25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pilihan Baru: Live TV Subsidi atau e-BBM

Dahlan Iskan

Meski DPR sudah memberikan izin dengan ketentuan tertentu untuk menaikkan harga BBM, pemerintah tidak akan begitu saja menaikkannya. Demikian juga, meski DPR sudah  menaikkan plafon subsidi BBM dari Rp123 triliun ke Rp137 triliun, kita masih terus berdebar apakah nilai tersebut cukup untuk pengadaan BBM bersubsidi sampai akhir Desember 2012.

Jangan-jangan pertengkaran antara Presiden Obama dan Iran terus meningkat sehingga harga minyak mentah dunia terus membubung. Akibatnya, angka subsidi yang sudah sebesar gajah bengkak itu masih belum cukup.

Maka, sambil memikirkan apakah harus menaikkan harga BBM atau melakukan konversi ke gas, atau melakukan pembatasan, atau cara-cara lain, sebaiknya kita memperbanyak doa: semoga Obama segera mencium pipi Ayatullah Khamenei. Semoga USA segera rukun dengan Iran. Semoga Obama segera mencabut ancamannya menyerang Iran. Dan, Iran mencabut ancamannya menutup Selat Hormuz yang jadi pintu keluar minyak mentah dari Arab Saudi, Kuwait, Emirat, Bahrain, Qatar, Iraq, dan Iran sendiri itu.

BUMN sendiri akan mengajukan usul kalau saja pemerintah memutuskan melakukan pembatasan. Caranya sangat modern, tepat guna,  dan sulit dimanipulasi oleh yang tidak berhak. Basisnya menggunakan  teknologi informasi yang canggih.

Selama ini, ide pembatasan BBM sulit dilaksanakan karena caranya dirancang sangat tradisional yang sulit dikontrol. Misalnya menggunakan stiker. Mobil-mobil yang layak disubsidi ditempeli stiker. Rasanya memang akan banyak persoalan dengan cara ini.

Yang akan diusulkan BUMN adalah: setiap mobil yang layak disubsidi dipasangi peralatan elektronik untuk kartu e-BBM. Para pemilik mobil bisa meminta peralatan tersebut dengan cara menunjukkan BPKB dan kartu penduduk. Data pokok dimasukkan dalam e-BBM. Misalnya, berapa cc mobil tersebut, tahun berapa, dan siapa pemiliknya. Dan, yang paling penting: kartu itu akan memuat data berapa jatah BBM bersubsidi yang pantas diberikan kepadanya. Misalnya 300 liter per bulan untuk mobil kelas 1.300 cc.

Peralatan ini ditaruh di dashboard mobil untuk memudahkan nanti kalau mau mengisi bensin. Setiap SPBU akan dilengkapi mesin reader yang bisa membaca kartu e-BBM. Kalau ingin membeli bensin bersubsidi, Anda tinggal menyerahkan kartu e-BBM. Petugas SPBU memasukkan e-BBM ke reader. Saat itulah diketahui apakah Anda layak menerima subsidi. Kalaupun layak, masih akan terbaca jatah BBM bersubsidi Anda bulan ini masih berapa liter.
Yang tidak memiliki kartu ini dan yang jatah subsidi bulanannya sudah habis harus membayar BBM dengan harga lebih tinggi. Masih disubsidi juga, tapi subsidinya lebih kecil.

Salah satu BUMN yang selama ini bergerak di bidang elektronik akan mampu memproduksi dan menyediakan alat ini. Tentu bekerja sama dengan pemilik teknologi yang sudah terbukti andal. Teknologi ini sudah dipakai dengan sukses di Afrika Selatan, Cile, Venezuela, Columbia, dan beberapa negara Amerika Latin.

Memang kira-kira diperlukan dana sekitar Rp4 triliun untuk sekitar 6 juta mobil yang layak disubsidi. Yakni mobil yang cc-nya 1.300 ke bawah, mobil angkutan umum, dan terserah mobil yang seperti apa lagi. Penghematan subsidinya bisa Rp30 triliun. Dan, yang penting: subsidi bisa benar-benar tepat sasaran.

