31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Bangkit dari Dua Kali Kegagalan

Chairul Azmi Hutasuhut, Akademisi dan Praktisi Olahraga di Sumut

Nasihat orangtua itu doa dan bekal menuju keberhasilan. Demikian pemahaman Chairul Azmi Hutasuhut tentang kiat mengarungi hidup dan kehidupan.

Lahir sebagai bungsu dari tujuh bersaudara tak, membuat Chairul Azmi Hutasuhut menjadi anak manja. Semua dilalui dengan apa adanya. Masa kecil hingga dewasa pun dilalui dengan penuh warna. Beberapa pengalaman masa lalu terasa manis dikenang saat ini.

Ditemui di sebuah sudut di salah satu ruangan di Hotel Grand Angkasa Medan, Rabu (25/1) malam lalu, praktisi pendidikan ini mengurai pengalaman masa lalunya.

Dari cerita singkatnya di awal pertemuan, Chairul Azmi mengakui kalau dia bukanlah anak yang cerdas.

Tetapi ketika duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah di Jalan Pahlawan Medan, pernah diikutkan dalam ujian akhir untuk anak kelas 6 SD dan lulus. Di kemudian melanjutkan pendidikan ke SMPN 10 Medan. Di sekolah lanjutan pertama, Chairul Azmi mengaku tak kesulitan mengikuti pelajaran.

“Dapat ranking 30 dari sekitar 40 orang se lokal, ha ha ha…,” ujarnya tertawa.

Chairul Azmi Hutasuhut

Selepas SMP pada 1972, Chairul Azmi berniat melanjut ke sekolah Sekolah Menengah Analis Kimia di belakang TVRI Stasiun Medan. Dia ingin menjadi tenaga ahli yang bekerja di laboratorium. “Biar Mudah mencari kerja,” ujarnya menyebut motivasinya mengambil jurusan tersebut.

Niatnya mulia, agar cepat bisa mencari uang sendiri, tidak tergantung lagi pada orangtua. Tetapi kenyataan berkata lain. Chairul Azmi muda tidak diterima. ‘Kegagalan’ ini ternyata berdampak besar bagi kehidupannya.

Semangatnya untuk sekolah langsung drop. “Pernah masuk SMEA, tapi cuma bertahan tiga bulan,” ujarnya.

Tercatat, dua tahun ia meninggalkan bangku sekolah dan membantu ibunya, Siti Hawa Dalimunthe, berjualan di kantin sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) di Jalan Pancing, yang sekarang berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Model di Jalan Willem Iskandar. Selama membantu ibunya berjualan, Bila tidak sedang membantu ibunya, Chairul Azmi bermain bersama rekan-rekannya sekampung. “Setiap sore saya sering bermain bola dengan teman-teman.

Dari kecil saya memang senang berolahraga,” ujarnya.

Sesekali, ia dan anak-anak lainnya mencari ikan laga di sekitar daerah tempat tinggal di Jalan Pukat 1 Kelurahan Bantan Timur, Kecamatan Medan Tembung.

Tak ingin anaknya terlena dengan pergaulan remaja saat itu tanpa memperoleh pendidikan yang layak, ibunya membujuk Chairul Azmi agar mau bersekolah lagi. “Tahu sendirilah bagaimana pergaulan di Jalan Mandailing, sekitar tempat tinggal kita itu,” sebutnya.

Untuk menarik perhatiannya, dia disarankan sekolah ke Jakarta, ikut bangnya. “Ibu yang mendorong saya sekolah ke Jakarta,” kenangnya lagi.

Saran ibunya ternyata menjadi titik balik kehidupan penggiat olahraga ini. Sepanjang 1975-1977, ia menimba ilmu di Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) di Jakarta. Lumayan, di sekolah ini prestasi belajar Chairul Azmi terbilang mentereng. Di kehidupan kesehariannya, ia juga lebih mandiri. Berbagai pekerjaan rumahtangga dipercayakan sang abang kepadanya.

Di lain pihak, keluwesannay bergaul membuatnya memiliki banyak teman. “Di Jakarta saya tetap sering bermain bola bersama kawan-kawan,” ujarnya.

Selepas menyelesaikan pendidikan di SMOA pada 1977, Chairul Azmi malah mencoba masuk ke sekolah tinggi prmasyarakatan yang sekarang menjadi Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP). Motivasinya, lagilagi tidak ingin menyusahkan abak yang mengasuhnya, maupun orangtuanya. “Sekolah di sana kan gak bayar, dapat uang saku dan lulus langsung kerja,” jelas Chairul Azmi.

