26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Era Baru Superblok, Mal dan Foodcourt di Ring Satu

Kembali Berlebaran di Makkah (1)

Inilah catatan Dahlan Iskan dari Makkah yang dimuat hari ini dan besok. Sejak 15 tahun lalu, sebagai CEO Jawa Pos, dia sering berlebaran di Makkah, tapi baru sekali ini ke Makkah dalam statusnya sebagai CEO PLN. Apa yang berubah di Makkah?

Telah lahir di Makkah: foodcourt.

Maka, cara makan di sekitar Masjid Al Haram pun mulai berubah. Dari cara lama berdiri bergerombol di depan warung-warung kecil atau makan di lantai, menjadi makan di foodcourt.

Memang, makan cara lama belum hilang, tapi foodcourt-nya juga sudah penuh. Inilah foodcourt pertama dalam skala besar di dekat Masjid Al Haram. Lokasinya di lantai 3 dan 4 superblok baru yg sangat megah.  Superblok ini belum bernama karena memang belum sepenuhnya selesai. Tapi, masyarakat menyebutnya gedung Zam-Zam karena salah satu di antara tujuh hotel di superblok itu adalah hotel Zam-Zam.

Di antara tujuh hotel itu, lima sudah beroperasi, sedangkan yang dua lagi masih diselesaikan. Ada juga yang menyebut superblok ini dengan gedung Menara Jam. Ini karena di puncak superblok ini dibangun menara jam yang besar dan menjulang tinggi. Inilah menara jam terbesar dan tertinggi di dunia. Menara ini juga sangat cantik dan atraktif di waktu malam. Warna layar digitalnya yang hijau dan permainan lampu kristal dan lampu lasernya yang gemerlap membuat daya magnetnya sangat besar.

Ketika hari pertama Lebaran saya ke Padang Arafah sejauh 40 km dari Makkah, saya kaget: menara ini bisa terlihat bahkan dari Arafah. Tentu terlihat juga dari Muzdalifah, apalagi dari Mina. Padahal, Kota Makkah yang berada di lembah itu di kelilingi gunung. Menara ini juga berfungsi sebagai papan informasi.

Menjelang salat Isya 29 Agustus lalu, tiba-tiba di layar digital hijau itu muncul tulisan Arab putih: Ied Mubarak, Kullu Aamin Waantum bil Khair! Ini pertanda bahwa Lebaran telah tiba. Tidak perlu ada salat Tarawih malam itu. Sekitar 2 juta umat yang sudah memadat di Masjid Al Haram dan di seluruh halaman sekelilingnya langsung salat Isya saja.

Dari layar itu juga bisa dibaca bahwa menara ini persembahan dari Al Malik Abdul Azis yg tidak lain adalah almarhum ayahanda Raja Fath. Superblok ini memang menggunakan tanah kerajaan yang dibangun Bin Ladin, konglomerat utama Arab Saudi, dengan sistem bot 25 tahun.

Kehadiran superblok Zam-Zam ini bagi saya yes and no. Yes karena Makkah yang sudah dipenuhi gedung dan hotel-hotel bintang lima kini bertambah-tambah kemegahannya. Juga berarti bertambahnya lebih 10.000 kamar baru berbintang lima di sekeliling Masjid Al Haram. Dengan adanya foodcourt yang sangat luas di dua lantainya berarti soal makan kian mudah.

Begitu luasnya foodcourt ini sampai-sampai dimanfaatkan pula untuk lokasi rekresi: ada kereta-kereta  gantung yang memutar ke seluruh lokasi foodcourt sambil melihat hadirnya jenis makanan apa saja dari seluruh dunia. Foodcourt ini, rasanya,  didesain khusus agar fungsional:  tempat makan sekaligus tempat sembahyang. Karena itu, lantainya dibuat luas dan meja-meja makannya ditata berjauhan.

Orang banyak menunggu datangnya saat berbuka puasa di meja-meja makan, tapi langsung membuat barisan salat begitu saat Magrib tiba. Pemandangan ini menjadi pilihan lain dari pemandangan lama yang masih ada: menggelar plastik di halaman dan di dalam Masjid Al Haram untuk makanan pembuka, lalu menggulungnya sebagai sampah saat waktu salat tiba.

