengan uang Rp900 juta itu?

Saya langsung bagi dua. Rp400 juta saya bangun rumah kontrakan dan sisanya untuk kerja. Saya buat CV Bayu Anggara dan saya ikut proyek GDSM (Deliserdang Membangun)  . Alhamdullilah, semua lancar. Usaha kontrakan berkembang, usaha di kontraktor juga berjalan baik. Sekarang, proyek ditangani abang dan adik saya, serta anak sulung saya, Bayu Anggara. Soalnya, saya kan masih aktif sebagai kelapa desa, supaya bias fokus melayani warga. Enggak enak, kepala desa ikut main proyek.

Setelah semua pencapaian ini, apakah ingin berkarir di dunia politik di jenjang yang lebih tinggi?
Tidak, saya tidak ingin. Saya malah ingin kembali lagi ke dunia hiburan, dunia yang saya cintai dan geluti sejak lama. Di situlah akar saya. Pekan ini saya akan rekaman album campur sari yang kedua. Doakan ya….(tms)

Bangga Lahirkan Singa

Menjadi crosser merupakan cita-cita Bantu Prayetno sejak muda. Apa daya, kemampuan ekonomi orangtua tidak mendukung mimpinya itu. “Jangankan membeli kereta (sepedamotor), beli bautnya aja tidak sanggup,” ujar anak pensiunan karyawan PTPN II ini.

Tidak pernah menikmati sensasi peningkatan adrenalin di lintasan, Bantu tetap menonton balapan. Kadang dia membawa dua anak lelakinya Bayu Anggara dan Bagus Handoko ke arena balap dari Batangkuis hingga belasan kilometer ke Lubukpakan, Sibiru-biru dan daerah lainnya. “Kami naik sepeda,” sebutnya.

Mendengar ingar-bingar suara kenalpot motor balap dan melihat aksi jumping penunggangnya, memberikenikmatan tersendiri bagi Bantu.

Bila ada pembalap menyentuh garis finis, dia berlari mendekat. Sekadar melihat senyuman pemenang dan mengelus motor pembalap jagoannya.

Keinginan untuk berlomba di arena balap memang tidak kesampaian. Tetapi Bantu kini bisa tersenyum. Dia menurunkan hasratnya tersebut melalui anaknya, Bagus Handoko. Beruntung, saat Bagus remaja, kondisi finansial Bantu menunjukkan tanda peningkatan.  Ia tidak ingin pengalamannya di masa lalu terulang pada Bagus. Anaknya itu difasilitasi perlengkapan balap, disekolahkan di sekolah pembalap hingga mampu mengikuti berbagai ajang kompetisi di tingat provinsi dan nasional. Bagus malah punya tim reli sendiri bernama Bagus Rally Team.

Prestasi demi prestasi diukir, ratusan piala yang dipajang dalam tiga lemari, pun menjadi saksi  anaknya. “Bagus sampai dijuluki Singa dari Deliserdang,” ujar Bantu bangga.
Saat ini, Bagus turun di kelas 250 special engine dan berada di peringkat kedua di tingkat provinsi. “Saya bangga dengan prestasi balapnya,” ujar komidian ini.
Tidak hanya hobi anaknya yang benar-benar menjadi perhatian Bantu. Saat ini, dua anaknya, Bayu dan Bagus sedang menimba ilmu di Universitas Negeri Medan (Unimed) di jurusan olahraga. (tms)

Bila Bagus berprestasi di lintasan balap, Bayu kii dikader untuk melanjutkan usaha orangtuanya. Dia ditandemkan dengan paman-pamannya menelola usaha kontraktor di bawah bendera CV Bayu Anggara. “Dia belajar-belajar dulu,” sebutnya sambil tersenyum. (tms)

Bantu Prayitno, Komidian yang Sukses di Usaha Kontraktor

Mendapat kepercayaan dari pengusaha dan diberi modal Rp1,5 miliar, menjadi titik balik kehidupan Bantu Prayitno. Luar biasa. Dalam waktu 1 tahun, modal dikembalikan dengan keuntungan Rp1,8 miliar. Bagaimana perjalanan kehidupan pelawak seangkatan Tomblok dan Jamal ini?

