Pribadi Gabungan Wartawan, Diplomat, dan Politikus
Selama ini saya hanya tahu bahwa Pak Rosihan, begitu biasa kami memanggil beliau, rumahnya di Menteng. Menteng adalah lambang kementerengan dan simbol elitisme kawasan di Jakarta. Kalau disebutkan tinggal di Menteng, konotasi yang muncul langsung “rumah gedongan”, di kawasan yang sangat elite yang teduh.
Tapi, meski di kawasan Menteng, kawasan rumah Pak Rosihan tidak termasuk yang tergambar itu. Kawasan rumah ini terpinggirkan oleh keadaan. Di pinggir jalan rumah itu berderet bangunan setengah permanen untuk pedagang kecil. Di belakang deretan bangunan yang bergandeng-gandeng itu terdapat sebuah sungai yang kotor dan berbau. Rumah beliau ada di sebelah sungai itu. Dengan demikian, kalau dilihat dari “Menteng”, seperti tersembunyi di baliknya.
Bangunan rumahnya sendiri menguatkan kesan terpinggirkan itu. Rumah tua yang kurang lebih hanya tipe 200 m2 yang terlihat tidak pernah disentuh oleh renovasi. Kawasan itu, dan bangunan rumah itu, seperti mencerminkan sikap dan penampilan Pak Rosihan sehari-hari yang tua dan sederhana.
Kalau saja Pak Rosihan memiliki kekuasaan, mungkin saja bangunan-bangunan kaki lima yang berderet di depan rumahnya itu akan digusur habis. Jalan pun menjadi lapang. Bahkan, di pinggir jalan itu, di lokasi pedagang kaki lima, bisa mendapat dari anggaran pemerintah untuk ditanami pepohonan yang rindang nan indah.
Lalu sungai itu sendiri akan selalu dibersihkan, dibuatkan plengsengan dan dirawat menjadi sungai yang indah. Tidak mustahil, kalau dipercantik justru sungai itu menambah kesan elitenya kawasan rumah Pak Rosihan.
Tapi, beliau tidak punya kekuasaan untuk itu. Jadilah kawasan rumahnya menjadi kawasan yang “kalah” dengan kawasan Menteng selebihnya. Jadilah, Mentengnya Pak Rosihan ini menjadi Menteng yang di pinggiran. Tapi, Pak Rosihan teguh untuk tetap tinggal di situ. Sampai akhir hayatnya. Sebuah keteguhan untuk berada di pinggir, sebagaimana sikap hidupnya sendiri.
Memang, “pinggirnya” kawasan rumah Pak Rosihan dan pinggirnya sikap hidup Pak Rosihan masih dalam kategori “pinggir yang dekat ke tengah”. Tepatnya, rumah Pak Rosihan masih sangat dekat dengan pusat kemewahan. Demikian juga posisi dirinya, bukan diri yang sepenuhnya berada di seberang elitisme politik di negeri ini.
Pak Rosihan memang sangat kritis kepada penguasa di sepanjang hidupnya, tapi tidak sampai menjadi pemberontak. Dia mengkritik keras pemerintah, tapi masih mau datang kalau diundang ke istana. Kedatangannya ke istana itu pun tidak untuk mengambil hati penguasa, tapi untuk menjalankan profesionalisme tugas jurnalistiknya.
Karena itu, belum pernah saya melihat Pak Rosihan berubah sikap. Dia memang mau datang ke istana (zaman presiden siapa pun), tapi tidak ada nada berusaha menarik simpati pihak istana. Setiap mendapat kesempatan berbicara, selalu dia lebih dulu memuji sang presiden. Setelah itu dia mengkritiknya dengan keras melalui bahasa yang penuh dengan sinisme, tapi tidak kasar.
Praktis, saya melihat Pak Rosihan merupakan pribadi gabungan antara wartawan, diplomat, dan politikus. Sebagai wartawan beliau telah menjadi tokoh utama, tapi gagal menjadi pemilik media terkemuka di sepanjang zaman. Beliau sempat memiliki harian yang sangat bergensi pada zaman itu, Harian Pedoman. Tapi, koran ini tidak berumur panjang karena diberangus penguasa.
Sebagai diplomat beliau tidak sempat mendapat kepercayaan menjadi duta besar sebagaimana wartawan senior Saban Siagian atau Djoko Susilo. Atau beliau mungkin tidak mau “didutabesarkan”. Sebagai politikus beliau tidak sampai punya panggung di pemerintahan seperti Harmoko, karena beliau memosisikan diri tidak mau seperti itu.
Beliau orang yang tidak acuh terhadap gemerlap dunia seperti itu. Sinis, tak acuh, dan lugas memang melekat sebagai ciri khas beliau. Termasuk kalau sedang mengajar wartawan muda. “Membaca tulisanmu ini,” katanya pada suatu forum pendidikan wartawan, “mata saya sampai berbulu”. Ini untuk menunjukkan betapa ruwetnya tulisan wartawan yang sedang dibaca itu.
Pak Rosihan memang mempunyai kemampuan menulis yang sederhana, lancar, dan warna-warni. Dia sangat benci dengan tulisan wartawan yang muter-muter, berat, seret, dan semrawut. “Tulisan kok seperti ketiak ular begini,” katanya.
Saya sendiri tidak termasuk murid beliau. Saya lebih tepat sebagai muridnya orang seperti Gunawan Mohamad. Namun, saya tahu bahwa Pak Rosihan sangat aktif mendidik wartawan muda. Itu dia contohkan dengan dirinya sendiri yang masih terus aktif menulis sampai usianya yang 89 tahun.
Apa saja beliau tulis: pengalaman perjalanan, pengalaman meliput peristiwa besar di masa mudanya, soal makanan, pariwisata, politik, dan sebagainya. Ini karena beliau memang sudah menjadi wartawan sejak sangat belia. Beliau juga mengalami banyak peristiwa sejarah sejak sebelum kemerdekaan, zaman perjuangan kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi ini.
Beliau adalah pencatat sejarah yang penting dan cermat. Beliau tidak melupakan detail-detail sebuah peristiwa. Dengan begitu, beliau juga banyak kenal dengan tokoh-tokoh politik besar di negeri ini.
Karena itu, di hari tua beliau, di saat tokoh-tokoh tersebut satu per satu meninggal dunia, beliau bisa banyak bercerita. Tidak ayal bila ada tokoh meninggal dunia, beliau selalu membuat tulisan obituari mengenai tokoh itu.
Begitu seringnya beliau menulis obituari, sampai-sampai ada yang nyeletuk: kalau Pak Rosihan sendiri yang meninggal, siapa ya yang akan menuliskan obituari beliau? Karena itu, tidak aneh bila ada yang mengusulkan agar Pak Rosihan menulis obituari untuk dirinya sebelum meninggal dan langsung bisa dipublikasikan begitu beliau meninggal.
Saya tidak tahu apakah beliau mendengarkan saran yang bernada gurau dan pujian itu. Kalaupun tidak, saya mencoba menulis obituari ini untuk beliau. Selamat jalan guru wartawan! (*)