Namun, hukum besi pasar modal pun berlaku. Sampai titik tertentu, harga saham itu pun runtuh. Itulah yang terjadi Kamis lalu. Harga saham merosot 30 persen. Kepanikan melanda seluruh negeri. Eropa ikut panik. Amerika membuat perkiraan yang sangat buruk. Sebanyak 90 juta orang Tiongkok marah. Mereka minta pemerintah turun tangan. Mereka lupa bahwa harga saham itu setahun terakhir naik 100 persen. Kalau Kamis lalu anjlok 30 persen, sebenarnya masih ada ”kenaikan” 70 persen.
Pemerintah benar-benar tidak bisa menutup mata. Rakyat mengatakan, pemerintah yang memulai, pemerintah pula yang harus menyelesaikan. Maka, pemerintah pun hari itu mengambil langkah-langkah taktis. Suku bunga malah diturunkan. Saham-saham blue chip diborong. Beberapa aturan pasar modal diperbaiki. Hasilnya nyata: Kemerosotan berhasil ditahan. Bahkan naik 5 persen keesokan harinya.
Langkah pemerintah seperti itulah yang tidak mungkin dilakukan di Amerika pada 1929.
Memang ekonomi Tiongkok dua tahun terakhir ini meriang. Transformasi ekonominya lagi dalam ujian. Tapi, dunia sepakat agar kemeriangan itu jangan sampai meningkat menjadi flu. Kita semua tahu prinsip ini: Sekali Tiongkok flu, seluruh dunia terbatuk-batuk. Apalagi kita. (***)
Dahlan Iskan
Mantan CEO Jawa Pos