Pengerjaannya juga lebih sederhana daripada konversi gas yang biayanya lebih mahal. Belum lagi, perasaan pemilik mobil yang juga lebih nyaman.
Selama ini, kalau saja diumumkan secara terbuka dan menggunakan layar digital mengenai berapa subsidi yang diberikan kepada pemilik mobil, bisa-bisa akan jadi tontotan tukang bakso yang menarik. Coba saja setiap mobil yang masuk SPBU ditayangkan live di TV. Setiap selesai isi bensin langsung ditayangkan mobil tersebut menerima subsidi berapa ratus ribu rupiah dari pemerintah. Katakanlah ada mobil sedan Toyota Altis (1.800 cc) masuk SPBU. Setelah mengisi bensin dengan penuh, langsung ditayangkan bahwa pemilik mobil tersebut baru saja menerima subsidi dari pemerintah sebesar Rp120.000.

Pasti para pedagang bakso, mi  dorong, dan para penganggur akan asyik menonton live TV. Mereka akan bergerombol di depan TV melihat dan menghitung deretan mobil yang masuk SPBU. Dengan asyiknya,  mereka menyaksikan para pemilik  mobil tersebut masing-masing mendapat bantuan berapa ratus ribu rupiah dari pemerintah.

Mereka akan asyik bergerombol menonton live TV sambil membayangkan begitu mudah orang mendapat bantuan pemerintah sebesar Rp120.000 hanya dengan syarat harus memiliki mobil Toyota Altis.  Sedangkan dirinya yang hanya bisa berjualan bakso dan nasi goreng dorong tidak bisa mendapat bantuan seperti itu hanya karena tidak memiliki sedan Toyota Altis.

Meski mereka itu penjual bakso, nasi goreng, mi dorong, pedagang sayur keliling, dan para penganggur,  mereka bukan orang bodoh. Mereka bisa berhitung. Mereka juga akan menonton live TV sambil niteni berapa kali sebulan Toyota Altis tersebut masuk SPBU. Mereka pun bisa berhitung bahwa pemilik sedan Toyota Altis atau pemilik mobil apa pun yang sejenis menerima bantuan pemerintah melalui subsidi BBM sebesar Rp480.000/bulan. Alias menerima bantuan pemerintah Rp5.000.000/tahun!

Kalau saja setiap mobil penerima subsidi yang masuk SPBU disiarkan live TV dan diperlihatkan nomor mobilnya lalu disebutkan bahwa mobil ini telah menerima bantuan pemerintah Rp5 juta/tahun, rasanya tidak akan ada tontotan yang ratingnya lebih tinggi daripada live show ini. Orang-orang miskin akan asyik menonton untuk memimpikan sesuatu dan mimpi itu adalah hiburan satu-satunya bagi mereka.

Maka, setelah heboh-heboh BBM berlalu, kita punya waktu untuk memilih: akan menyelenggarakan program live TV, atau melakukan pembatasan, atau konversi ke gas, atau menaikkan harga. Atau cara yang lain lagi yang belum terpikirkan. Tentu, bicara terus juga tidak ada hasil nyatanya. Sambil menunggu pilihan yang tepat, saya tetap akan meminta salah satu BUMN untuk menyiapkan diri: siapa tahu pembatasan BBM model e-BBM tadi bisa dipilih. Dengan sekali pengeluaran Rp4 triliun, bisa dihemat sedikitnya Rp30 triliun/tahun.

Tentu, jangan lupa Putra Petir.

Presiden SBY sudah memanggil rektor-rektor universitas besar untuk mempersiapkan mobil listrik nasional ini. Para rektor itu (rektor UGM, rektor ITS, rektor UI, dan rektor ITB) secara mengejutkan menyampaikan kepada presiden bahwa konsep mobil listrik nasional ini sudah terwujud. Presiden tidak menyangka kalau para rektor begitu antusias dan begitu konkret menyambut gagasan mobil listrik nasional ini.

Gerakan mobil listrik kini memang menggema di seluruh dunia. Bahkan, harian New York Times dan International Herald Tribune edisi bulan lalu mengulasnya secara “panjang. Kepercayaan masyarakat juga sudah tinggi. Buktinya, konsumen di Amerika Serikat sudah antre menaruh uang muka untuk membeli mobil listrik ke salah satu perusahaan pionir di sana.

