Menurut sang adik, hari itu kakak sulungnya marah besar. Bahkan mengintimidasi. Menakut-nakuti.
Sejak hari itu pembicaraan putus. Tidak mau lagi saling bicara. Beberapa hari kemudian kakak sulung mengirim surat. Memberitahukan bahwa dirinya sudah menunjuk pengacara. Untuk membicarakan kelanjutan surat wasiat. Lalu menanyakan siapa pengacara yang ditunjuk sang adik.
Sang adik terperangah. Kok melibatkan pengacara? Ini urusan wasiat. Urusan keluarga. Mengapa lewat pengacara?
Sejak itu tidak ada lagi komunikasi langsung. Bahkan, kata sang adik, pada Hari Raya Imlek pun mereka tidak bertemu. Imlek pertama setelah ayahanda mereka meninggal, terjadilah yang mestinya tidak terjadi. Sang kakak mengundang semua kerabat dan keluarga. Tapi tidak mengundang kedua adiknya.
Akankah pertengkaran itu sampai ke pengadilan? Kakak sulung mengatakan tidak. Di depan DPR dia mengatakan akan terus mencari jalan keluar secara kekeluargaan.
Sang adik menyambut positif ucapan sang kakak. Mereka tidak akan posting bukti-bukti lagi di Facebook. Tapi, ada tapinya, kalau tidak ada lagi pengkhianatan kepada wasiat sang bapak.
Rumah harus tetap dibongkar. Rumah ini bukan pagoda. Ayah itu bukan Tuhan. Tidak boleh ada kultus. Begitu pendapat si adik.
Dua adik ini selanjutnya menunggu pelaksanaan niat sang kakak sulung. Untuk menuntaskan urusan wasiat itu. Tapi tidak mau pakai pengacara. Atau aparat pemerintah.
Begitulah. Istirahat dulu. Sementara. Untuk tidak jadi telenovela Korea.
Inilah urusan keluarga yang menjadi urusan negara. Hanya bisa terjadi di Singapura. (*)