Seleksi awal dilalui dengan baik. “Seorang teman saya waktu itu sudah kalah dari seleksi pertama.

BERSAMA TOKOH: Chairul Azmi (4 dari kanan) bersama atlet Wushu dan sejumlah tokoh nasional.

Sekarang dia sudah berpangkat Letkol di Angkatan Laut,” katanya bangga.

Hingga masuk tahap test psikilogi di Senayan, Chairul Azmi berhadapan dengan seorang penguji wanita.

Dia ditanya alasan mengikuti seleksi. “Ya, saya jawab saja dengan jujur, ibu itu malah tersenyum,” kenangnya lagi.

Entah bagaimana, ibu tersebut memintanya bernyanyi.

Berulang kali Chairul Azmi menolak dengan alasan tidak bisa bernyanyi, penguji tetap memintanya dengan setengah memaksa. “Karena saya bermarga, saya disuruh menyanyi. Katanya, ‘kan orang Batak pintar bernyanyi’. Jadilah saya nyanyi Garuda Pancasila,” ujarnya tersenyum.

Pada pengumuman hasil seleksi, ternyata ia dinyatakan tidak lulus. Chairul Azmi kesal, perjuangannya menjadi PNS di kandas di tahap akhir seleksi. Kekalahan ini mengingatkannya atas kegagalannya masuk Sekolah Menengah Analis Kimia di Medan. Kali ini dampaknya lebih besar lagi. Selama tiga tahun ia ‘luntang- lantung’ tanpa kegiatan. Hingga akhir 1980, Chairul Azmi kembali ke Medan. Dia lalu diajak paman (adik ibu, Red) menjadi pengawas di proyek perkebunan di Kota Pinang. Dari ibu kota, Chairul Azmi hidup ditengah-tengah prekebunan hingga terlibat membuka hutan untuk lahan kebun. Kembali, Chairul Azmi merenungkan kehidupannya. “Di sana saya berpikir, tidak ingin hidup seperti-seperti itu saja. Hingga tahun 1981 saya mencoba ujian seleksi Proyek Perintis 4 masuk IKIP Medan. Alhamdullilah, saya lulus di FPOK (Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan.),” sebutnya mengucap syukur.

Singkat cerita, Chairul Azmi, menjalani perkuliahan dengan baik. Tak hanya di kampus, pria ini juga mencatatkan diri sebagai atlet bprestasi di tingkat nasionalmelalui cabang olahraga gulat.

Di akhir masa pendidikannya, suami dari Tengku Lafalinda ini dihadapkan pada pilihan mengikuti jalur skripsi atau jalur matakuliah.

Jalur skripsi adalah jalur penelitian untuk menyelesaikan perkuliahan.

Hanya mahasiswa yang memiliki nilai memadai dan dianggap mampu yang diperkenankan mengikuti jalur ini. Sedangkan jalur matakuliah, bisa diambil semua mahasiswa, baik yang berprestasi baik maupun yang biasa-biasa saja. “Saya mengambil jalur skripsi dengan pertimbangan bisa menjadi dosen dan menjadi pegawai negeri.” (tms/omi)

Makan Bersama Emak Usai Jumatan

Chairul Azmi Hutasuhut

SATU bekal sukses yang tak pernah dilupakan oleh seorang Chairul Azmi Hutasuhut berasal dari orangtua, terlebih sang bunda, Siti Hawa Dalimunthe. Beragam nasihat dan pesan sang bunda yang dipanggilnya emak tetap diingat sampai saat ini. “Emak selalu ingatkan agar hidup jujur dan taat perintah agama,” ujarnya. Bahkan hingga usianya mencapai paruh baya, sang emak tetap ‘menyaupinya’ dengan berbagai petuah. Kata-kata dan nasihat itu dianggapnya sebagai doa permohonan kepada Tuhan untuk kesuksesannya.

“Setiap kali bertemu, emak pasti nanya, apakah saya sudah salat atau belum. Kalau belum, emak pasti menyuruh saya salat dulu,” ucap pria yang tetap terlihat bugar ini.