Obama memang serius dalam program pengurangan ketergantungan kepada minyak. Apakah ini juga  pertanda dia tidak akan mau mencium pipi Ayatullah Khamenei? Dan, kita terus tersiksa BBM karenanya? (*)
* Menteri BUMN

Dahlan Iskan

Meski DPR sudah memberikan izin dengan ketentuan tertentu untuk menaikkan harga BBM, pemerintah tidak akan begitu saja menaikkannya. Demikian juga, meski DPR sudah  menaikkan plafon subsidi BBM dari Rp123 triliun ke Rp137 triliun, kita masih terus berdebar apakah nilai tersebut cukup untuk pengadaan BBM bersubsidi sampai akhir Desember 2012.

Jangan-jangan pertengkaran antara Presiden Obama dan Iran terus meningkat sehingga harga minyak mentah dunia terus membubung. Akibatnya, angka subsidi yang sudah sebesar gajah bengkak itu masih belum cukup.

Maka, sambil memikirkan apakah harus menaikkan harga BBM atau melakukan konversi ke gas, atau melakukan pembatasan, atau cara-cara lain, sebaiknya kita memperbanyak doa: semoga Obama segera mencium pipi Ayatullah Khamenei. Semoga USA segera rukun dengan Iran. Semoga Obama segera mencabut ancamannya menyerang Iran. Dan, Iran mencabut ancamannya menutup Selat Hormuz yang jadi pintu keluar minyak mentah dari Arab Saudi, Kuwait, Emirat, Bahrain, Qatar, Iraq, dan Iran sendiri itu.

BUMN sendiri akan mengajukan usul kalau saja pemerintah memutuskan melakukan pembatasan. Caranya sangat modern, tepat guna,  dan sulit dimanipulasi oleh yang tidak berhak. Basisnya menggunakan  teknologi informasi yang canggih.

Selama ini, ide pembatasan BBM sulit dilaksanakan karena caranya dirancang sangat tradisional yang sulit dikontrol. Misalnya menggunakan stiker. Mobil-mobil yang layak disubsidi ditempeli stiker. Rasanya memang akan banyak persoalan dengan cara ini.

Yang akan diusulkan BUMN adalah: setiap mobil yang layak disubsidi dipasangi peralatan elektronik untuk kartu e-BBM. Para pemilik mobil bisa meminta peralatan tersebut dengan cara menunjukkan BPKB dan kartu penduduk. Data pokok dimasukkan dalam e-BBM. Misalnya, berapa cc mobil tersebut, tahun berapa, dan siapa pemiliknya. Dan, yang paling penting: kartu itu akan memuat data berapa jatah BBM bersubsidi yang pantas diberikan kepadanya. Misalnya 300 liter per bulan untuk mobil kelas 1.300 cc.

Peralatan ini ditaruh di dashboard mobil untuk memudahkan nanti kalau mau mengisi bensin. Setiap SPBU akan dilengkapi mesin reader yang bisa membaca kartu e-BBM. Kalau ingin membeli bensin bersubsidi, Anda tinggal menyerahkan kartu e-BBM. Petugas SPBU memasukkan e-BBM ke reader. Saat itulah diketahui apakah Anda layak menerima subsidi. Kalaupun layak, masih akan terbaca jatah BBM bersubsidi Anda bulan ini masih berapa liter.
Yang tidak memiliki kartu ini dan yang jatah subsidi bulanannya sudah habis harus membayar BBM dengan harga lebih tinggi. Masih disubsidi juga, tapi subsidinya lebih kecil.

Salah satu BUMN yang selama ini bergerak di bidang elektronik akan mampu memproduksi dan menyediakan alat ini. Tentu bekerja sama dengan pemilik teknologi yang sudah terbukti andal. Teknologi ini sudah dipakai dengan sukses di Afrika Selatan, Cile, Venezuela, Columbia, dan beberapa negara Amerika Latin.

Memang kira-kira diperlukan dana sekitar Rp4 triliun untuk sekitar 6 juta mobil yang layak disubsidi. Yakni mobil yang cc-nya 1.300 ke bawah, mobil angkutan umum, dan terserah mobil yang seperti apa lagi. Penghematan subsidinya bisa Rp30 triliun. Dan, yang penting: subsidi bisa benar-benar tepat sasaran.

