DIA seorang profesor, doktor, dan dokter. Pekerjaannya mengajar, bertugas di rumah sakit, dan melakukan penelitian mengenai berbagai penyakit. Saya bisa membayangkan betapa supernya orang seperti itu. Atau, sebaliknya, betapa sulitnya menyusun prioritas.
Tapi, apa pun tugas profesor, doktor, dan dokter itu, ternyata yang paling menentukan adalah ini: dari mana SK kepegawaiannya. Dari menteri kesehatankah? Dari menteri pendidikankah? Dari (dulu) Kementerian Ristek-kah?
Yang paling sulit adalah kalau tugas utamanya di lembaga penelitian, tapi SK kepegawaiannya dari menteri pendidikan atau menteri kesehatan. Lembaga penelitian penyakit seperti ini akan sulit maju. Fondasinya keropos: sulit cari dokter yang mau jadi peneliti. Kalau toh ada yang mau, sifatnya sementara. Atau dirangkap alias sambilan.
Mengapa? Masa depan peneliti bidang kedokteran tidak menarik. Setidaknya tidak mungkin jadi profesor. Jalur birokrasinya tidak ada. Di Kementerian Pendidikan atau juga di Kementerian Kesehatan tidak dikenal pintu peneliti yang bisa jadi guru besar. Peneliti yang bisa jadi guru besar hanya yang bekerja di LIPI.
Untung saya ikut meninjau rumah sakit-rumah sakit pendidikan di Universitas Airlangga, Sabtu lalu. Bersama Menteri Kesehatan Prof Nila Djuwita Moeloek. Saya jadi tahu posisi dan problem rumah sakit pendidikan, terutama yang memiliki perhatian khusus bidang penelitian. Selama ini saya hanya tahu di Surabaya ada RSUD dr Soetomo yang terkenal itu.
Di berbagai negara maju, saya tahu rumah sakit pendidikan (teaching hospital) memang bisa lebih terkenal daripada rumah sakit umum. Ini karena dokter peneliti terbaik ada di situ. Dokter konsultan terbaik ada di situ.
Ide membangun teaching hospital di Indonesia sangatlah jelas: agar mahasiswa kedokteran, dokter yang mau jadi spesialis, dan para peneliti bidang kesehatan memiliki lapangan yang sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan kemajuan kedokteran.
Tapi, rumah sakit itu belum menyediakan pintu yang cukup untuk lari. Pintu menjadi profesor dan pintu untuk masa depan serta kesejahteraan dokternya. Di negara maju, dokter di rumah sakit pendidikan sama sekali tidak punya kaitan dengan jumlah pasien atau lamanya penanganan terhadap seorang pasien. Satu profesor yang hanya bisa menangani satu pasien dalam satu minggu (karena rumitnya penyakit yang diidap) tidak akan menurun pendapatannya dibanding yang menangani banyak pasien dalam sehari.