Superblok Zam-Zam ini no bagi saya karena terlalu besar, tinggi, dan dominan. Superblok ini seperti menenggelamkan kemegahan Masjid Al Haram yang anggun itu. Saat malam hari saya sembahyang di dekat Ka’bah, superblok dengan permainan cahayanya itu terasa mendominasi sampai ke dalam masjid. Menara-menara masjid yang dulu terasa cantik dan indah seperti tidak ada artinya lagi.

Dulu saya suka memandang langit dari lokasi di sekitar Ka’bah ini. Sekarang setiap kali ingin menatap keagungan langit, mata tertarik ke puncak menara jam di atas superblok itu. Apalagi arsitektur bagian atas keseluruhan superblok ini memang sangat modern dan indah. Kehadiran superblok baru ini telah mengubah suasana di Masjid Al Haram.

Tidak sama dengan ketika hotel-hotel megah dulu mulai hadir di sekeliling masjid. Superblok, foodcourt, mal, dan arena rekreasi di dalamnya seperti tanda zaman baru Makkah.

Melengkapi zaman baru lainnya: handphone.

Merajalelanya handphone benar-benar mengubah Masjid Al Haram. Memang tidak sampai ada dering telepon yang bersahutan, tapi tidak jarang orang bertawaf (ritual mengelilingi Ka’bah tujuh putaran) sambil menerima telepon. Orang juga saling mencari keluarga yang terpisah melalui telepon. Dan ini yang berubah: saling memotret di dekat Ka’bah.

Dulu memotret dengan kamera dilarang keras. Memasuki pintu masjid diperiksa ketat. Saya pernah memberikan pujian yang tinggi kepada wartawan Jawa Pos Surya Aka yang kala itu berhasil menyelundupkan tustel dan berhasil memotret orang yang lagi tawaf dengan sangat sempurnanya tanpa ketahuan petugas. Kini petugasnya yang kuwalahan karena semua orang punya kamera di handphone mereka.

Petugas kini hanya bisa pasrah. Tulisan dilarang memotret memang masih ada, tapi orang saling berfoto di dekat Ka’bah tak tercegah. Termasuk berfoto di depan petugas itu sendiri. Bahkan, ada yang minta tolong petugas untuk memotretkannya!

Begitu banyak perubahan di Makkah, termasuk perubahan gaya hidupnya. (c1/lk)

Dahlan Iskan
CEO PLN

Kembali Berlebaran di Makkah (1)

Inilah catatan Dahlan Iskan dari Makkah yang dimuat hari ini dan besok. Sejak 15 tahun lalu, sebagai CEO Jawa Pos, dia sering berlebaran di Makkah, tapi baru sekali ini ke Makkah dalam statusnya sebagai CEO PLN. Apa yang berubah di Makkah?

Telah lahir di Makkah: foodcourt.

Maka, cara makan di sekitar Masjid Al Haram pun mulai berubah. Dari cara lama berdiri bergerombol di depan warung-warung kecil atau makan di lantai, menjadi makan di foodcourt.

Memang, makan cara lama belum hilang, tapi foodcourt-nya juga sudah penuh. Inilah foodcourt pertama dalam skala besar di dekat Masjid Al Haram. Lokasinya di lantai 3 dan 4 superblok baru yg sangat megah.  Superblok ini belum bernama karena memang belum sepenuhnya selesai. Tapi, masyarakat menyebutnya gedung Zam-Zam karena salah satu di antara tujuh hotel di superblok itu adalah hotel Zam-Zam.

Di antara tujuh hotel itu, lima sudah beroperasi, sedangkan yang dua lagi masih diselesaikan. Ada juga yang menyebut superblok ini dengan gedung Menara Jam. Ini karena di puncak superblok ini dibangun menara jam yang besar dan menjulang tinggi. Inilah menara jam terbesar dan tertinggi di dunia. Menara ini juga sangat cantik dan atraktif di waktu malam. Warna layar digitalnya yang hijau dan permainan lampu kristal dan lampu lasernya yang gemerlap membuat daya magnetnya sangat besar.

Ketika hari pertama Lebaran saya ke Padang Arafah sejauh 40 km dari Makkah, saya kaget: menara ini bisa terlihat bahkan dari Arafah. Tentu terlihat juga dari Muzdalifah, apalagi dari Mina. Padahal, Kota Makkah yang berada di lembah itu di kelilingi gunung. Menara ini juga berfungsi sebagai papan informasi.