Pengerjaannya juga lebih sederhana daripada konversi gas yang biayanya lebih mahal. Belum lagi, perasaan pemilik mobil yang juga lebih nyaman.
Selama ini, kalau saja diumumkan secara terbuka dan menggunakan layar digital mengenai berapa subsidi yang diberikan kepada pemilik mobil, bisa-bisa akan jadi tontotan tukang bakso yang menarik. Coba saja setiap mobil yang masuk SPBU ditayangkan live di TV. Setiap selesai isi bensin langsung ditayangkan mobil tersebut menerima subsidi berapa ratus ribu rupiah dari pemerintah. Katakanlah ada mobil sedan Toyota Altis (1.800 cc) masuk SPBU. Setelah mengisi bensin dengan penuh, langsung ditayangkan bahwa pemilik mobil tersebut baru saja menerima subsidi dari pemerintah sebesar Rp120.000.

Pasti para pedagang bakso, mi  dorong, dan para penganggur akan asyik menonton live TV. Mereka akan bergerombol di depan TV melihat dan menghitung deretan mobil yang masuk SPBU. Dengan asyiknya,  mereka menyaksikan para pemilik  mobil tersebut masing-masing mendapat bantuan berapa ratus ribu rupiah dari pemerintah.

Mereka akan asyik bergerombol menonton live TV sambil membayangkan begitu mudah orang mendapat bantuan pemerintah sebesar Rp120.000 hanya dengan syarat harus memiliki mobil Toyota Altis.  Sedangkan dirinya yang hanya bisa berjualan bakso dan nasi goreng dorong tidak bisa mendapat bantuan seperti itu hanya karena tidak memiliki sedan Toyota Altis.

Meski mereka itu penjual bakso, nasi goreng, mi dorong, pedagang sayur keliling, dan para penganggur,  mereka bukan orang bodoh. Mereka bisa berhitung. Mereka juga akan menonton live TV sambil niteni berapa kali sebulan Toyota Altis tersebut masuk SPBU. Mereka pun bisa berhitung bahwa pemilik sedan Toyota Altis atau pemilik mobil apa pun yang sejenis menerima bantuan pemerintah melalui subsidi BBM sebesar Rp480.000/bulan. Alias menerima bantuan pemerintah Rp5.000.000/tahun!

Kalau saja setiap mobil penerima subsidi yang masuk SPBU disiarkan live TV dan diperlihatkan nomor mobilnya lalu disebutkan bahwa mobil ini telah menerima bantuan pemerintah Rp5 juta/tahun, rasanya tidak akan ada tontotan yang ratingnya lebih tinggi daripada live show ini. Orang-orang miskin akan asyik menonton untuk memimpikan sesuatu dan mimpi itu adalah hiburan satu-satunya bagi mereka.

Maka, setelah heboh-heboh BBM berlalu, kita punya waktu untuk memilih: akan menyelenggarakan program live TV, atau melakukan pembatasan, atau konversi ke gas, atau menaikkan harga. Atau cara yang lain lagi yang belum terpikirkan. Tentu, bicara terus juga tidak ada hasil nyatanya. Sambil menunggu pilihan yang tepat, saya tetap akan meminta salah satu BUMN untuk menyiapkan diri: siapa tahu pembatasan BBM model e-BBM tadi bisa dipilih. Dengan sekali pengeluaran Rp4 triliun, bisa dihemat sedikitnya Rp30 triliun/tahun.

Tentu, jangan lupa Putra Petir.

Presiden SBY sudah memanggil rektor-rektor universitas besar untuk mempersiapkan mobil listrik nasional ini. Para rektor itu (rektor UGM, rektor ITS, rektor UI, dan rektor ITB) secara mengejutkan menyampaikan kepada presiden bahwa konsep mobil listrik nasional ini sudah terwujud. Presiden tidak menyangka kalau para rektor begitu antusias dan begitu konkret menyambut gagasan mobil listrik nasional ini.

Gerakan mobil listrik kini memang menggema di seluruh dunia. Bahkan, harian New York Times dan International Herald Tribune edisi bulan lalu mengulasnya secara “panjang. Kepercayaan masyarakat juga sudah tinggi. Buktinya, konsumen di Amerika Serikat sudah antre menaruh uang muka untuk membeli mobil listrik ke salah satu perusahaan pionir di sana.

Obama memang serius dalam program pengurangan ketergantungan kepada minyak. Apakah ini juga  pertanda dia tidak akan mau mencium pipi Ayatullah Khamenei? Dan, kita terus tersiksa BBM karenanya? (*)
* Menteri BUMN

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/