Manufacturing Hope 45
Bulan purnama lagi mejeng dengan sangat menornya di atas langit ladang penggaraman yang luas di selatan Sampang, Madura. Orang-orang Bali merayakannya sebagai purnama kapat dengan sembahyang di pura. Orang Tionghoa sedunia merayakannya sebagai zhong jiu yue dengan saling membagi kue bulan yang terkenal itu.
Tapi, di Madura, di ladang garam ini, para petani sedang meradang: harga garam mereka sedang jatuh-jatuhnya. “Di satu pihak harga garam turun drastis, di lain pihak ongkos angkutnya naik,” ujar Haji Ulum, seorang petani garam di situ. “Tahun ini kami seperti terpukul dari kanan dan kiri,” tambahnya.
Malam Minggu kemarin itu, di bawah sinar bulan purnama kapat yang menor itu, saya memang lagi weekend di Sampang. Kombinasi pancaran sinar bulan yang terang dengan langit biru yang cerah dan hamparan luas putihnya garam yang mengkristal membuat suasana malam itu seperti lagi di alam maya: tidak siang, tidak malam, tidak pagi, dan tidak senja.
Pencipta puisi seperti Taufiq Ismail pasti akan bisa menggambarkan kemayaan suasana malam itu sebagus puisinya tentang padang savana Sumba yang dibacakan penyair Umbu Landu Paranggi itu!
Sayangnya, kelompok-kelompok petani garam di Madura ini bukan seperti bait-bait puisi. Mereka justru seperti lagi kompak menyenandungkan tanya: Mengapa di saat panen garam seperti ini, impor garam terus terjadi!
Memang secara teori, garam luar negeri itu hanya untuk industri. Tapi, semua bersaksi bahwa garam impor itu juga masuk ke pasar konsumsi. Maka, panen raya garam yang luar biasa tahun ini (berkat kemarau yang terik), yang semula menimbulkan harapan besar untuk penghasilan yang lebih, berakhir dengan hampa.
Tentu bukan berarti tidak ada hope. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sudah memutuskan menghentikan kebijakan lama. Mulai tahun depan, tugas mendatangkan garam untuk industri hanya bisa dilakukan oleh BUMN PT Garam (Persero). Dengan demikian bisa lebih terkontrol. Hanya, memang harus menunggu tahun depan. Izin-izin lama impor garam itu baru berakhir pertengahan 2013.
Hope yang lain adalah ini: membranisasi ladang garam. Program yang saya promosikan tahun lalu itu kini sudah mulai ada hasilnya. Saya sengaja ke Sampang malam itu memang khusus untuk melihat dan mengevaluasi percobaan penggunaan membrane tersebut. Saya ingin tahu keadaan yang sebenarnya. Yang tidak hanya berbentuk laporan di atas kertas.
Diam-diam dan agak mendadak saya meluncur ke Sampang. Kesimpulannya -meminjam istilah pelawak Tukul- ruaarrrr biasa!
PT Garam sudah mencoba geomembrane itu di tiga lokasi: Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Semuanya di Madura, Jawa Timur. Di Sampang, geomembrane dipasang di area seluas 30 ha. “Hasilnya naik 40 persen,” ujar Yulian Lintang, Dirut PT Garam yang malam itu mendadak saya ajak ke Sampang.
Bukan hanya jumlah produksi yang meningkat, tapi juga kualitas garamnya. Dengan geomembrane, tidak ada lagi garam kualitas dua atau kualitas tiga. Semuanya kualitas satu. Bahkan dengan geomembrane itu, PT Garam sudah mulai bisa menghasilkan garam pada bulan Mei. Tanpa geomembrane, panen pertama baru terjadi di bulan Juli.