Menjelang salat Isya 29 Agustus lalu, tiba-tiba di layar digital hijau itu muncul tulisan Arab putih: Ied Mubarak, Kullu Aamin Waantum bil Khair! Ini pertanda bahwa Lebaran telah tiba. Tidak perlu ada salat Tarawih malam itu. Sekitar 2 juta umat yang sudah memadat di Masjid Al Haram dan di seluruh halaman sekelilingnya langsung salat Isya saja.

Dari layar itu juga bisa dibaca bahwa menara ini persembahan dari Al Malik Abdul Azis yg tidak lain adalah almarhum ayahanda Raja Fath. Superblok ini memang menggunakan tanah kerajaan yang dibangun Bin Ladin, konglomerat utama Arab Saudi, dengan sistem bot 25 tahun.

Kehadiran superblok Zam-Zam ini bagi saya yes and no. Yes karena Makkah yang sudah dipenuhi gedung dan hotel-hotel bintang lima kini bertambah-tambah kemegahannya. Juga berarti bertambahnya lebih 10.000 kamar baru berbintang lima di sekeliling Masjid Al Haram. Dengan adanya foodcourt yang sangat luas di dua lantainya berarti soal makan kian mudah.

Begitu luasnya foodcourt ini sampai-sampai dimanfaatkan pula untuk lokasi rekresi: ada kereta-kereta  gantung yang memutar ke seluruh lokasi foodcourt sambil melihat hadirnya jenis makanan apa saja dari seluruh dunia. Foodcourt ini, rasanya,  didesain khusus agar fungsional:  tempat makan sekaligus tempat sembahyang. Karena itu, lantainya dibuat luas dan meja-meja makannya ditata berjauhan.

Orang banyak menunggu datangnya saat berbuka puasa di meja-meja makan, tapi langsung membuat barisan salat begitu saat Magrib tiba. Pemandangan ini menjadi pilihan lain dari pemandangan lama yang masih ada: menggelar plastik di halaman dan di dalam Masjid Al Haram untuk makanan pembuka, lalu menggulungnya sebagai sampah saat waktu salat tiba.

Superblok Zam-Zam ini no bagi saya karena terlalu besar, tinggi, dan dominan. Superblok ini seperti menenggelamkan kemegahan Masjid Al Haram yang anggun itu. Saat malam hari saya sembahyang di dekat Ka’bah, superblok dengan permainan cahayanya itu terasa mendominasi sampai ke dalam masjid. Menara-menara masjid yang dulu terasa cantik dan indah seperti tidak ada artinya lagi.

Dulu saya suka memandang langit dari lokasi di sekitar Ka’bah ini. Sekarang setiap kali ingin menatap keagungan langit, mata tertarik ke puncak menara jam di atas superblok itu. Apalagi arsitektur bagian atas keseluruhan superblok ini memang sangat modern dan indah. Kehadiran superblok baru ini telah mengubah suasana di Masjid Al Haram.

Tidak sama dengan ketika hotel-hotel megah dulu mulai hadir di sekeliling masjid. Superblok, foodcourt, mal, dan arena rekreasi di dalamnya seperti tanda zaman baru Makkah.

Melengkapi zaman baru lainnya: handphone.

Merajalelanya handphone benar-benar mengubah Masjid Al Haram. Memang tidak sampai ada dering telepon yang bersahutan, tapi tidak jarang orang bertawaf (ritual mengelilingi Ka’bah tujuh putaran) sambil menerima telepon. Orang juga saling mencari keluarga yang terpisah melalui telepon. Dan ini yang berubah: saling memotret di dekat Ka’bah.

Dulu memotret dengan kamera dilarang keras. Memasuki pintu masjid diperiksa ketat. Saya pernah memberikan pujian yang tinggi kepada wartawan Jawa Pos Surya Aka yang kala itu berhasil menyelundupkan tustel dan berhasil memotret orang yang lagi tawaf dengan sangat sempurnanya tanpa ketahuan petugas. Kini petugasnya yang kuwalahan karena semua orang punya kamera di handphone mereka.

Petugas kini hanya bisa pasrah. Tulisan dilarang memotret memang masih ada, tapi orang saling berfoto di dekat Ka’bah tak tercegah. Termasuk berfoto di depan petugas itu sendiri. Bahkan, ada yang minta tolong petugas untuk memotretkannya!

Begitu banyak perubahan di Makkah, termasuk perubahan gaya hidupnya. (c1/lk)

Dahlan Iskan
CEO PLN

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/