Pagi itu, Batu sedang duduk lesehan di teras rumah induk. Mengenakan celana pendek tanpa baju, salah satu pelawak senior Kota Medan ini menyapa ramah. Setelah berbincang, dialog dilanjutkan dengan cerita perjalanan kisah masa lalu ayah empat anak ini. Kisahnya dimulai sejak melajang, bergabung bersama Roulli Group, band impinan Munir Khan pada 1986. setahun kemudian, Bantu belajar melawak dan mulai manggung dengan grup lawak Jamal CS dengan personel Jamal, Samplok dan dirinya, Bantu cukup senang hanya diberi rokok dan makan. Berikut petikan wawancaranya yang dilakukan, Jumat (8/6) lalu:

Saat bergabung dengan Roulli Group Pimpinan Munir Khan sekaligus melawak bersama Jamal, Anda berkeliling pulau Sumatera. Kemana saja?

Ya, kami manggung keliling kota di Aceh hingga di Palembang. Di Padang, kami sepanggung dengan almarhum Gepeng. Kadang-kadang sepanggung dengan Tomblok CS.

Bagaimana rasanya sepanggung dengan pelawak tingkat nasional?

Biasa aja, saya tidak grogi. Gugup di panggung memang pernah saya alami waktu pertama hingga ke lima naik panggung. Kalau itu, enggak ada angina enggak ada hujan, aku gemeletaran (gemetaran, Red) di panggung. (Bantu kemudian bernostalgia semasa bergabung dengan Jamal CS di band Roulli Group). Dunia lawak saya tekuni hingga 1989. Kemudian saya bekerja di PTP II (sekarang PTPN II), lalu menikah 12 Desember 1990. Tiga tahun kemudian, saya menganggur, mocok-mocok.

Selepas melawak dan keluar dari perkebunan, kabarnya, Anda punya beberapa gudang. Benarkah?

Ya, pernah. Punya beberapa gudang di Batangkuis, Tanjungmorawa dan di Penara. Itu gudang penampungan sawit. Yah, begitulah….  Tahun 1997 sampai 1999, setelah punya sedikit modal, saya jadi distributor PT Kedaung, menyalurkan barang pecah belah. Saya buka DO dan ngirim barang kemana-mana. Sayang, kinerja PT Kedaung terganggu dan saya terkena imbasnya. Saya nganggur lagi dan jadi orang pasaran. Pertengahan 2001, saya dicalonkan dan mencalonkan diri menjadi Kepala Desa Sena.

Apa tanggapan warga desa ketika itu?

Wah, orang-orang menganggap negatif. Banyak juga yang tidak peduli dan berucap, ‘’terserahlah mau dibawa kemana desa ini, mau dihancurkan si Bantu juga ya silakan….’’ Waktu itu, martabat desa ini memang dianggap rendah. Makanya saya termotivasi menjadi kepala desa, untuk membangun desa ini dan akhirnya terpilih.

Setelah terpilih, apa program kerja yang Anda lakukan untuk menaikkan derajat desa Anda?

Saya terobsesi bangun sekolah dan pengajian. Kendalanya, kami tak punya uang. Maka, saya ajaklah warga bergotong-royong dan mengumpulkan dana seadanya. Dari dana swadaya dan donatur yang tidak mengikat, kami berhasil membangun dua lokal dan satu ruang guru. Itu tahun 2002. Kami menamai sekolah itu Sekolah Hidayatullah. Di sana ada pendidikan TK dan pengajian di siang hari.

Lima tahun pertama, sekolah ini berjalan terseok-seok. Saya harus mensubsidi sekolah ini Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan. Mulai 2008, mutu sekolah TK dan pengajian ini sudah meningkat, masyarakat makin percaya dan sekolah mulai berjalan kea rah yang lebih baik. Dan kemarin (Rabu, 6 Juni lalu), kami sudah mewisuda anak TK angkatan ke-10. SD nya sekarang udah sampai kelas 5.

Setelah sekitar 10 tahun kemudian, apakah perbedaan yang terjadi di desa Anda?

Alhamdulillah, sekarang kondisi masyarakat di desa kami sudah lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Kabarnya, Anda dapat suntikan modal hingga miliaran rupiah . Menurut Anda, mengapa ada orang yang mempercayakan uang dalam jumlah besar?

Itulah rasanya yang menjadi titik balik dalam hidup saya. Ada seorang bapak angkat yang kasih saya Rp1,5 miliar dalam tiga termin. Dia minta uangnya saya jadikan modal dengan catatan, keuntungannya dibagi dua. Mungkin beliau melihat saya punya potensi dan percaya pada kemampuan saya. Saya juga tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan itu. Saya gunakan sebaik-baiknya.

Apa yang dilakukan dengan uang sebanyak itu?

