Apakah sukses Rustono ini ‘sukses kebetulan’?
Kebetulan karena ada wartawan lewat di depan rumahnya?
Kebetulan itu di musim salju?
Kebetulan wartawannya tiba-tiba tertarik memotretnya?
Kebetulan Rustono lagi iseng –dengan menjawab sekenanya: lagi membangun mimpi?
Kebetulan wartawan itu dari koran besar?
Saya tidak setuju dengan ‘teori kebetulan’ itu.
Sama dengan saat wartawan saya dulu memenangkan hadiah foto terbaik dunia: Sholehuddin. Anak Kediri. Yang memotret ini: truk militer bermuatan penuh supporter Persebaya. Terlalu penuh. Sampai truk itu dalam posisi hampir terguling. Roda sebelahnya sudah terangkat tinggi. Banyak supporter yang tumpah dari truk itu. Terlihat kepanikan supporter. Terlihat kepanikan sopirnya. Yang pakai seragam tentara.
Foto itu jadi juara dunia. World Press Photo. Dengan keputusan dewan yuri secara aklamasi. Tanpa perdebatan. Jarang sebuah foto langsung terpilih dengan cara itu: aklamasi.
Banyak wartawan yang berpendapat: itu foto kebetulan. Sholehuddin kebetulan ada di dekat lokasi. Momentumnya kebetulan pas supporter itu tumpah ke samping. Kebetulan hasilnya tidak kabur.
Kebetulan ia memang bukan fotografer. Ia wartawan tulis. Yang kebetulan bisa memotret. Sebatas bisa memotret.
Tapi, kata saya membelanya, itu bukan kebetulan. Itu hasil dari sebuah kesungguhan. Sholehuddin adalah wartawan yang sungguh-sungguh. Rajin. Jalan terus. Nggelitis, istilah saya.
Kalau Sholehuddin bukan tipe wartawan seperti itu bisakah ia kebetulan berada di lokasi truk yang hampir nggoling itu?
Demikian juga Rustono. Si raja Rusto’s Tempeh. Dari Kyoto itu. Eh, dari Grobogan itu.
Akankah ada wartawan yang melihatnya? Kalau hari itu ia hanya duduk-duduk malas makan telo bakar panas? Di dalam rumahnya? Di musim salju itu?
Mungkin itu memang ada unsur kebetulannya. Tapi kebetulan yang diundang. Kebetulan yang dijemput. Kebetulan yang bukan sekedar kebetulan.
Itu hasil kesungguhan.
Man jadda wa jada.
Sungguh mudah diucapkan.
Sungguh jarang yang bisa melaksanakan.
Rustono adalah manusia man jadda wa jada itu. (dahlan iskan / habis)