Tambang itu berada di permukaan tanah Papua. Tinggal mengeruknya. Bukan di perut bumi yang harus menggalinya.
Tahun 2021, kontrak dengan Freeport itu akan berakhir. Kalau kontrak tidak diperpanjang, Freeport akan 100 persen milik Indonesia. Tidak perlu keluar uang Rp 20 triliun hanya untuk memiliki 10 persen sahamnya.
Akan menjadi serbaenak? Jangan dulu dibayangkan serbaenaknya.
Pertama, mungkin Amerika marah. Entah apa bentuk kemarahannya. Dan entah apa kita mampu menanggungnya.
Kedua, mungkin saja sejak sekarang Freeport tidak mau keluar uang untuk pemeliharaan tambang. Toh, sudah akan lepas dari tangannya. Kalau itu terjadi, kelak, tepat di saat tambang itu menjadi milik Indonesia, kondisinya sudah tidak bagus lagi. Diperlukan uang puluhan triliun rupiah untuk kembali menghidupkannya.
Apalagi, tambang yang ada di permukaan tanah sudah habis. Sudah harus menggali tambang di perut bumi. Lebih mahal.
Dengan harga jual nikel dan tembaga seperti sekarang, belum tentu bisa menghasilkan uang seperti yang kita bayangkan.
Bisa-bisa kita harus mengundang investor asing lagi untuk melanjutkannya.
Mungkin Freeport lagi. Atau Freeport yang lain. Kalau tidak disiapkan mulai sekarang. (*)