Saya memborong pembangunan jembatan-jembatan kecil di Batangkuis, Percutseituan dan Tanjungmowara. Alhamdullillah, modal dan keuntungan bisa saya kembalikan dalam satu tahun. Keuntunngan Rp1,8 miliar diberikan ke saya Rp900 juta. Luar biasanya, investor itu sangat senang, hingga membawa saya ke showroom mobil miliknya dan meminta saya memilih satu unit mobil baru. Wah, luar biasa rasanya. Saya tau diri dan minta diberikan mobil bekas saja. Saya minta Daihatsu Taft, tapi beliau akhirnya memberikan saya Daihatsu Taruna.

Tau nggak, waktu itu saya merinding dikasih bonus mobil. Pulangnya, saya masih seperti mimpi. Naik mobil saja belum lancar. Waktu isi BBM, sayanggak tau bagaimana caranya. Terpaksa, sambil menahanmalu saya minta tolong petugas Pom bensin. Hahahah….

Apa yang Anda lakukan dengan uang Rp900 juta itu?

Saya langsung bagi dua. Rp400 juta saya bangun rumah kontrakan dan sisanya untuk kerja. Saya buat CV Bayu Anggara dan saya ikut proyek GDSM (Deliserdang Membangun)  . Alhamdullilah, semua lancar. Usaha kontrakan berkembang, usaha di kontraktor juga berjalan baik. Sekarang, proyek ditangani abang dan adik saya, serta anak sulung saya, Bayu Anggara. Soalnya, saya kan masih aktif sebagai kelapa desa, supaya bias fokus melayani warga. Enggak enak, kepala desa ikut main proyek.

Setelah semua pencapaian ini, apakah ingin berkarir di dunia politik di jenjang yang lebih tinggi?
Tidak, saya tidak ingin. Saya malah ingin kembali lagi ke dunia hiburan, dunia yang saya cintai dan geluti sejak lama. Di situlah akar saya. Pekan ini saya akan rekaman album campur sari yang kedua. Doakan ya….(tms)

Bangga Lahirkan Singa

Menjadi crosser merupakan cita-cita Bantu Prayetno sejak muda. Apa daya, kemampuan ekonomi orangtua tidak mendukung mimpinya itu. “Jangankan membeli kereta (sepedamotor), beli bautnya aja tidak sanggup,” ujar anak pensiunan karyawan PTPN II ini.

Tidak pernah menikmati sensasi peningkatan adrenalin di lintasan, Bantu tetap menonton balapan. Kadang dia membawa dua anak lelakinya Bayu Anggara dan Bagus Handoko ke arena balap dari Batangkuis hingga belasan kilometer ke Lubukpakan, Sibiru-biru dan daerah lainnya. “Kami naik sepeda,” sebutnya.

Mendengar ingar-bingar suara kenalpot motor balap dan melihat aksi jumping penunggangnya, memberikenikmatan tersendiri bagi Bantu.

Bila ada pembalap menyentuh garis finis, dia berlari mendekat. Sekadar melihat senyuman pemenang dan mengelus motor pembalap jagoannya.

Keinginan untuk berlomba di arena balap memang tidak kesampaian. Tetapi Bantu kini bisa tersenyum. Dia menurunkan hasratnya tersebut melalui anaknya, Bagus Handoko. Beruntung, saat Bagus remaja, kondisi finansial Bantu menunjukkan tanda peningkatan.  Ia tidak ingin pengalamannya di masa lalu terulang pada Bagus. Anaknya itu difasilitasi perlengkapan balap, disekolahkan di sekolah pembalap hingga mampu mengikuti berbagai ajang kompetisi di tingat provinsi dan nasional. Bagus malah punya tim reli sendiri bernama Bagus Rally Team.

Prestasi demi prestasi diukir, ratusan piala yang dipajang dalam tiga lemari, pun menjadi saksi  anaknya. “Bagus sampai dijuluki Singa dari Deliserdang,” ujar Bantu bangga.
Saat ini, Bagus turun di kelas 250 special engine dan berada di peringkat kedua di tingkat provinsi. “Saya bangga dengan prestasi balapnya,” ujar komidian ini.
Tidak hanya hobi anaknya yang benar-benar menjadi perhatian Bantu. Saat ini, dua anaknya, Bayu dan Bagus sedang menimba ilmu di Universitas Negeri Medan (Unimed) di jurusan olahraga. (tms)

Bila Bagus berprestasi di lintasan balap, Bayu kii dikader untuk melanjutkan usaha orangtuanya. Dia ditandemkan dengan paman-pamannya menelola usaha kontraktor di bawah bendera CV Bayu Anggara. “Dia belajar-belajar dulu,” sebutnya sambil tersenyum. (tms)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/