Geomembrane seperti lembaran plastik tipis yang sangat lebar, selebar petak-petak ladang garam. Ukurannya sekitar 30 meter x 60 meter. Lembaran membrane tersebut dihampar di dasar ladang. Seperti tambak udang. Lalu, air laut yang akan dijadikan garam dialirkan ke petak tersebut. Dalam waktu lima hari, kristal-kristal garamnya sudah mulai terlihat dan mengendap.
Itu beda dengan cara tradisional yang dasar ladangnya adalah tanah. Dua bulan lamanya petani harus membuat dasar ladang garam. Yakni dengan cara membiarkan dan meratakan garam-garam awal musim berkali-kali. Setelah itu, barulah bisa membuat garam yang sebenarnya. Itu pun ketika panen masih saja ada yang tercampur dengan tanah. Itulah yang menyebabkan munculnya garam kualitas dua dan tiga.
Begitu PT Garam sudah bisa panen di bulan Mei, petani garam di sekitar lokasi tambak BUMN itu terperangah. Bagaimana mungkin di bulan Mei sudah bisa panen. Mereka pun berbondong-bondong melihat teknologi baru itu. Apalagi ketika melihat seluruh garam di atas membrane itu berkualitas satu, para petani pun terpana.
“Saya langsung mendaftar untuk mendapatkan geomembrane itu,” ujar Haji Taufik, seorang petani yang malam itu berbincang dengan saya.
“Mendaftar ke mana?” tanya saya.
“Ke Dinas Perindusterian Sampang,” jawab Taufik.
“Memangnya akan ada pembagian geomembrane?” tanya saya lagi.
“Saya dengar begitu. Tapi, entahlah,” jawab Taufik.
Bukan hanya Taufik yang tergiur dengan teknologi geomembrane BUMN. “Saya juga sudah mendaftar,” ujar Haji Wasil (43), petani garam yang lulusan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Bagaimana dengan Haji Ulum (37) yang juga bertani garam di situ? “Saya pun sudah mendaftar,” katanya.
“Lho! Semuanya sudah mendaftar?” tanya saya.
“Iya, Pak. Total ada lima kelompok yang sudah mendaftar. Kira-kira 50 orang,” ujar Ulum, yang mengaku hanya tamat madrasah ibtidaiyah (setingkat SD), namun berkat ketekunannya bertani garam kini sudah memiliki sebuah Honda Jazz, satu pikap, dan dua truk.
Melihat hasil penggunaan geomembrane yang begitu nyata, saya memutuskan agar PT Garam menggunakan geomembrane 100 persen tahun depan. Yulian, Dirut PT Garam yang asli Lintang, Lahat, Sumsel, dan baru menjabat mulai Juli lalu, bertekad akan melaksanakan keputusan itu. Bukan saja untuk BUMN sendiri, tapi juga untuk memberikan contoh kepeloporan bagi petani garam secara keseluruhan.
“Dari mana uangnya?” tanya saya kepada Yulian Lintang.
“Bisa dari pinjaman bank, Pak,” jawab Yulian.
“Bisa mengembalikan bunga dan pokoknya?” tanya saya lagi.
“Dalam dua tahun pinjaman sudah bisa lunas. Asal, musimnya sebagus tahun ini,” jawab dia dengan tegas.
Mendengar dialog tersebut, para petani garam juga tersulut. Mereka bertekad menempuh cara yang sama. “Kalau memang tidak ada pembagian, saya juga mau lewat kredit,” ujar Haji Taufik, petani garam tamatan sekolah pendidikan guru agama 6 tahun yang sehari-hari naik Honda CR-V. Taufik yang pernah diangkat menjadi guru agama tapi mengembalikan surat pengangkatannya itu memang petani garam yang cerdas.
Taufik tidak hanya berladang garam. Dia juga mendirikan pabrik garam. Dia beli garam-garam kualitas tiga dari para petani sekitar. Dia beli mesin pencuci garam seharga Rp500 juta. Dia cuci garam tersebut sehingga bisa naik menjadi kualitas dua. Atau dia cuci garam kualitas dua untuk bisa menjadi kualitas satu.