Perjalanan pengalaman pula yang membuatnya memiliki kebiasaan unik. Kamis malam, Pembantu Rektor di UNIMED itu selalu berkomunikasi dengan ibunya melalui telepon. “Kalau tidak emak yang tanya saya pengen dimasakkan apa, saya yang tanya emak masak apa besoknya,” singkap Kepala Humas UNIMED ini.

Keesokan harinya, usai salat Jumat berjamaah, ia pasti menemui emak di rumah dan makan bersama. “Itu tetap saya lakukan kalau saya tidak ke luar kota,” katanya pasti.

Sesekali, dua anaknya diminta menjenguk Siti Hawa Dalimunthe.

“Kebetulan libur sekolah, tadi juga saya minta anak saya menemui neneknya.” Pengalaman hidup dan nasihat orangtuanya pula yang dijadikan landasan memberi pengarahan bagi anakanaknya.

“Saya tanamkan pada anak untuk selalu jujur, tidak sombong dan arogan,” ujarnya.

Di tengah kesibukannya di UNIMED dan di dunia olahraga, Chairul Azmi Hutasuhut tetap menjaga komunikasi yang baik dengan istri dan anak-anaknya. “Paling tidak, setiap pagi kami sarapan bersama. Waktu itulah saya dan istri banyak ngobrol dengan anak-anak dan menanamkan nilai-nilai hidup.” Kehangatan bersama keluarga juga dipupuk ketika waktu luang, dengan makan bersama di luar rumah. Saat liburan, kerap pula diisi dengan bepergian bersama keluarga.

“Bagi saya, kualitas pertemuan itu lebih penting,” paparnya.

Pria yang masih menjabat Sekeretris Umum KONI Sumut itu tak lupa membekali anak-anak dengan pengetahuan agama. “Kami memanggil guru agama ke rumah untuk belajar tentang agama ataupun mengaji Al-Quran bagi anakanak,” terangnya.

Sebagai orangtua, tak banyak yang dia tuntut dari anakanaknya selain menjadi anak saleh dan kelak bisa menghidupi diri dan keluarganya.

“Kita hanya bisa memantau dan memberikan dukungan terhadap masa depan anak . Bila profesi yang dipilih anakanak telah diperdalaminya, kiranya profesi tersebut dapat bermanfaat bagi orang lain,” ungkapnya. (tms/omi)

 

DATA DIRI

  • Kelahiran : Medan, 1 April 1958
  • Pekerjaan : PNS di Unimed
  • Anak : Bungsu dari 7 bersaudara
  • Nama Ayah : Musai Hutasuhut
  • Ibu : Siti Hawa Dalimunthe
  • Istri : Dra Tengku Lafalinda MPd
  • Kelahiran : Sibolga 4 Mei 1963
  • Anak : 1. Muhammad Iqbal Az’ari Hutasuhut (Medan, 6 April 1990)
  • 2. Farhan Arafah (Medan, 6 April 1998)

PENDIDIKAN

  • 1970 Lulus dari SD Muhammadiyah Jalan Pahlawan Medan
  • 1972 Lulus dari SMPN 10 Medan
  • 1975-1977 SMOA Jakarta
  • 1981-1987 S1 IKIP Medan, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehtan (FPOK),

PRESTASI

  • 1975 Juara Gulat Se DKI Jakarta
  • 1989 Wasit Panahan di PON ke 12 di Jakarta
  • 1993 Wasit Panahan PON ke 13 di Jakarta
  • 1996 Wasit Panahan PON ke 14 di Jakarta
  • 2000 Wasit Panahan PON ke 15 di Surabaya
  • 1993 Meraih Sertifikat Wasit Panahan Internasional
  • 1995 Wasit Panahan di Kejuaraan Asia di Malaysia

PENGALAMAN ORGANISASI

  • 1988-1992 Wakil sekretaris PASI Sumut
  • 1992-1996 Sekretaris PASI Sumut
  • 2002-2006 Sekretaris PASI Sumut
  • 1998-2002 Wakil sekreatris umum KONI Sumut
  • 2003-2016 Sekum KONI Sumut mulai tahun
  • 2001-2009 Ketua I Pengprop Wushu Sumut tahun
  • 2005-2013 Ketua bidang organisasi PB Wushu
  • 2008-2012 Pengurus PB PASI tahun
  • 1996-2003 Sekretaris ISORI Sumut
  • 2003-2007 Pembatu Dekan III FIK Unimed
  • 2000-2011 Kepala Humas UNIMED
  • 2007-2015 Pembantu Rektor II Unimed

Chairul Azmi Hutasuhut, Akademisi dan Praktisi Olahraga di Sumut

Nasihat orangtua itu doa dan bekal menuju keberhasilan. Demikian pemahaman Chairul Azmi Hutasuhut tentang kiat mengarungi hidup dan kehidupan.