Bahkan, Taufik sebenarnya tidak ingin menunggu pembagian atau kredit. “Kalau saja harga garam tahun ini tidak jatuh, saya akan langsung membeli geomembrane,” ujarnya.
Haji Ulum punya pikiran yang sama. “Sayangnya, harga garam tahun ini jatuh. Saya lagi mikir lagi bagaimana bisa mendapatkan geomembrane,” katanya.
Dengan geomembrane, peningkatan suhu air laut memang bisa lebih cepat. Suhu air laut yang disedot dan dimasukkan ke ladang garam hanya 3 derajat. Suhu itu harus terus dinaikkan. Caranya: Air diputar-putar (dialirkan) dari satu petak ke petak lain sampai suhunya mencapai 20 derajat. Semua itu karena panas matahari.
Dalam proses pindah-memindah air laut itulah terjadi juga pengendapan unsur-unsur kimia seperti Fe, CaCO3, dan Ca sulfat. Zat-zat itu harus ditinggal agar mutu garam bisa lebih baik. Artinya, dengan mengurangi zat-zat tersebut, NaCl dalam garam bisa sangat tinggi.
Setelah mencapai suhu 20 derajat itulah, air dimasukkan (dialirkan) ke petak/kolam terakhir. Hanya petak terakhir itulah yang perlu dilapisi geomembrane di dasarnya. Di petak terakhir itu air akan dibiarkan mencapai suhu 25 sampai 28 derajat. Itulah suhu yang bisa menghasilkan garam. Penggelaran geomembrane di dasarnya ikut membuat peningkatan suhu tersebut lebih cepat.
Dalam lima hari, air laut di atas membrane tersebut sudah berubah menjadi kristal-kristal garam. Saat itulah ditentukan apakah garam yang dihasilkan akan dibuat menjadi kristal-kristal kecil atau kristal-kristal besar. Sesuai dengan keinginan pasar.
Melihat tumpukan garam hasil dari ladang ber-geomembrane itu rasanya seperti melihat mutiara-mutiara yang indah. Apalagi diterpa sinar bulan purnama yang sempurna.
Maka, seandainya BUMN dan semua petani garam di Madura sudah menggunakan geomembrane, Madura saja akan mampu memproduksi 1,2 juta ton garam setahun. Tinggal kurang 200.000 ton lagi untuk bisa mencukupi kebutuhan garam konsumsi secara nasional. Kekurangan itu bisa diperoleh dari Cirebon, Indramayu, dan Medan. Itu kalau semua petani di tempat-tempat tersebut juga ketularan menggunakan geomembrane.
Kalau semua kebutuhan garam konsumsi sudah bisa dipenuhi, tinggal kita memikirkan kebutuhan garam untuk industri. Sayangnya, kebutuhan garam untuk industri itu jauh lebih besar daripada kebutuhan garam untuk konsumsi: 1,8 juta ton. Itulah yang masih harus diimpor.
Sampai kapan?
Harapan satu-satunya adalah NTT. Ada 5.000 ha lahan yang bisa dipergunakan untuk ladang garam di Kabupaten Kupang. Hampir sama dengan luas seluruh ladang garam Madura. PT Garam sudah siap ekspansi ke sana. Namun, lahan tersebut masih harus diselesaikan.
Menyelesaikannya pun mungkin tidak mudah. Sebab, pemerintah telanjur memberikan izin hak guna usaha (HGU) kepada sebuah perusahaan dari Jakarta. Perusahaan itu ingin membuat ladang garam raksasa dengan cara modern.
HGU itu sudah diberikan 27 tahun yang lalu. Tapi, sampai 27 tahun kemudian, hari ini, lahan tersebut masih tetap sama dengan 27 tahun yang lalu.
Garam rasanya memang asin. Tapi, kalau jumlahnya sudah mencapai 3,2 juta ton, manisnya bukan main. (*)