Lahir sebagai bungsu dari tujuh bersaudara tak, membuat Chairul Azmi Hutasuhut menjadi anak manja. Semua dilalui dengan apa adanya. Masa kecil hingga dewasa pun dilalui dengan penuh warna. Beberapa pengalaman masa lalu terasa manis dikenang saat ini.

Ditemui di sebuah sudut di salah satu ruangan di Hotel Grand Angkasa Medan, Rabu (25/1) malam lalu, praktisi pendidikan ini mengurai pengalaman masa lalunya.

Dari cerita singkatnya di awal pertemuan, Chairul Azmi mengakui kalau dia bukanlah anak yang cerdas.

Tetapi ketika duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah di Jalan Pahlawan Medan, pernah diikutkan dalam ujian akhir untuk anak kelas 6 SD dan lulus. Di kemudian melanjutkan pendidikan ke SMPN 10 Medan. Di sekolah lanjutan pertama, Chairul Azmi mengaku tak kesulitan mengikuti pelajaran.

“Dapat ranking 30 dari sekitar 40 orang se lokal, ha ha ha…,” ujarnya tertawa.

Chairul Azmi Hutasuhut

Selepas SMP pada 1972, Chairul Azmi berniat melanjut ke sekolah Sekolah Menengah Analis Kimia di belakang TVRI Stasiun Medan. Dia ingin menjadi tenaga ahli yang bekerja di laboratorium. “Biar Mudah mencari kerja,” ujarnya menyebut motivasinya mengambil jurusan tersebut.

Niatnya mulia, agar cepat bisa mencari uang sendiri, tidak tergantung lagi pada orangtua. Tetapi kenyataan berkata lain. Chairul Azmi muda tidak diterima. ‘Kegagalan’ ini ternyata berdampak besar bagi kehidupannya.

Semangatnya untuk sekolah langsung drop. “Pernah masuk SMEA, tapi cuma bertahan tiga bulan,” ujarnya.

Tercatat, dua tahun ia meninggalkan bangku sekolah dan membantu ibunya, Siti Hawa Dalimunthe, berjualan di kantin sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) di Jalan Pancing, yang sekarang berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Model di Jalan Willem Iskandar. Selama membantu ibunya berjualan, Bila tidak sedang membantu ibunya, Chairul Azmi bermain bersama rekan-rekannya sekampung. “Setiap sore saya sering bermain bola dengan teman-teman.

Dari kecil saya memang senang berolahraga,” ujarnya.

Sesekali, ia dan anak-anak lainnya mencari ikan laga di sekitar daerah tempat tinggal di Jalan Pukat 1 Kelurahan Bantan Timur, Kecamatan Medan Tembung.

Tak ingin anaknya terlena dengan pergaulan remaja saat itu tanpa memperoleh pendidikan yang layak, ibunya membujuk Chairul Azmi agar mau bersekolah lagi. “Tahu sendirilah bagaimana pergaulan di Jalan Mandailing, sekitar tempat tinggal kita itu,” sebutnya.

Untuk menarik perhatiannya, dia disarankan sekolah ke Jakarta, ikut bangnya. “Ibu yang mendorong saya sekolah ke Jakarta,” kenangnya lagi.

Saran ibunya ternyata menjadi titik balik kehidupan penggiat olahraga ini. Sepanjang 1975-1977, ia menimba ilmu di Sekolah Menengah Olahraga Atas (SMOA) di Jakarta. Lumayan, di sekolah ini prestasi belajar Chairul Azmi terbilang mentereng. Di kehidupan kesehariannya, ia juga lebih mandiri. Berbagai pekerjaan rumahtangga dipercayakan sang abang kepadanya.

Di lain pihak, keluwesannay bergaul membuatnya memiliki banyak teman. “Di Jakarta saya tetap sering bermain bola bersama kawan-kawan,” ujarnya.

Selepas menyelesaikan pendidikan di SMOA pada 1977, Chairul Azmi malah mencoba masuk ke sekolah tinggi prmasyarakatan yang sekarang menjadi Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP). Motivasinya, lagilagi tidak ingin menyusahkan abak yang mengasuhnya, maupun orangtuanya. “Sekolah di sana kan gak bayar, dapat uang saku dan lulus langsung kerja,” jelas Chairul Azmi.

Seleksi awal dilalui dengan baik. “Seorang teman saya waktu itu sudah kalah dari seleksi pertama.

BERSAMA TOKOH: Chairul Azmi (4 dari kanan) bersama atlet Wushu dan sejumlah tokoh nasional.

Sekarang dia sudah berpangkat Letkol di Angkatan Laut,” katanya bangga.

Hingga masuk tahap test psikilogi di Senayan, Chairul Azmi berhadapan dengan seorang penguji wanita.

Dia ditanya alasan mengikuti seleksi. “Ya, saya jawab saja dengan jujur, ibu itu malah tersenyum,” kenangnya lagi.

Entah bagaimana, ibu tersebut memintanya bernyanyi.

Berulang kali Chairul Azmi menolak dengan alasan tidak bisa bernyanyi, penguji tetap memintanya dengan setengah memaksa. “Karena saya bermarga, saya disuruh menyanyi. Katanya, ‘kan orang Batak pintar bernyanyi’. Jadilah saya nyanyi Garuda Pancasila,” ujarnya tersenyum.

Pada pengumuman hasil seleksi, ternyata ia dinyatakan tidak lulus. Chairul Azmi kesal, perjuangannya menjadi PNS di kandas di tahap akhir seleksi. Kekalahan ini mengingatkannya atas kegagalannya masuk Sekolah Menengah Analis Kimia di Medan. Kali ini dampaknya lebih besar lagi. Selama tiga tahun ia ‘luntang- lantung’ tanpa kegiatan. Hingga akhir 1980, Chairul Azmi kembali ke Medan. Dia lalu diajak paman (adik ibu, Red) menjadi pengawas di proyek perkebunan di Kota Pinang. Dari ibu kota, Chairul Azmi hidup ditengah-tengah prekebunan hingga terlibat membuka hutan untuk lahan kebun. Kembali, Chairul Azmi merenungkan kehidupannya. “Di sana saya berpikir, tidak ingin hidup seperti-seperti itu saja. Hingga tahun 1981 saya mencoba ujian seleksi Proyek Perintis 4 masuk IKIP Medan. Alhamdullilah, saya lulus di FPOK (Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan.),” sebutnya mengucap syukur.

Singkat cerita, Chairul Azmi, menjalani perkuliahan dengan baik. Tak hanya di kampus, pria ini juga mencatatkan diri sebagai atlet bprestasi di tingkat nasionalmelalui cabang olahraga gulat.

Di akhir masa pendidikannya, suami dari Tengku Lafalinda ini dihadapkan pada pilihan mengikuti jalur skripsi atau jalur matakuliah.

Jalur skripsi adalah jalur penelitian untuk menyelesaikan perkuliahan.

Hanya mahasiswa yang memiliki nilai memadai dan dianggap mampu yang diperkenankan mengikuti jalur ini. Sedangkan jalur matakuliah, bisa diambil semua mahasiswa, baik yang berprestasi baik maupun yang biasa-biasa saja. “Saya mengambil jalur skripsi dengan pertimbangan bisa menjadi dosen dan menjadi pegawai negeri.” (tms/omi)

Makan Bersama Emak Usai Jumatan

Chairul Azmi Hutasuhut

SATU bekal sukses yang tak pernah dilupakan oleh seorang Chairul Azmi Hutasuhut berasal dari orangtua, terlebih sang bunda, Siti Hawa Dalimunthe. Beragam nasihat dan pesan sang bunda yang dipanggilnya emak tetap diingat sampai saat ini. “Emak selalu ingatkan agar hidup jujur dan taat perintah agama,” ujarnya. Bahkan hingga usianya mencapai paruh baya, sang emak tetap ‘menyaupinya’ dengan berbagai petuah. Kata-kata dan nasihat itu dianggapnya sebagai doa permohonan kepada Tuhan untuk kesuksesannya.

“Setiap kali bertemu, emak pasti nanya, apakah saya sudah salat atau belum. Kalau belum, emak pasti menyuruh saya salat dulu,” ucap pria yang tetap terlihat bugar ini.

Perjalanan pengalaman pula yang membuatnya memiliki kebiasaan unik. Kamis malam, Pembantu Rektor di UNIMED itu selalu berkomunikasi dengan ibunya melalui telepon. “Kalau tidak emak yang tanya saya pengen dimasakkan apa, saya yang tanya emak masak apa besoknya,” singkap Kepala Humas UNIMED ini.

Keesokan harinya, usai salat Jumat berjamaah, ia pasti menemui emak di rumah dan makan bersama. “Itu tetap saya lakukan kalau saya tidak ke luar kota,” katanya pasti.

Sesekali, dua anaknya diminta menjenguk Siti Hawa Dalimunthe.

“Kebetulan libur sekolah, tadi juga saya minta anak saya menemui neneknya.” Pengalaman hidup dan nasihat orangtuanya pula yang dijadikan landasan memberi pengarahan bagi anakanaknya.

“Saya tanamkan pada anak untuk selalu jujur, tidak sombong dan arogan,” ujarnya.

Di tengah kesibukannya di UNIMED dan di dunia olahraga, Chairul Azmi Hutasuhut tetap menjaga komunikasi yang baik dengan istri dan anak-anaknya. “Paling tidak, setiap pagi kami sarapan bersama. Waktu itulah saya dan istri banyak ngobrol dengan anak-anak dan menanamkan nilai-nilai hidup.” Kehangatan bersama keluarga juga dipupuk ketika waktu luang, dengan makan bersama di luar rumah. Saat liburan, kerap pula diisi dengan bepergian bersama keluarga.

“Bagi saya, kualitas pertemuan itu lebih penting,” paparnya.

Pria yang masih menjabat Sekeretris Umum KONI Sumut itu tak lupa membekali anak-anak dengan pengetahuan agama. “Kami memanggil guru agama ke rumah untuk belajar tentang agama ataupun mengaji Al-Quran bagi anakanak,” terangnya.

Sebagai orangtua, tak banyak yang dia tuntut dari anakanaknya selain menjadi anak saleh dan kelak bisa menghidupi diri dan keluarganya.

“Kita hanya bisa memantau dan memberikan dukungan terhadap masa depan anak . Bila profesi yang dipilih anakanak telah diperdalaminya, kiranya profesi tersebut dapat bermanfaat bagi orang lain,” ungkapnya. (tms/omi)

 

DATA DIRI

  • Kelahiran : Medan, 1 April 1958
  • Pekerjaan : PNS di Unimed
  • Anak : Bungsu dari 7 bersaudara
  • Nama Ayah : Musai Hutasuhut
  • Ibu : Siti Hawa Dalimunthe
  • Istri : Dra Tengku Lafalinda MPd
  • Kelahiran : Sibolga 4 Mei 1963
  • Anak : 1. Muhammad Iqbal Az’ari Hutasuhut (Medan, 6 April 1990)
  • 2. Farhan Arafah (Medan, 6 April 1998)

PENDIDIKAN

  • 1970 Lulus dari SD Muhammadiyah Jalan Pahlawan Medan
  • 1972 Lulus dari SMPN 10 Medan
  • 1975-1977 SMOA Jakarta
  • 1981-1987 S1 IKIP Medan, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehtan (FPOK),

PRESTASI

  • 1975 Juara Gulat Se DKI Jakarta
  • 1989 Wasit Panahan di PON ke 12 di Jakarta
  • 1993 Wasit Panahan PON ke 13 di Jakarta
  • 1996 Wasit Panahan PON ke 14 di Jakarta
  • 2000 Wasit Panahan PON ke 15 di Surabaya
  • 1993 Meraih Sertifikat Wasit Panahan Internasional
  • 1995 Wasit Panahan di Kejuaraan Asia di Malaysia

PENGALAMAN ORGANISASI

  • 1988-1992 Wakil sekretaris PASI Sumut
  • 1992-1996 Sekretaris PASI Sumut
  • 2002-2006 Sekretaris PASI Sumut
  • 1998-2002 Wakil sekreatris umum KONI Sumut
  • 2003-2016 Sekum KONI Sumut mulai tahun
  • 2001-2009 Ketua I Pengprop Wushu Sumut tahun
  • 2005-2013 Ketua bidang organisasi PB Wushu
  • 2008-2012 Pengurus PB PASI tahun
  • 1996-2003 Sekretaris ISORI Sumut
  • 2003-2007 Pembatu Dekan III FIK Unimed
  • 2000-2011 Kepala Humas UNIMED
  • 2007-2015 Pembantu Rektor II Unimed

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/